Jika Anda enggan dimata-matai, silakan baca tulisan ini. Bila suka dimatai-matai, ya saya harap tak melewatkan analisis ringan ini. Saya mau menggabungkan soal isu kehidupan pribadi, polemik penjualan Indosat, internet, hingga terorisme. Saya awali dengan survei.
Survei dari perusahaan riset Toluna terhadap pro-kontra penggunaan kacamata pintar Google Glass di ruang publik. Hasil survei pada 11 April 2014 itu mengungkapkan, sekitar 72 persen warga Amerika Serikat (AS) menolak pemasaran Google Glass secara luas. Hanya 28 persen warga AS yang tidak mempersoalkan, malah antusias.
Alasan terbesar penolakan adalah alasan privasi dan keamanan. Dua alasan ini menjadi kekhawatiran yang paling banyak diungkapkan para kuisioner. Dua dari lima orang mengaku sangat khawatir data privasinya dapat diakses oleh orang-orang yang menggunakan Google Glass. Sebagian lainnya menduga kegiatan pribadinya dapat diintai secara diam-diam oleh Google Glass.
Mengutip laman CNN, salah satu fitur yang paling kontroversial dari Google Glass adalah tersedianya kamera kecil yang dapat merekam video 720p atau snap foto-foto.
Bagi mayoritas peserta survei, siapa sih yang suka kehidupan pribadinya diintip? Kendati mayoritas warga AS adalah warga berpendidikan tinggi, toh mereka tak suka diintip kehidupan privasinya.
Di era teknologi saat ini, sepertinya sudah tak mungkin bersembunyi dari bidikan teknologi bernama internet. Selama masih memiliki smartphone, memiliki akun media sosial seperti Twitter, Facebook, maupun e-mail, seseorang sepertinya mudah terakses karena memiliki jejak digital.
Prediksi ini sudah dikupas CEO and Chairman Institute for Global Futures, James Canton, PhD, dalam bukunya berjudul The Extrem Future, cetakan 2006. "Akhir dari privasi telah datang. Privasi akan diperdagangkan demi keamanan di masa depan yang diatur oleh video pengawas, pengintai basis data, satelit-satelit, dan biometri-biometri."
Parahnya, ratusan juta rakyat Indonesia pun sudah (maaf) "ditelanjangi" ketika pada 2002, pemerintah saat itu menjual BUMN strategis, PT Indosat, hanya seharga Rp 5 triliun. Ini bisa jadi merupakan salah satu sejarah hitam privatisasi BUMN di Indonesa. Mengapa? Indosat adalah pemilik dan pengelola satelit dan sarana telekomunikasi seluler.
Bagi sebuah negara, satelit ibarat mata dan telinga manusia. Menjual satelit sama saja membuat negara ini buta dan tuli. Jika negara ini buta dan tuli, maka sebagian anggota tubuhnya adalah cacat, riskan dan rentan dibohongi musuh. Indonesia seakan telanjang. Tidak ada lagi mata dan telinga untuk memonitor luas Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Karena lemah dan rapuh dalam penguasaan wilayah udara, darat, dan laut, negeri ini rentan terhadap sasaran penyusupan, pencurian ikan bernilai ratusan triliun rupiah (menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan), mudahnya dianeksasi/inflitrasi dari negara tetangga, pelanggaran hukum, pembalakan hutan, akses bagi teroris, serta kejahatan internasional lain.
Suatu hal yang mustahil bila secara geopolitik, luas wilayah laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 bisa diawasi oleh kapal-kapal laut KRI atau patroli TNI AL. Mereka juga harus mengawasi 81 ribu km garis pantai, yang merupakan kedua terpanjang di dunia setelah Kanada. Belum lagi memonitor keamanan di 17.504 buah pulau-pulau, baik besar dan kecil. Tapi, hal itu tentu mudah dilakukan bila diawasi oleh satelit.
Seorang teman mengibaratkan, karena lemah dalam penguasaan satelit, negeri ini ibarat raksasa tetapi tak berdaya. Indonesia dinilai sebagai TV besar, akan tetapi remote control-nya adalah Singapura yang menguasai saham Indosat. James Canton mengingatkan, ada 12 senjata utama terorisme pada 2025. Salah satunya adalah penguasaan satelit. Jelas, di titik ini, kebijakan pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputri yang menjual Indosat (pengelola satelit) saat itu diliputi dengan polemik yang rumit. Antara membutuhkan uang atau menjaga kedaulatan RI?
Polemik ini dimungkinkan menjadi mimpi buruk karena sejumlah pengamat menilai, saat tahun 2002, Indonesia tidak sedang krisis. Indosat pun bukanlah sunset industry (industri yang masa keemasannya mulai pudar) seperti pernyataan Meneg BUMN Laksamana Sukardi kala itu. Krisis ekonomi terjadi pada 1998. Sedangkan, pemerintah BJ Habibie dari tahun 1998 hingga 1999 berhasil menyeimbangkan keuangan negara.
Pengamat ekonomi Sunarsip pernah mempertanyakan hal yang sama dalam tulisannya pada 10-11 Februari 2003. Berikut kutipan analisis Sunarsip. "Kalau benar demikian, pertanyaannya adalah kenapa Singapore Technologies Telemedia (STT) bersedia membeli industri yang prospeknya menurun? Ternyata, net sales Indosat terus meningkat dari Rp 2,108 triliun (1998), Rp 2,739 triliun (1999), Rp 2,846 triliun (2000), dan Rp 5,248 triliun (2001). Sungguh tragis!"
Saya jadi teringat ucapan seorang pengusaha kawakan ketika memberi nasehat kepada anaknya yang dipersiapkan menggantikan dirinya menjadi nakhoda perusahaan keluarga. "Nak, kamu boleh menjual tangible asset (aset berwujud) kalau terdesak, tapi jangan gadaikan intangible asset (aset tak berwujud)." Aset berwujud bisa berupa pabrik, tanah, atau properti. Aset tak berwujud adalah kejujuran, semangat, dan keberanian. Di poin ini, aset tak berwujud adalah kedaulatan RI.
Oleh: Zaky Al Hamzah
Email: [email protected]