Pembukaan jalur optimalisasi di sekolah negeri merupakan pemaksaan.
DEPOK -Pembukaan jalur optimalisasi di sekolah-sekolah negeri Kota Depok, Jawa Barat, memberikan dampak terhadap sekolah swasta.
Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Depok Kemo Santosa me ngatakan, pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang tidak sesuai dengan aturan yang ada membuat sekolah swasta kurang diminati pendaftar.
"Dampak dari PPDB amburadul, Dinas Pendidikan tidak berpatokan pada juknis yang dibuat, ada 87 ruang kelas kosong di SMP, SMA, dan SMK. Itu yang sudah lapor ke BMPS," kata Ke mo kepada Republika, Kamis (14/8).
Foto:Republika/Rakhmawaty La'lang
Sebuah selembaran pemberitahuan bertuliskan "Penerimaan Jalur
'Optimalisasi' Sudah Penuh" terpasang di gerbang sekolah SMAN 3 Depok, Jawa Barat, Jumat (8/8).
Kemo melanjutkan, kebijakan Disdik Depok membuka jalur optimalisasi tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen diknas) Nomor 24 Tahun 2007 dan Permendiknas Nomor 40 Tahun 2008. Permendiknas 24/2007 mengatur tentang jumlah maksimum rombongan belajar (rombel). Untuk SD maksimum 24 rombel dengan maksimum 32 siswa per rombel, SMP maksimum 24 rombel dengan maksimum 36 siswa, dan SMA maksimum 27 rombel dengan maksimum siswa per rombel 36 orang.
Adapun Permendiknas 40/2008 mengatur jumlah rombel SMK maksimum 48 rombel dengan maksimum 36 siswa per rombel. "Nah, ini yang terjadi kanmemaksakan diri.
Mi salnya di SMAN 3 Depok, kini semua guru pasti ngajarnya lebih dari 40 jam. Gurunya sedikit, kelasnya 13. Itu kan melanggar aturan," ujarnya.
Menurut Kemo, tingginya minat masyarakat yang ingin masuk ke sekolah negeri disebabkan peluang yang dibuka oleh Disdik. Orang tua ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri dengan alasan lebih murah.
"Sekarang logikanya, kalau alasannya sekolah swasta mahal, tapi negeri gratis, kok bayar (suap) juga? Bagaimana ceritanya?"Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 5 Depok Tri Andoyo mengatakan, pembukaan jalur optimalisasi di sekolah-sekolah negeri merupakan pemaksaan pada sekolah. Akibatnya, sekolah harus memutar otak lantaran jum lah peserta didik yang tidak sebanding dengan ketersediaan ruang kelas. "Akhirnya, murid terpaksa ditempatkan di ruangan seadanya,"kata Tri.
Di SMAN 5 Depok, kata Andoto, murid yang diterima melalui jalur optimalisasi menggunakan ruang laboratorium untuk belajar. Ruangan penelitian tersebut diubah menjadi kelas guna menghindari adanya kelas filial atau kelas jauh."Daripada tempatnya di SD di dekat sini dan masuk sore, kangurunya repot.
Anak nya juga belum tentu mau ke sana. Jadi, mau tidak mau laboratorium digunakan sebagai kelas," ujar Tri. Kini, 37 murid SMAN 5 Depok jalur optimalisasi harus menggusur peralatan praktik yang ada. Sementara waktu, alat-alat laboratorium disimpan di laboratorium lain nya, yaitu laboratorium fisika. "Kalau mau praktik, alatnya dibawa ke kelas, praktiknya di kelas," kata Tri.Tri berharap, Dinas Pendidikan Kota Depok secepatnya mengatasi permasalahan ini. rep:c82, ed:eh ismail