Jangan bilang siapapun, pesan Emak yang segera diiyakan oleh Fatin.
"Bagaimana rasanya, anakanak?" tanya Emak.
"Wangi daun salam, tidak terasa nasi pera'nya, Mak, terima kasih. Emak memang pintar sekali memasak," puji Fatin tulus.
"Enak pepes gabusnya, Mak, biarlah nasi pera," timpal Aish.
"Kerecek jantung pisang buatan Emak, sedaaap!" kata Nisa.
"Lauknya sedap semuanya," sambung Iyam.
"Tambah, ya, Mak, boleh?
Suka semuanya!" pinta Sarjang sambil heboh mendecap decap kepedasan. Sesekali tangannya menyusuti ingus yang hampir berloncatan dari hidungnya.
Emak tidak bertaka-kata, duduk di pojokan dapur, memandangi wajah wajah kelaparan yang sedang melahap makanan buatannya dengan sukacita. Baginya itulah sebuah kebahagiaan tersendiri.
Dari balik pintu dapur Abah diam diam menguping. Ia tak tahan lagi, membalikkan badannya, kemudian cepat cepat berlalu.
Bagi seorang petani kehilangan semua sawah karena dijadikan jaminan utang merupakan beban sangat berat, menekan jiwa dan raganya. Demikian pula yang dirasakan oleh Abah Amar.
Dua tahun berturut-turut mereka, para petani di desa ini mengalami musim paceklik. Awalnya pinjam sejumlah uang dengan menjaminkan sawah satu hektar.
Ketika seharusnya panen, ternyata bukan padi berlimpah yang diperoleh, sebaliknya kerugian. Tidak ada air, kekeringan, gagal panen!
"Lu boleh garap ini sawah," kata Engkoh Acong. "Nanti hasilnya semua dikasih sama oweh, setuju?"
Mau bagaimana lagi coba? Bagi Abah dan teman teman sesama petani, tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran tengkulak keturunan Tionghoa itu.
Kembali ia meminjam sejumlah uang. Malangnya tahun beri kutnya panen gagal lagi. Jangankan bisa mengembalikan pinjaman, sebaliknya malah menambah utang. Jumlahnya jadi berlipat- lipat, sebab pinjaman menjadi beranak-pinak.
Alhasil, beginilah akhirnya! Abah Amar telah kehilangan lahan mata pencahariannya. Sawahnya telah diambil alih oleh tengkulak. Kini Abah Amar alih profesi, bukan lagi sebagai petani mandiri melainkan hanya penggarap sawah milik orang lain.
Satu kali, Fatin memergoki lelaki paro baya itu sedang berdoa khusuk di Mushola dekat rumahnya. Tempat dirinya dan adik-adik biasa mengaji tiap petang. (Bersambung)