Temuan BPK soal kunjungan kerja (kunker) fiktif DPR senilai Rp 945 miliar, FITRA melihatnya seperti apa?
Hasil temuan bagian hasil perjalanan dinas baik dari kunjungan kerja maupun reses ini mengagetkan, karena ini menunjukkan pertanggungjawaban secara vertikal juga tidak dibuktikan.
Selain itu menunjukkan anggota DPR tidak berkomitmen dalam laporan kunker, sehingga menguatkan bahwa kunker hanya untuk 'plesiran' semata.
Siapa yang mestinya bertanggung jawab terkait hal tersebut?
Sekjen (DPR) yang pertama, karena Sekjen yang melakukan pengelolaan perjalanan dinas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi yang melekat di DPR.
Karena ini kan, pertanggungjawaban yang enggak bisa dibuktikan, ini kan berpotensi pemborosan dan juga berpotensi merugikan negara. Sampai Rp 900 miliar, ini kan sangat besar.
Lantas harusnya seperti apa yang dilakukan oleh anggota DPR?
Kita kan bicara soal akuntabilitas yang harus dipertanggungjawabkan, dana itu untuk apa, dan dalam kegiatannya menunjang fungsi-fungsi DPR, ini pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh DPR. Secara teknis administrasinya oleh Sekjen, tapi pertanggungjawaban akuntabilitas oleh teman-teman DPR.
Makanya penting, itu yang kemudian kita rekomendasikan untuk perbaikan sistem, metode laporan keuangan kunker jangan berupa lump sum (gelondongan). Ini harus diubah karena model ini tidak akuntabel dan menguntungkan anggota DPR. Perlu moratorium dan reformasi anggaran di DPR menjadi kebutuhan yang mendesak.
Apakah temuan ini bisa mengindikasikan adanya korupsi?
Makanya nanti kita tahu, siapa sebenarnya elite yang melakukan pertangungjawaban itu, bisa aja ditemukan beberapa anggota, kan begitu, kan tahu siapa yang enggak melakukan pertanggungjawaban itu secara vertikal itu. Kan jelas, nah dalam hal ini memang Sekjen harusnya menertibkan itu, anggota juga ikut andil dalam hal ini untuk mempertanggungjawabkan akuntabilitas karena dia yang jalankan perjalanan dinas (perdin) itu, kan dia pakai uang rakyat buat itu, wajib itu. Oleh Fauziah Mursid, ed: Fitriyan Zamzami