Jumat 27 Jun 2014 20:01 WIB

Dolly Ditargetkan Tiga Bulan Ditutup

Red: operator

SURABAYA -- Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya, Jawa Timur, menargetkan pembersihan Dolly dari praktik prostitusi dalam waktu tiga bulan pascadeklarasi penutupan lokalisasi pada 18 September 2014 menjadi target Satpol PP Surabaya mengubah citra buruk Dolly. “Saya kira tiga bulan merupakan waktu yang cukup untuk membersihkan Dolly dari praktik prostitusi,” ujar Kepala Satpol PP Kota Surabaya Irvan Widyanto, Kamis (26/6).

Irvan mengatakan, pihaknya berkeinginan agar masyarakat di kawasan Dolly dan Jarak bisa hidup lebih baik dan lebih bermartabat. Untuk itu, kata dia, Satpol PP Surabaya mengedepankan upaya preventif dan persuasif supaya Dolly benar-benar steril dari praktik prostitusi. Selama rentang waktu tiga bulan yang ditargetkan, pihak Satpol PP akan melakukan pendekatan secara humanis.

Irvan mengaku tidak lelah menumbuhkan kesadaran kepada warga Dolly yang masih melakukan penolakan penutupan lokalisasi. Apalagi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memiliki hak dan wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri. “Tak hanya itu, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 juga telah jelas menyebutkan bahwa rumah tidak diperbolehkan untuk tempat pemikatan melakukan perbuatan asusila,” katanya.

Irvan meluruskan, kawasan Dolly bukan ditutup, melainkan dialihfungsikan, seperti alih fungsi menjadi kos-kosan atau tempat usaha. Dalam pengawasannya, pihak Satpol PP akan secara rutin dan berkala melakukan sweeping terhadap Dolly yang khususnya memang diwajibkan tutup selama bulan Ramadhan. “Khusus tahun ini, kami akan fokus menertibkan kawasan-kawasan eks lokalisasi. Aparat bakal memastikan di tempat-tempat tersebut tidak akan ada lagi kegiatan pelacuran,” ujar Irvan menegaskan.

Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polrestabes Surabaya Kompol Suparti mengatakan, sejak awal pihaknya mendukung sepenuhnya recana Pemkot Surabaya terkait penutupan lokalisasi prostitusi Dolly. Meski diakuinya masih ada kelompok yang menolak penutupan lokalisasi, Polrestabes Surabaya siap mengantisipasi kemungkinan kericuhan saat eksekusi penertiban oleh pihak Satpol PP. “Intinya, sebagai petugas negara, kami berharap tidak memusuhi warga, tetapi menegakkan peraturan,” kata Suparti.

Pencairan kompensasi

Sebanyak 1.052 pekerja seks komersial (PSK) Dolly tidak mengambil dana kompensasi penutupan lokalisasi prostitusi hingga batas waktu terakhir pengambilan kompensasi pada Kamis (26/6). Pihak Pemkot Surabaya pun memastikan, masa pengambilan dana kompensasi itu tidak akan diperpanjang.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Deddy Sosialisto, mengatakan, dari 1.449 PSK yang terverifikasi, ternyata baru 397 orang yang mengambil dana kompensasi berupa buku tabungan Bank Jatim senilai Rp 5.050.000. “Artinya, ada 1.052 PSK yang tidak mengambil kompensasi hingga sore (26/6) ini. Padahal, pengambilan dana kompensasi ditutup hari ini,” katanya kepada Republika, Kamis (26/6).

Sedangkan dari 311 pengelola wisma (mucikari) yang terdaftar, baru 69 orang yang mengambil haknya, yaitu Rp 5 juta per orang. Artinya, ada 242 mucikari yang belum mengambil dana kompensasi hingga hari terakhir. Deddy menambahkan, ada lima PSK dan tiga mucikari yang sempat mengambil kompensasi, tetapi memilih mengembalikannya kembali.

Kepala Dinsos Kota Surabaya Supomo menegaskan, pihaknya tidak akan memperpanjang waktu pengambilan dana kompensasi. Alasannya, dana itu harus dikembalikan kepada Kementerian Sosial. “Kami tetap berpedoman pada tenggat waktu pembagian stimulan, yakni pada 26 Juni 2014 dan tidak ada perpanjangan lagi,” ujarnya.

Front Pekerja Lokalisasi (FPL) kemarin kembali menggelar aksi tolak penutupan lokalisasi prostitusi Dolly-Jarak dengan mengarak seekor kerbau jantan yang diberi nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Humas FPL, Slamet Sugiono, mengatakan, pihaknya dengan warga di lima rukun warga (RW) sekitar Dolly tetap menolak penutupan prostitusi Dolly.

Menurut Slamet, warga di lima RW secara swadaya mengumpulkan dana dan terkumpul Rp 20 juta untuk membeli seekor kerbau jantan. Kerbau ini disebutnya merupakan simbolisasi Risma. “Karena, kerbau itu kan sebagai simbol kebodohan dan ikut ke manapun tuan rumahnya pergi. Jadi, Risma itu bodoh dan mengikuti apa pun kepentingan pemilik modal,” ujarnya, Kamis (26/6).

rep:rr laeny sulistyawati ed: andri saubani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement