Oleh: Nur Aini -- Penjualan Bank Mutiara tinggal selangkah lagi menuju titik akhir. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menetapkan perusahaan investasi asal Jepang, J Trust Co Ltd, sebagai calon pemenang tender untuk mengakuisisi Bank Mutiara yang dulu bernama Bank Century itu.
J Trust dipilih sebagai calon pemenang tender dari enam investor yang mengikuti uji tuntas LPS pada Juni-Juli 2014. Perusahaan yang memiliki rentang bisnis dari bidang finansial hingga hiburan itu berhasil menyingkirkan dua calon investor dari Tanah Air. Iming-iming Rp 3 triliun yang disediakan PT Bank Rakyat Indonesia untuk mengakuisisi Bank Mutiara ternyata masih kalah menarik dari tawaran J Trust.
Dana yang disiapkan BRI untuk pertumbuhan anorganik perusahaan itu memang jauh dari biaya penyelamatan Bank Mutiara oleh LPS Rp 6,7 triliun. Padahal, harga jual Bank Mutiara yang ditetapkan LPS minimal setara dengan penyertaan modal tersebut. Namun, harga jual yang ditetapkan ternyata LPS harus menunggu hingga enam tahun untuk menentukan pemenang calon pemilik Bank Mutiara.
Kepemilikan investor asing di Bank Mutiara kini tinggal menunggu keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). J Trust akan mengikuti fit and proper test OJK sebelum resmi dinyatakan sebagai pemilik Bank Mutiara. Jika lolos, perusahaan yang sudah mencatatkan diri di bursa saham Tokyo itu bisa memiliki hingga 99,9 persen saham di Bank Mutiara pada pekan ketiga November 2014.
Dalam pernyataan resminya, J Trust memilih Indonesia karena potensi pasar perbankan yang didukung besarnya populasi. Perusahaan itu ingin melebarkan sayapnya ke pasar ritel di Tanah Air.
Dimenangkannya J Trust sebagai calon pemilik Bank Mutiara mengingatkan kembali publik pada kepemilikan asing di perbankan Tanah Air. Bank Indonesia sebenarnya sudah memiliki perisai untuk membatasi dominasi investor asing di perbankan nasional lewat PBI No 14 Tahun 2012. Peraturan mengenai kepemilikan saham bank umum tersebut mengatur syarat investor asing yang ingin memiliki saham bank lebih dari 40 persen.
Akan tetapi, kepemilikan investor asing di Bank Mutiara dikecualikan dalam PBI. Investor asing bisa mencaplok hampir keseluruhan saham Bank Mutiara. Status Bank Mutiara sebagai bank hasil penyelamatan LPS menjadi alasan pengecualian tersebut.
Terkait pengaturan investor asing dalam industri perbankan, otoritas Indonesia belum berani seketat sejumlah negara tetangga. Di Singapura, misalnya, hanya untuk memiliki layanan penuh perbankan (qualifying full bank/ QFB), setiap perusahaan wajib berbadan hukum Singapura. Dengan aturan itu, otoritas moneter Singapura (MAS) ingin menjadikan perbankan lokal menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri.
Setelah Bank Mutiara diserahkan ke investor asing, perbankan nasional harus bersiap untuk bersaing di pasar ritel. Dengan besarnya modal investor asing, perbankan nasional bisa jadi kalah bertarung di kandang sendiri. Sebelum itu terjadi, otoritas moneter sepertinya perlu menilik kembali asas resiprokal dalam aturan perbankan. Apakah aturan perbankan Tanah Air sudah setara dengan perlakuan otoritas moneter asing untuk perbankan nasional yang ingin berekspansi di pasar luar negeri? Atau, aturan itu justru memberi karpet merah bagi investor asing untuk masuk ke industri perbankan nasional.