Oleh: Teguh Firmansyah -- Masalah habisnya kuota bahan bakar minyak (BBM) selalu menjadi persoalan hampir setiap tahun. Tahun ini, isu tersebut kembali mencuat setelah warga di sejumlah daerah harus mengantre cukup lama untuk mendapatkan BBM dalam beberapa hari terakhir.
Di Dolok, Sumatra Utara, antrean mencapai dua kilometer. Di Kota Padang warga harus mengantre hingga dua jam untuk membeli bensin subsidi. Antrean juga terjadi sejumlah SPBU di Karawang, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Nagrek, serta wilayah lain.
Problem utamanya sama, kuota BBM bersubsidi yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak cukup. Kalau dipaksakan, maka anggaran subsidi BBM akan membengkak, dan bisa melanggar ketentuan perundangan.
Untuk itu, penyaluran BBM bersubsidi harus dikurangi dari biasanya. Menurut Pertamina, jika tak dipangkas, bensin bersubsidi akan habis pada pertengahan Desember, sedangkan solar pada pertengahan November.
Dalam APBN Perubahan 2014, kuota BBM volume konsumsi BBM bersubsidi dialokasikan menjadi 46,0 juta kiloliter dengan jumlah anggaran subsidi sebesar Rp 246,5 triliun. Jumlah itu telah dipangkas dari semula 48,0 juta kiloliter.
Sebagai perbandingan, pada 2013, realisasi subsidi BBM mencapai 46,4 juta kiloliter. Sedangkan, pada 2010 sebesar 38,2 juta kiloliter. Artinya, dari 2013 ke 2014 tak ada kenaikan. Padahal, jumlah pemilik kendaraan setiap hari, bulan, dan tahun terus bertambah.
Pemerintah pun dihadapkan pada dilema yang sama. Maju kena, mundur kena. Kalau menambah kuota, maka anggaran membengkak. Sedangkan jika tidak, maka antrean pembeli akan terjadi setiap hari dan bisa mengganggu roda perekonomian.
Boleh dibilang, akar dari karut-marutnya masalah ini yakni ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemerintah dalam kebijakan subsidi. Pemerintah tidak memiliki satu komando untuk mengatasi masalah membengkaknya anggaran subsidi BBM. Baik dari sisi pengaturan ataupun sektor pendukung lain yang menentukan besaran subsidi.
Dari sisi pengaturan, misalkan, pilihannya dua, yakni dengan membatasi konsumsi atau menaikkan harga BBM. Becermin dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah sepertinya lebih memilih untuk membatasi daripada menaikkan. Selama periode kedua SBY dari 2010-2014, kenaikan BBM hanya terjadi sekali, yakni pada akhir Juni 2013, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500.
Sayangnya, upaya pembatasan yang berulang kali dibahas di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ataupun Kementerian Koordinator Perekonomian tak juga menunjukkan hasil. Yang ada hanya kesimpangsiuaran dan pemborosan anggaran.
Sebagai contoh yakni pemasangan radio frequency identification (RFID). Di Jakarta, sampai Agustus kemarin baru 352.641 kendaraan atau 7,84 persen dari target 4,5 juta kendaraan. Padahal, pemasangan RFID gratis sempat membuat antrean cukup panjang pada November dan Desember tahun lalu. Tak jelas kapan RFID ini akan berlaku. Atau mungkin tak jadi diberlakukan seiring pergantian pemerintah.
Sementara, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama justru melontarkan isu larangan penjualan bensin bersubsidi di Jakarta. Tak hanya itu, belakangan pemerintah juga mengeluarkan larangan pembelian solar bersubsidi di Jakarta Pusat serta larangan membeli bensin bersubsidi di jalur tol.
Di satu sisi, infrastruktur pendukung untuk mengurangi pemakaian kendaraan justru kurang diperhatikan. Sebagai contoh, sikap pemerintah yang lebih memprioritaskan pembangunan jalan dibandingkan transportasi massal yang secara efektif bisa mengurangi pengguna kendaraan.
Berapa persen anggaran untuk pembangunan rel kereta dibandingkan jalan? Tak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan izin mobil murah dengan istilah lebih lembut: low cost green car (LCGC). Tak beda dengan mobil lainnya, LCGC juga memakan bensin bersubsidi meski awalnya diminta untuk mengonsumsi pertamax.
Presiden terpilih Jokowi Widodo mempunyai kesempatan untuk memperbaiki ini semua, tentunya dengan kejelasan dan ketegasan. Tegas dalam mengatur subsidi dan tegas untuk membenahi tranportasi publik. Dengan begitu, anggaran negara bisa jauh lebih dioptimalkan. Semoga berhasil, Pak Jokowi.