Apakah ini bisa menjadi harapan baik untuk jangka panjang atau kembali hanya sebagai gertak sambal dan isapan jempol yang disodorkan pemerintah? Mari kita simak dan icip-icip semangat keseriusannya.
Terbetik berita bahwa rapat koordinasi yang melibatkan belasan instansi pemerintah dan lembaga negara bertajuk "Perbaikan Tata Kelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI)" di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, yang berlangsung dua hari -- Selasa-Rabu (9-10/9) -- menghasilkan beberapa keputusan tegas dan strategis. Yang menjadi sorotan utama adalah eksistensi ruang angker bernama Balai Pelayanan Kepulangan TKI (BPTKI) Selapajang, Tangerang, Banten.
Dari hasil "penggerebekkan" tim gabungan yang melibatkan KPK beberapa waktu lalu, terminal transit dalam kompleks Bandara Soekarno-Hatta itu terbukti menjadi sarang mafia yang haus fulus TKI. Mereka menjebak TKI -- yang umumnya wanita -- dengan beragam modus pemerasan yang melibatkan aparat berseragam. Sidak itu menangkap 18 orang. Mereka ditahan, terdiri satu orang oknum polisi, dua oknum TNI, dan 15 orang preman.
Rakor menyepakati untuk mengosongkan sekaligus membubarkan BPKTKI Selapajang. Langkah ini masuk dalam salah satu dari 38 rencana aksi Quick Win, demi mempercepat perbaikan tata kelola TKI, yang dijadwalkan bergulir pada September-Desember 2014. Setiap bulan, akan dilakukan monitoring dan evaluasi intensif untuk mengukur tingkat keberhasilannya.
Untuk perbaikan tata kelola TKI, KPK bergandengan tangan dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Turut dilibatkan -- seperti juga tampak dalam rakor di KPK -- 14 instansi pemerintah, seperti Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Polri, Ombudsman, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Nasional Standardisasi Profesi (BNSP), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Angkasa Pura, dan Bank Indonesia.
Menyusul pembubaran BPKTKI Selapajang, akan difungsikan help desk sebagai shelter khusus di sekitar area Lounge TKI dalam Terminal 2 Bandara Soekarno - Hatta. Tetapi, shelter itu tidak hanya untuk menangani TKI bermasalah, tetapi sekaligus penumpang pesawat pada umumnya, sehingga disebut Common Use Lounge. Keberadaannya sebagai center of crisis bagi penumpang pesawat yang sakit dan terbelit masalah lain.
Untuk memperkuat keamanan di area Bandara Soekarno - Hatta, rakor juga menyepakati dualisme surat izin pengesahan boarding pass, kini hanya di tangan Angkasa Pura II. Dualisme pun terjadi dalam penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP) TKI antara Kemenakertrans dan BNP2TKI, sehingga rakor menyepakati kini menjadi wewenang tunggal BNP2TKI. Per Oktober 2014, layanan penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) calon TKI tidak lagi dilakukan di bandara, tetapi saat Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP).
Terkait perbaikan tata kelola pengurusan TKI di bandara, juga disepakati pembentukan saluran pengaduan yang terintegrasi dengan penguatan fungsi pengamanan yang melibatkan Polri. Yang tidak kalah pentingnya, menindak tegas para calo yang selama ini berkeliaran di seputar urusan layanan pemulangan TKI.
Berbicara soal tempat transit untuk pelayanan kepulangan TKI yang kembali ke Tanah Air dari pelbagai negara penempatan, jika melihat catatan sejarahnya sejak 1986, sudah mencapai selusin kali pindah tempat dan berganti tangan pengelola, namun selalu gagal. Tak kunjung menemukan format ideal. Pemerasan, penipuan, penjarahan, dan penelantaran TKI dari sejak masuk tempat transit hingga di tengah perjalanan menuju kampung halaman, terus menghantui berbagai model layanan pemulangan TKI itu.
Keberadaan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta sejak 31 Agustus 1999, juga tak kunjung menyelesaikan masalah. Terminal yang cukup fenomenal sebagai tempat transit khusus TKI -- dengan pelbagai jerat mafia dan aturan yang menyeramkan bagi TKI -- ini bahkan mengalami empat kali pindah tangan pengelola, dari mulai Tim Pengendali Pemulangan TKI dan 11 Perusahaan Jasa Angkutan, Puskopol Mabes Polri, Inkopol hingga Depnakertrans dan Koperasi Pelita.
Terminal III kemudian dibubarkan pada 2008 dan berganti menjadi Pos Pelayanan di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI BPTKI Selapajang. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi kemudian menyetujui usulan BNP2TKI ini untuk meningkatkan status kelembagaannya menjadi BPKTKI pada 21 September 2011.
Sejatinya, BPKTKI menampilkan wajah ramah dalam melayani TKI yang pulang kampung. Tapi, nyatanya setali tiga uang dengan wajah seram Terminal III. Mafia yang demikian kuat di dalamnya, menurut temuan KPK, mampu memeras rata-rata Rp 2,5 juta per TKI. Dikalikan saja dengan data TKI yang pulang melalui BPKTKI Selapajang, yaitu 250.637 orang (2011), 309.463 orang (2012), dan 96.237 orang (2013).
Kini kita berharap banyak terjadi perubahan drastis pascapembubaran BPKTKI. KPK dan tim gabungan lintas instansi -- dengan jumlah yang cukup gemuk -- semestinya menjadi badai tsunami yang mampu melibas habis mafia penghisap darah TKI.
Jangan sampai ruang transit TKI -- yang kini dinamai Common Use Lounge -- dilumuri gincu dan jargon omong kosong reformasi. Padahal, hanya kedok untuk melindungi kelanjutan praktik jahat mafia dalam penanganan para pahlawan devisa kita. Semoga tidak!
Oleh Asep K Nur Zaman