Salah satu adegan monumental terkait Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 barangkali terjadi di Kebagusan, Jakarta Selatan, pada 9 Juli lalu menjelang sore hari. Saat itu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terekam sulit menahan emosi menyaksikan tayangan di layar televisi.
Melihat tayangan hasil hitung cepat yang menunjukkan kemenangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), berkali-kali Megawati mengusap air mata. Ia tentu bukan sedih saat itu karena senyum juga tak lepas dari bibirnya.
Kemenangan Jokowi-JK melengkapi keunggulan PDI Perjuangan dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sekira tiga bulan sebelumnya. Saat itu, aura kemenangan menguar dari markas-markas pendukung Jokowi-JK dan PDI Perjuangan.
Akan tettapi, kemenangan ternyata bisa memabukkan. Kubu parpol koalisi pendukung Jokowi seperti terhanyut dan lupa bahwa politik bukan gelaran pada waktu pencoblosan saja. Ia adalah proses panjang yang kerap mesti sangat cair.
Alih-alih bekerja keras mencari dukungan tambahan guna kelancaran pemerintahan Jokowi-JK, justru aura jemawa yang mencuat. Ada wacana soal perampingan kabinet yang tentunya bisa menghalangi bagi-bagi kursi untuk parpol-parpol seberang yang coba direngkuh; ada juga umbaran-umbaran soal pihak-pihak seberang yang mengiba meminta posisi. Belum lagi keras kepalanya Megawati yang terkesan enggan turun tangan membangun komunikasi dengan parpol-parpol yang mulanya potensial dibajak.
Saat koalisi parpol pendukung Jokowi-JK yang kemudian disebut Koalisi Indonesia Hebat sibuk berwacana, parpol-parpol di Koalisi Merah Putih yang berdiri di belakang pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memulai manuver-manuver.
PDI Perjuangan dan parpol koalisi lainnya seperti abai bahwa posisi mereka di DPR tak aman. Dengan komposisi parlemen 2009-2014, suara mereka sukar menandingi gabungan parpol kubu sebelah. Sementara, anggota dewan periode itu masih bisa mengesahkan aneka kebijakan hingga 30 September.
Dalam komposisi parlemen periode 2014-2019, koalisi pendukung Jokowi-JK juga bukan mayoritas. Jumlah kursi Koalisi Merah Putih setidaknya mencapai 52,14 persen. Jika Demokrat bergabung dengan Koalisi Merah Putih, kursi koalisi bertambah menjadi 63 persen anggota DPR.
Komposisi itu kemudian melunturkan kemenangan koalisi pendukung Jokowi-JK. Mulai dari UU MD3 di mana parpol pemenang pileg dibuat tak lagi bisa otomatis menjadi ketua DPR, penghapusan pilkada langsung melalui UU Pilkada, hingga akhirnya pemilihan ketua DPR; koalisi pendukung Jokowi-JK, terutama PDI Perjuangan seperti ditonjok berkali-kali. Wajah pemenang pemilu babak belur.
Jika PDI Perjuangan tak kunjung bisa membujuk satu-dua parpol anggota Koalisi Merah Putih berbalik arah, keadaan bisa jadi berabe di DPR. Terlebih, banyak kebijakan pemerintah yang mesti lewat persetujuan lembaga itu terlebih dahulu.
Namun, jika kemudian anggota parpol koalisi pendukung Jokowi-JK tak kunjung bertambah dan Koalisi Merah Putih kian solid, masalah buat Jokowi-Jk sebagai pengelola negara tak berhenti di pusat. Bila Mahkamah Konstitusi tak membatalkan pasal pemilihan kepala daerah oleh DPRD di UU Pilkada, justru kondisi di daerah yang lebih mengkhawatirkan.
Pasalnya, dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya di Bali gabungan kursi parpol pendukung Jokowi-JK pada DPRD setempat bisa mengungguli jumlah kursi Koalisi Merah Putih. Itu pun dengan selisih hanya satu kursi.
Jika UU Pilkada tak direvisi MK, kita bisa membayangkan sebuah pemerintah pusat yang membawahkan para kepala daerah yang hampir seluruhnya dari pihak oposisi. Program-program bagus dari pusat punya dua kemungkinan pelaksanaannya di daerah. Pertama, ia bisa dijegal, kemudian ia bisa juga diklaim oleh kepala daerah bersangkutan.
Dari itu, kompromi mutlak diupayakan PDI Perjuangan sebagai pemimpin koalisi pemerintahan. Sebab, kelancaran pemerintahan adalah juga kepentingan rakyat. Karena tanpa tambahan kekuatan, pemenang pemilu bisa jadi bakal sekadar label buat PDI Perjuangan.
Fitriyan Zamzami