Dalam pekan-pekan terakhir, sejumlah "keadaan darurat" melanda Indonesia. Ini terlihat dari terjadinya sejumlah pemerkosaan yang kebanyakan pelaku dan korbannya adalah anak sekolah.
Keadaan ini menyentakkan keprihatinan dan sekaligus memunculkan pertanyaan: ke mana akhlak mulia atau budi pekerti luhur? Mengapa pendidikan kita seolah gagal membentuk peserta didik yang berakhlak mulia?
Budi pekerti luhur atau al-akhlaq al-karimah dalam perspektif Islam adalah salah satu misi pokok Nabi Muhammad SAW. Rasulullah ditugaskan Allah memperbaiki atau menyempurnakan akhlak mulia atau budi pekerti luhur.
Gagasan dan usul tentang revitalisasi pendidikan akhlak mulia atau budi pekerti pekerti luhur, telah cukup lama kembali muncul dalam masyarakat. Dunia pendidikan kita dianggap "telah gagal" membentuk peserta didik yang memiliki akhlak mulia, moral, dan budi pekerti luhur.
Ada peserta didik yang tidak hanya kurang santun, baik di sekolah, rumah, dan di lingkungan masyarakat, tetapi juga terlibat berbagai bentuk tindak kriminal.
Pandangan simplistis menganggap, kemerosotan budi pekerti luhur, akhlak, moral, dan etika peserta didik karena gagalnya pendidikan agama di sekolah.
Dalam batas tertentu, pendidikan agama memang memiliki kelemahan tertentu, seperti materi yang cenderung teoretis dan pembelajaran yang lebih bertumpu pada aspek kognisi daripada afeksi dan psikomotorik peserta didik.
Krisis budi pekerti, mentalitas, moral, karakter, dan akhlak di kalangan anak didik seharusnya menjadi prioritas pokok bagi orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Membangun mentalitas, moral dan etika, atau lebih tegas lagi karakter (moral and character building) peserta didik, memang tidak mudah. Namun, harus segera disadari, keberhasilan mendidik dan membentuk akhlak, moral, budi pekerti atau karakter peserta didik merupakan langkah paling fundamental dan dasariah untuk membentuk karakter bangsa.
Sejauh menyangkut krisis mentalitas dan moral peserta didik, ada beberapa masalah pokok yang menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan. Pertama, arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya.
Selama ini, lembaga pendidikan seolah bukan lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat berdasarkan budi pekerti luhur, moral, dan akhlak mulia.
Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lembaga pendidikan, yang bertugas mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespons dan memecahkan masalah dirinya sendiri maupun orang lain secara bertanggung jawab.
Pemecahan masalah secara tidak bertanggung jawab, seperti melalui tawuran dan kekerasan lain, merupakan indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui sekolah. Ketiga, proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan, juga para guru.
Hal ini karena formalisme sekolah dan beban kurikulum sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya.
Lebih parah, interaksi sosial di sekolah hampir kehilangan human dan personal touch-nya hampir serbamekanistis dan robotis. Keempat, beban kurikulum berat yang masih saja hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif.
Berbagai materi disampaikan melalui pola delivery system. Sementara itu, ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian untuk pengembangan sebaik-baiknya. Padahal, pengembangan kedua ranah ini sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, budi pekerti atau singkatnya watak dan karakter yang baik.
Kelima, kalaupun ada materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi, seperti mata pelajaran agama, umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang juga disertai dengan rote-memorizing, hafalan. Akibatnya, matapelajaran agama cenderung tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktikkan.
Keenam, pada saat yang sama para peserta didik dihadapkan pada kontradiksi nilai (contradictory set of values). Pada satu pihak, mereka diajar bertingkah laku baik, tapi pada saat yang sama, banyak orang di lingkungan sekolah justru tidak melakukannya, termasuk kadang-kadang di sekolah sendiri.
Ketujuh, selain itu, para peserta didik juga sulit mencari contoh teladan baik (uswah hasanah/living moral exemplary) di lingkungannya. Mereka mungkin menemukan teladan di lingkungan sekolah, di dalam diri guru tertentu.
Namun, mereka kemudian sulit menemukan keteladanan dalam lingkungan di luar sekolah. Daftar masalah ini hanya sebagian kecil yang terkait krisis mental, moral, dan karakter anak didik. Jelas pula, krisis ini merupakan cermin dari krisis lebih luas yang ada dalam masyarakat.
Sebab itu pula, bisa diasumsikan, upaya mengatasi krisis ini tidak memadai jika dilakukan hanya di lingkungan sekolah. Kita harus sungguh-sungguh berupaya menyembuhkan krisis budi pekerti, mental, moral, dan akhlak dalam masyarakat luas.
Penyembuhan itu harus bermula dalam rumah tangga yang kemudian dilanjutkan di sekolah dan diupayakan di lingkungan lebih luas. Oleh Azyumardi Azra