Partai Golkar bolehlah dibilang sebagai penyintas. Ia mampu bertahan hidup kala kejengahan atas golongan politik yang berkuasa selama 32 tahun itu memuncak pada 1998.
Tak seperti PKI, PNI, atau Masyumi, ia tak punah di saat kekuatan-kekuatan baru muncul. Dalam satu dan lain hal, itu adalah prestasi sendiri menilik kecenderungan politik Indonesia yang hobi memberangus mereka-mereka yang dianggap usang.
Dorongan pembubaran golongan itu tak pernah mewujud selepas reformasi. Pada Pemilu 1999, golongan politik yang kemudian berubah menjadi parpol tersebut malah masih bisa angkat dagu dengan perolehan suara yang masih signifikan.
Gempuran dari luar tak berhasil menumbangkan sang beringin besar. Para petinggi dan pengurus Golkar seperti bisa mementahkan manuver-manuver politik dari eksternal parpol untuk menegasikan partai itu.
Kasus-kasus hukum yang menimpa kader-kadernya juga disikapi dengan cerdik sehingga tak menjadi borok yang pelan-pelan membunuh partai. Eksodus sejumlah tokoh kunci yang kemudian membentuk parpol baru dan membawa gerbong kader tak jua membuat karam partai itu.
Tapi pada pertengahan 2012, ada riak yang impaknya kemudian membesar seiring jalannya waktu. Saat itu, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) didapuk sebagai kandidat calon presiden (capres) resmi dari Golkar. Suara-suara di internal yang mempertanyakan keputusan yang dianggap terlalu dini itu tak digubris. Terlebih, Ical saat itu dipilih secara aklamasi, alias tanpa saingan.
Peresmian Ical sebagai capres dianggap sebagian kader membalik gelombang demokratisasi internal parpol yang sudah diupayakan melalui konvensi capres Golkar pada 2004. Golkar kembali meneguhkan kesannya sebagai parpol oligarkis.
Fatalnya, kesan itu tak hanya ditangkap para kader, tapi juga pemilih pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Keterpilihan Golkar dalam Pileg 2014 kemudian anjlok jadi 14 persen, dan sejauh ini adalah yang terendah sepanjang sejarah parpol itu.
Bagi pengamat yang netral, pencapresan Ical seperti kotak pandora yang tatkala dibuka, dari dalamnya keluar aneka mala yang menggerogoti Golkar. Ia memunculkan kembali persaingan antarfaksi di tingkat atas kepemimpinan Golkar. Ia juga menimbulkan ketakpercayaan daerah terhadap kepengurusan di pusat.
Keadaan jadi kian sukar dikendalikan menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Pencapresan Ical yang menimbulkan friksi sedemikian tenyata tak bisa digolkan dalam ajang lima tahunan tersebut. Ketika kemudian calon yang didukung Golkar terancam tak terpilih jadi presiden selanjutnya, perdebatan soal akan tetap di menjadi koalisi atau bergabung dengan pemerintahan baru menambah rumit keadaan.
Dorongan agar Ical dilengserkan melalui musyawarah nasional yang dipercepat mengemuka. Akumulasi berbagai masalah itu diperparah dengan kebijakan tak bijak oleh pemegang kekuasaan di Golkar dengan memecati sejumlah kader dan petinggi.
Kebijakan itu berbahaya karena ia mengancam aset terbesar yang dimiliki Golkar jika ingin terus jadi kekuatan signifikan di masa datang, yakni para kader muda. Menyusul pemecatan itu, kader-kader muda ramai-ramai menyampaikan ketaksepakatan atas tindakan yang jauh dari kesan demokratis tersebut.
Mereka merasa Golkar sejatinya memang hanya milik para sesepuh-sesepuh parpol. Mereka jengah bahwa Golkar sebagai kekuatan politis yang mestinya mengakomodasi suara kader justru dijalankan semacam perusahaan.
Dari seluruh masalah yang mendera Golkar, ini yang paling akut. Tapi justru ia juga yang bisa membawa Golkar sekali lagi bertahan hidup.
Alienasi yang dirasakan para kader muda tersebut bisa jadi gergaji mesin yang akhirnya merubuhkan beringin. Tapi di lain sisi, jika para pemuda di Golkar tak tinggal diam dan berani mendobrak hegemoni tokoh-tokoh senior, mereka barangkali bisa membawa Golkar berlayar lebih lama.
Fitriyan Zamzami
fitrian@redaksi.republika.co.id
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook