Oleh: Muhammad Fakhruddin(Twitter: @penareal2001) -- "Jokowi kerja 1,5 tahun Jakarta tetep macet. Prabowo pidato 15 menit Jakarta lengang."
Demikian tulis salah seorang kawan dalam statusnya di situs jejaring sosial. Status tersebut ternyata juga marak digunakan para pengguna media sosial kala itu. Di saat calon presiden nomor urut satu Probowo Hatta menyatakan penolakan terhadap pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014. Pidato yang disampaikan menjelang putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli lalu itu nyatanya memang membuat jalan-jalan protokol di Ibu Kota terlihat lebih lengang dari biasanya.
Istri saya yang berangkat kerja pagi hari menuju kantor yang berlokasi di sekitar Bundaran Hotel Indonesia segera dipulangkan oleh perusahaan tempat dia bekerja seusai pidato Prabowo tersebut. Saat itu, pengamanan di sekitar lokasi menuju kantor KPU diperketat dengan pengamanan berlapis.
Warga Jakarta kebanyakan hanya menyaksikan pengumuman hasil pemungutan suara oleh KPU melalui layar kaca. Alhasil, Jakarta lengang hingga larut malam, bahkan hingga keesokan harinya. Kekhawatiran bakal terjadinya chaos saat pengumuman KPU tersebut ternyata tidak terbukti. Kedua belah pihak, baik massa pendukung Prabowo-Hatta maupun massa pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), menahan diri sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Saat ini, menjelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/8) mendatang, kekhawatiran serupa, bakal terjadi kerusuhan setelah putusan MK, muncul lagi. Kekhawatiran tersebut tampaknya sengaja diembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang ingin mencederai demokrasi hingga menjatuhkan pihak lawan.
Tak jarang embusan kekhawatiran yang demikian gencarnya justru malah dirasakan seperti teror yang menakut-nakuti warga. Seperti SMS gelap yang saya terima yang intinya menyatakan bahwa kubu Prabowo bakal tidak menerima hasil putusan MK. Pesan singkat dari orang yang tidak saya kenal itu juga pernah saya terima menjelang putusan KPU yang nyatanya sama sekali tidak terbukti.
Oleh karena itu, saya memiliki keyakinan bahwa pembacaan putusan MK bakal berjalan mulus dan semua pihak bisa menerima hasil putusan MK tersebut. Proses pemilu yang berlangsung damai ini menunjukkan kalau rakyat Indonesia sudah dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan kalau hasil MK nanti bakal memicu kerusuhan bagi pihak yang tidak bisa menerima hasil putusan MK.
Kekhawatiran yang berlebihan juga datang dari aparat keamanan yang menetapkan status Siaga I di seluruh Indonesia. Status ini akan berakhir pada Jumat (22/8). Kendati maksudnya baik, untuk mengantisipasi situasi yang memerlukan pengamanan ekstra, status tersebut malah terkesan menciptakan ketakutan jelang pengumuman putusan MK.
Masyarakat yang sudah kondusif justru menjadi waswas dengan status tersebut. Sehingga, warga yang semula berniat untuk beraktivitas seperti biasa malah menjadi ragu. Selain itu, pengamanan yang cenderung represif dikhawatirkan justru memicu sakit hati pihak yang kurang beruntung dengan putusan MK tersebut. Namun, diyakini pula aparat keamanan bakal lebih persuasif dalam mengamankan sidang putusan MK, seperti saat mengamankan sidang putusan KPU. Pola pengamanan Polri yang berjalan mulus tersebut patut diapresiasi. Aparat juga diharapkan tidak bertindak berlebihan dalam mengamankan massa pendukung yang sekadar mengartikulasikan pendapatnya secara damai. Sehingga, pesta demokrasi yang sudah berlangsung damai ini dapat berjalan mulus hingga suksesi kepemimpinan nasional.