Rabu 10 Sep 2014 13:00 WIB
Sudut Pandang

Pemerintah tak Seturut Perasaan

Red:

Di akhir periode pemerintahan saat ini, Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) melakukan pengadaan kendaraan untuk menteri/pejabat setingkat menteri, mantan presiden, dan mantan wakil presiden. Anggaran yang tersedot dari APBN 2014 untuk pengadaan mobil sedan mewah tersebut mencapai Rp 91,9 miliar.

Saat Setneg mengumumkan secara resmi kebijakan pembelian fasilitas mobil buat pejabat melalui laman www.setneg.go.id, beragam komentar publik pun bermunculan. Ada yang menghujat proyek yang dimenangkan PT Mercedes Benz Indonesia itu, tetapi ada pula yang menilainya sebagai suatu hal yang wajar.

Saya tak ingin menambah polemik berkenaan dengan perusahaan dan jenis mobil yang bakal ditunggangi para menteri di kabinet mendatang. Bagi saya, mobil sedan mewah jenis E 400 AMG keluaran Mercedes Benz bukanlah masalah penting yang harus dibahas. Apalagi kalau kita hanya membicarakan soal kemewahan sedan kelas teratas dari varian E-Class yang dibanderol dengan harga Rp 1,269 miliar per unit ini, tentu tak habis kata membedah kecanggihan mobil yang dirakit di Indonesia ini.

Hal yang ingin saya sampaikan di sini adalah betapa pemerintah seakan tak memiliki sense perception (seturut perasaan) dengan kebanyakan rakyat yang kini masih terhimpit beban ekonomi. Tidak henti-hentinya pemerintah mempertunjukkan kebijakan pongah yang selalu memancing amarah rakyat. Padahal, tengok saja soal gempita diskursus subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sampai saat ini masih berlangsung.

Pemerintah bak kebakaran jenggot berteriak-teriak agar rakyat berhenti menerima subsidi BBM. Alasannya, anggaran negara jebol untuk membayar subsidi yang dinikmati rakyat. Negara sudah tidak punya duit lagi untuk terus-menerus memberi subsidi BBM. Buntutnya, kata-kata harga BBM "harus dinaikkan" pun menjadi jurus andalan.

Nah, kalau memang pemerintah tidak punya uang, secara logika umum, seharusnya pemerintah melakukan efisiensi dan penghematan di sana-sini. Terutama untuk mata anggaran yang "dinilai" tidak perlu dikeluarkan. Jangan dilihat kecilnya mata anggaran tak perlu tersebut. Bukankah sejak belia kita semua diajarkan peribahasa "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit"?

Kalau memang negara sedang krisis keuangan, sudah sepatutnyalah pemerintah melakukan penghematan, efisiensi. Bukan menghambur-hamburkan uang untuk membeli sesuatu yang masih bisa ditunda.

Mata anggaran pengadaan mobil mewah untuk para menteri kabinet mendatang dan juga mantan presiden serta mantan wakil presiden saya pandang masuk ke dalam kategori pemborosan. Alasannya sederhana: mobil-mobil mewah yang dimiliki negara saat ini masih bisa digunakan untuk keperluan mereka. Toh, rakyat tidak terlalu melihat kendaraan apa yang ditunggangi para pejabat pemerintahan mendatang, melainkan kerja merekalah yang dijadikan acuan baik-buruknya pengelolaan negara.

Lagipula, pemerintahan yang dijalankan dengan sense of crisis yang tinggi serta kesederhanaan yang menjulang, terbukti bisa menjelma sebagai aktor utama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan seperti itu juga sekaligus bisa memainkan peran penting dalam konteks hubungan global.

Tengok saja pemerintahan Republik Islam Iran terdahulu saat ditukangi Presiden Mahmud Ahmadinejad. Ahmadinejad dengan cepat menjadi ikon dunia sebagai simbol pemimpin yang selalu membela rakyat dus tetap mempertahankan kehormatan serta harga dirinya di hadapan dunia global.

Ketika memerintah, Ahmadinejad menempati kantor presiden sederhana berupa bangunan kecil di wilayah padat di tengah Teheran. Kantor Ahmadinejad bahkan lebih kecil dibandingkan dengan kantor-kantor kementerian yangt kita miliki sekarang. Halamannya pun sangat sempit yang hanya cukup untuk parkir beberapa mobil.

Di ruang depan "Istana Kepresidenan" Ahmadinejad tidak ada benda-benda yang mencerminkan kemewahan. Bahkan, sekadar meja kecil untuk menaruh gelas para tamu pun tidak tersedia. "Itu sebuah pemborosan," kata Ahmadinejad mengomentari absennya benda-benda mewah di ruang tamu kantornya.

Apabila kita ingin melihat lebih jauh ke belakang, sikap dan kehidupan penuh kesederhanaan yang dipertontonkan Ahmadinejad sesungguhnya juga dengan sempurna dicontohkan Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah sukses membawa Madinah sebagai bangsa yang paling modern ketika itu lantaran sikap moral yang tak bisa disangsikan siapa pun. Muhammad SAW mengerti betul bahwa untuk mengubah masyarakat Madinah harus dimulai dengan mengubah masyarakat miskinnya. Pintu masuk untuk mendekati mereka tak lain adalah dengan betul-betul ikut merasakan rintihan serta pedihnya kehidupan mereka.Tidak ada cara paling efektif beradaptasi dengan rakhyat miskin kecuali sama-sama merasakan kegetiran yang mereka rasakan.

Pendekatan yang dilakukan Rasulullah SAW (dan juga Ahmadinejad) inilah yang saya lihat menjadi perbedaan besar dengan para politisi dan elite yang kita percaya mengelola negara saat ini. Para elite sekarang sangat sulit menyelami sulitnya menjadi orang miskin. Bahkan, ketika sampai di akhir "pengabdiannya", mereka terus berpikir bagaimana mencari cara agar tetap mendapatkan fasilitas mewah yang dibeli dari uang rakyat. Pengadaan sedan Mercy E 400 AMG senilai Rp 91,9 miliar adalah salah satu dari sekian banyak bukti betapa pemerintah tak mau merasakan kepedihan rakyatnya sendiri.

Oleh EH Ismail

email: [email protected]

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement