BAB I
DOA EMAK
Cianjur, musim paceklik, 2003. Suara muazin memanggil umat untuk menunaikan shalat Subuh, menggaung dari speaker Masjid At-Taqwa di kawasan Cianjur. Gemanya membangunkan penduduk Bojongsoang hingga ke pelosok-pelosok kampung, gang, pesawahan, bukit, dan sungai.
Terus menyelusup ke rumah penduduk, termasuk ke dalam rumah keluarga Abah Amar. Sebuah bangunan tua, warisan leluhur, rumah panggung dengan atap julang ngapak 1) di kawasan pesawahan. Letaknya di daratan yang lebih tinggi di antara rumah penduduk lainnya.
Jika berdiri di pekarangan belakang tampaklah lanskap alam yang indah, pesawahan membentang luas dilatarbelaka ngi gunung Gede Pangrango. Sesungguhnya mereka sudah terbiasa lebih awal bangun, beberapa saat sebelum gema azan Subuh terdengar. Demikian pula pada Subuh yang menggigil itu.
"Sudah dibangunkan si Sarjang?" tanya Abah Amar kepada istrinya yang berpapasan di pintu dapur. Yang dimaksud adalah anak bungsu mereka.
Perempuan itu hendak pergi ke sumur umum yang letaknya lumayan jauh dari rumah mereka.
Sebelum Emak Amar menjawab, muncul seorang remaja putri dari belakangnya. Putri sulung mereka, Fatin, mengiringkan lima adiknya, termasuk si bungsu Sarjang yang punya nama lengkap Amar. Sarjang panggilan kesayangannya. Dialah satu - satunya anak laki-laki dalam keluarga ini.
"Ini Sarjang, Bah," ujar remaja putri berparas cantik yang suka berjilbab itu.
Ia mendorong punggung si bungsu agar mendekati ayah mereka yang sudah siap berangkat ke masjid. Sekilas Fatin melihat ayahnya mengenakan baju koko putih dan peci haji, oleh-oleh dari tetangga yang belum lama pulang dari Makkah.
"Enya atuh, hayu, Sarjang, urang ka masjid 2)," ajak Abah Amar, tangannya yang kuat sebagai petani, menggapai tangan anak laki-laki berumur enam tahun itu. Emak sudah mendahului keluar pintu dapur, setelah beruluk salam, ia pun meluncur ke arah sumur. Fatin bersama adik-adik perempuan tak mau kalah, seakan berlomba mereka berlari mengikuti jejak Emak.
Sejenak Fatin merandek, senang sekali bisa mengawasi empat adik perempuan, Aish, Iyam, Siti, dan Anis yang berlarian sambil tertawa riang. Mereka menyusuri jalan setapak di belakang rumah menuju pemandian umum.
Sosok Emak seolah - olah semakin tidak terkejar, terus saja melangkah cepat, bahkan setengah berlari. Di mata Fatin, sosok itu bagaikan silhuet bidadari di ambang fajar, bersamaan dengan gema azan Subuh yang mulai diperdengarkan.
Bagi Fatin, keriangan adikadik merupakan kebahagiaan tersendiri, meskipun hanya sekejap dan sekilas saja. Tetaplah sebagai penghiburan menyenangkan, setidaknya sekejap melupakan pahit - getir kehidupan yang harus dilakoninya.
Sementara abahnya dan si bungsu pergi shalat berjamaah di Masjid At-Taqwa, Fatin dan Emak beserta anak-anak perempuan, menunaikan shalat berjamaah di rumah saja.
Emak tak pernah lupa mengajak anak-anak untuk berdoa bersama. Fatin dan adik - adik mematuhinya dengan takzim.
Adakalanya Fatin mencuri pandang ke arah ibunya. Perempuan itu berdoa dengan khusuk. Sepasang mata terpejam, bibir komatkamit sambil menengadahkan kedua tangan.
Kira-kira apa yang Emak doakan, ya, pikir Fatin. Pernah ia menanyakannya beberapa kali ketika kecil. Emak akan panjang lebar menjawab pertanyaan ringkasnya itu.
"Banyak yang Emak doakan..."
"Misalnya apa, Mak?" buru Fatin ingin tahu.
"Mendoakan agar Abah sehat, kuat selalu. Mendoakan anak-anak juga..."
"Apa Emak mendoakan aku?"
"Tentu saja Emak mendoakanmu juga, Neng..."
"Iya, doanya apa, Mak?" cecarnya jadi penasaran.
"Agar jadi anak perempuan yang tangguh, perkasa, tahan banting..."
"Kenapa harus doa begitu, Mak? Tangguh, perkasa, tahan banting itu apa, Mak?"
"Pokoknya, kamu akan sangat membutuhkannya kelak, Neng."
1) Sebutan untuk bentuk wuwungan rumah khas di tatar Pasundan
2) "Iyalah, ayo, Sarjang, kita ke Masjid," (Sunda)