JAKARTA -- Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan diperketat. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menginstruksikan kepada badan usaha pelaksana penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi untuk membatasi penjualan.
Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, per 1 Agustus 2014 sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta Pusat tidak lagi menjual solar. Per 4 Agustus 2014, BBM jenis solar tidak akan dijual di wilayah tertentu pada pukul 18.00 WIB sampai 06.00 WIB.
"Ada bentuk pengendalian lain yang perlu dilakukan untuk menghindari jebolnya kuota minyak solar dan Premium pada akhir 2014," kata Ibrahim, Kamis (31/7).
Foto:Republika/Prayogi
Petugas membantu warga mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Jakarta,Rabu (2/7).
Adapun per 6 Agustus 2014, dengan koordinasi bersama pemerintah daerah, volume minyak solar untuk nelayan akan ditekan. Mulai hari yang sama, layanan Premium di SPBU di jalan tol juga dihilangkan.
Ibrahim mengatakan, surat edaran sebagai payung hukum telah disampaikan kepada badan usaha dan instansi terkait dan sudah melalui pembahasan intensif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Keuangan dan Pertamina.
Apabila ada badan usaha menjual solar dan Premium melebihi kuota 46 juta kiloliter (kl), tidak akan disubsidi pemerintah. Terkait pembatasan kuota ini, BPH Migas telah merevisi kuota BBM subsidi kabupaten atau kota.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetyantono menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu menaikkan harga BBM bersubsidi secara bertahap. Selanjutnya, Presiden terpilih Joko Widodo melanjutkan untuk menaikkan tarif BBM bersubsidi.
Menurutnya, Presiden Yudhoyono menaikkan Premium menjadi Rp 8.000 per liter. "Nanti Presiden baru menaikkannya lagi ke Rp 9.000 atau Rp 9.500," katanya, Kamis (31/7).
Selain kenaikan itu, kata Tony, mobil pribadi wajib menggunakan BBM nonsubsidi. Warga yang menginginkan BBM bersubsidi harus menggunakan transportasi lain, semisal kendaraan umum dan sepeda motor.
Persoalan subsidi energi, BBM dan listrik, yang pada tahun ini mencapai Rp 246 triliun dari total APBN Rp 1.870 triliun sudah mendesak. Subsidi itu tidak sehat dan alokasinya banyak salah sasaran, bahkan mencapai 70 persen. Idealnya, subsidi energi maksimal Rp 120 triliun atau separuh dari sekarang.
Presiden baru, ungkapnya, perlu menaikkan harga BBM jenis Premium menjadi minimal Rp 8.000. Pemerintah juga perlu memaksa pemilik mobil menggunakan Pertamax, sedangkan sepeda motor boleh menggunakan Premium.
Bagi masyarakat tidak mampu bisa diberikan kompensasi bantuan langsung tunai (BLT). Namun, data penerima harus terus diperbaiki agar tidak salah sasaran.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang mengatakan, momentum yang pas mengumumkan pengurangan subsidi harga BBM adalah setelah Jokowi-Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Menurutnya, pengurangan subsidi harga BBM akan selalu menjadi isu panas bagi presiden terpilih karena kebijakan menaikkan harga BBM nyaris tidak bisa dihindari di tengah membengkaknya subsidi energi. Sedangkan, peningkatan konsumsi BBM dalam negeri tidak diikuti dengan kenaikan jumlah produksi minyak domestik yang pada tahun ini ditargetkan 870 ribu barel per hari.
Padahal, konsumsi BBM pada 2014 diprediksi bisa mencapai 48 juta kiloliter. "Tidak ada pilihan bagi presiden terpilih kecuali mengurangi subsidi harga BBM dengan cara menaikkan harga," kata Nugroho. rep:aldian wahyu ramadhan/antara ed: nur hasan murtiaji