Berawal dari kebiasaan leluhur dan masyarakat Mataram pada masa silam, jemparingan (tradisi memanah) tetap bertahan hingga kini. Pada masa lalu keahlian ini digunakan untuk berburu hewan di hutan, untuk berperang, hingga menjadi alat pertahanan diri.
Kesetiaan masyarakat Yogyakarta akan pentingnya menjaga tradisinya ditunjukkan dengan ketangkasannya berolahraga dan mengolah kesabaran dalam menggunakan busur dan anak panahnya.
Berbeda dengan olahraga panahan yang biasa kita kenal, jemparingan dilakukan dengan duduk bersila dengan menggunakan busana tradisional, yaitu kebaya jarit (wanita), blangkon, dan surjan.
Para pemanah berlomba untuk membidik anak panahnya ke sasaran yang disebut bandhul. Sasaran ini berupa batang busa padat berukuran panjang 30cm dengan dengan diameter kurang lebih empat sentimeter. Dari jarak 30 meter, bandhul digantung setinggi kira-kira orang dewasa.
Biasanya setiap peserta akan diberi kesempatan memanah dalam 20 rambahan (ronde) dengan empat anak panah pada setiap rondenya. Anak panah yang menancap di bagian atas sasaran yang berwarna merah akan mendapat nilai tiga dan anak panah yang menancap di bagian putih dari sasaran akan mendapatkan nilai satu.
Berbeda dengan olahraga panahan modern. Busur dan anak panah yang digunakan tergolong sederhana. Menggunakan bahan dasar kayu dan bambu. Tidak ada alat bantu khusus untuk membidik. Semua mengandalkan rasa si pemanah dalam membidik dan kapan harus melepas anak panah.
Jemparingan memang kerap diidentikkan dengan kegiatan olah rasa, selain olahraga. Ketenangan menjadi makna terdalam dari filosofi jemparingan. Ketenangan diperlukan dalam mengambil keputusan agar tepat sasaran. Nico Kurniajati, ed: Yogi Ardhi