JAKARTA -- Teguran Panglima TNI Moeldoko terhadap para purnawirawan yang saling serang dalam mendukung calon presiden mendapat respons dari Letjen (Purn) TNI Suaidy Marasabessy. Dia menganggap hal itu adalah bagian dari aspirasi politik pribadi. Menurutnya, para purnawiran punya hak politik dalam mengaktualisasikan aspirasinya.
''Para purnawiran punya hak politik dalam mengaktualisasikan aspirasinya," tutur dia kepada Republika, Ahad (15/6). Menurut dia, Panglima TNI bisa mengundang para purnawirawan jika terjadi polemik untuk membicarakan terkait hal yang dipolemikkan.
Sebelumnya, Jenderal Moeldoko menyindir para purnawirawan terkait kebocoran dokumen rahasia perihal pemberhentian Prabowo Subianto dari TNI. Menurut dia, Panglima TNI tidak bisa menghukum purnawirawan terkait hal tersebut.
"Kalau purnawirawan, terserah masing-masing. Tergantung jiwanya itu, apakah jiwanya masih ada (sumpah prajurit) apa tidak. Kalau jiwanya tidak ada, ya, masing-masing saja, lama-lama jadi LSM (lembaga swadaya masyarakat)," katanya.
Pernyataan itu disampaikan Moeldoko terkait beredarnya surat yang disebut sebagai keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dalam surat tersebut tertulis bahwa keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998. Dokumen yang berklasifikasi rahasia tersebut mencantumkan nama para petinggi TNI, di antaranya Subagyo HS sebagai kepala staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Djamari Chaniago, Ari J Kumaat, Fahrul Razi, dan Yusuf Kartanegara.
Dalam empat lembar surat itu tertulis pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI.
Jika dokumen yang beredar itu sebuah kebenaran serta demi kepentingan bangsa dan negara, menurut Suaidy, hal itu tidak ada yang salah. Yang menjadi persoalan adalah, kata dia, kalau dokumen yang beredar adalah palsu dan tidak benar. Maka, hal tersebut jatuhnya menjadi fitnah.
"Satu hal yang harus dipahami, menjunjung tinggi kebenaran itu adalah Sapta Marga," kata pria yang menjadi pendukung pasangan Jokowi-JK ini kepada Republika, Ahad (15/6). Menurut dia, TNI punya perangkat untuk menyelidiki terkait kebocoran dokumen tersebut.
Sedangkan, Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zein menyebut sindiran Panglima TNI Jenderal Moeldoko terkait bocornya surat dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ditujukan untuk Letjen (Purn) TNI Fachrul Rozi. Dia menuding, Fachrul Rozi telah membocorkan rahasia negara tentang pemberhentian Prabowo Subianto dari keprajuritan TNI.
"Maksud sindiran Jendral Moeldoko adalah Fahrul Rozi khususnya yang membocorkan rahasia negara kalau dokumen hasil sidang DKP itu benar," kata mantan kepala staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat ini melalui pesan singkatnya kepada Republika, Ahad (15/6). Menurut anggota tim pemenangan pasangan Prabowo-Hatta itu, dokumen yang dibocorkan itu palsu.
Dia beralasan, dokumen tersebut tidak pernah ada karena tidak tersimpan di Mabes TNI. Menurutnya, sidang DKP yang dilakukan juga tidak sah karena hanya didasarkan pada kebencian pribadi dari sejumlah perwira tinggi kepada Prabowo pascalengsernya Soeharto.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan dugaan keterlibatan TNI/Polri, termasuk purnawirawan, dalam dukung-mendukung capres telah membuat resah masyarakat karena institusi tersebut adalah aparat negara serta memiliki senjata dan kekuatan luar biasa.
"Itu berbeda dengan kelompok lain. Ketika, misalnya, musisi atau pengusaha mengelompok mendukung salah satu calon, tidak akan membuat resah masyarakat," kata Arief Budiman. Arief mengatakan, karena karakteristik TNI/Polri sebagai aparat negara dan potensi kekuatan yang dimiliki, maka undang-undang secara spesifik mengatur keterlibatan lembaga tersebut baik secara personal maupun institusional.rep:c30/antara ed: irfan junaidi