Terkait banyaknya hakim atau perangkat pengadilan yang tertangkap KPK, apa yang akan dilakukan MA?
Mahkamah Agung memang harus mengevaluasi sistem dan pembinaan serta pengawasan yang selama ini berlaku. Sistem yang sudah berlaku itu, dengan banyaknya terjadi kejadian seperti ini (hakim menerima suap), mungkin akan ditinjau kembali untuk melihat di mana sumbatan yang perlu diperbaiki.
Bagaimana dengan sanksi yang dijatuhkan terhadap para hakim yang masih menerima suap?
Ada tiga peraturan yang melingkupi jabatan hakim. Pertama, kalau dia menyangkut masalah suap, yang meliputi tindak pidana korupsi, ada pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Kedua, hakim itu juga sekarang ini adalah pegawai negeri sipil (PNS). Ada peraturan disiplin PNS, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010. Itu jika melanggar bisa dijatuhi hukuman ringan, hukuman sedang, hukuman berat, sampai pemecatan dari jabatannya.
Ketiga, hakim juga terikat peraturan kode etik dan perilaku hakim yang sudah disusun bersama oleh MA dan Komisi Yudisial. Terhadap para hakim yang melanggar kode etik ini, juga bisa dijatuhi hukuman ringan, hukuman sedang, hukuman berat, sampai pemecatan dari jabatannya.
Selama ini, bagaimana pembinaan yang dilakukan MA terhadap para hakim?
Pembinaan hakim itu terus-menerus dilakukan, baik pembinaan yang bersifat profesi maupun pembinaan nonprofesi. Seperti saat ini, pimpinan MA membina para aparatur pengadilan di Kalimantan Barat yang sudah terjadwal. Terkait profesinya, hakim itu sekarang banyak mengikuti pelatihan pembinaan dalam diklat yang diadakan MA. Demikian di diklat itu, juga ada ESQ yang menyangkut bimbingan rohani.
Selama ini, kendala apa yang ditemui MA dalam mengawasi para hakim?
Pengadilan itu adalah lembaga pemutus. Ketika pengadilan akan memutus suatu perkara, otomatis ada orang yang dinyatakan menang dan lainnya kalah. Banyak orang yang ingin mencapai kemenangan. Oleh sebab itu, mereka berusaha memengaruhi aparatur pengadilan, baik itu hakim maupun panitera dan aparatur lain.
Teknologi yang canggih saat ini, seperti hubungan dengan menggunakan telepon dan sebagainya itu dimanfaatkan oleh para pencari kemenangan. Padahal, komunikasi tersebut kebanyakan tidak bisa diketahui.
Lain halnya kalau bertemu di rumahnya atau berkunjung di kantornya, itu akan terlihat secara fisik. Namun, jika dia menghubungi satu sama lain dengan alat komunikasi itu, semakin sulit melacaknya. Kejadian seperti ini biasanya baru diketahui ketika yang bersangkutan tertangkap oleh KPK.
Perlukah adanya upaya peningkatan gaji agar kejadian serupa tidak terulang?
Saya kira belum lama ini sudah ada peningkatan (gaji) bagi hakim dan bagi aparatur pengadilan lainnya yang disebut remunerasi. Dengan demikian, saya kira bukan alasan pokok besaran gaji yang mendorong hakim menerima suap. Kalau ada yang bermaksud melanggar sumpah jabatan, berapa pun gajinya akan dianggap gaji itu tidak cukup. Oleh Dadang Kurnia, ed: Fitriyan Zamzami