Fatin, Hendar, Dijah dan Nurul segera diantar menuju dapur.
Sambil memperhatikan para koki memasak, mereka diberi makanan Italia oleh Chef Doni. "Silakan, kalian makan di meja sana, ya," kata Chef Doni ramah dan santun. "Waktunya makan siang. Hadiah dari dapur buat kalian, anak-anak baru. Sukses, ya, semoga kalian betah di sini."
"Terima kasih, Kang…." Fatin mengangguk hormat. "Chef, ya, aku Chef Doni," katanya tertawa simpatik. "Oiya, terima kasih, Chef Doni yang baik," ujar Fatin, kini membungkuk hormat.
"Sudah, iiih, kamu itu norak banget sih!" Dijah menarik pergelangan tangannya dengan kasar.
Mereka berkumpul di sebuah meja makan yang telah penuh dengan makanan.
"Makanan apa nih?" bisik Nurul, mencermati piring di hadapannya. "Seperti mie apa, aneh, ah!"
"Ini namanya makanan Italia. Nah ini namanya Spaghetti, Lasagna, Fetuccini, dan ini Tortellini," ujar Fatin dengan fasih menjelaskan berbagai menu yang terhidang di hadapan mereka.
"Tahu dari mana sih, Fatin?" cibir Dijah, tak percaya sama sekali.
"Iya! Kamu ini sok tahu sekali!" sergah Nurul mendadak sengit, tak menduga pengetahuan Fatin mencengangkan mereka.
Fatin tersenyum manis. Ia sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh kedua anak ini. Mereka sebenarnya tidak pernah satu kelas. Baru terlibat kebersamaan sekarang saja.
"Kalian kan tahu kalau aku kutu buku. Koleksi buku masakan di Perpus sekolah sudah kulahap."
"Huuuuuu! Sombongnya !" ejek Dijah dan Nurul, kompak.
"Bukan sombong, tetapi itulah hobiku, membaca. Ternyata sangat berguna, iya kan?" bantah Fatin.
"Kalau begtu, coba lahap semua makanan ini!" perintah Dijah, galak.
"Iya, makan saja bagianku juga. Rasanya, hmm, malas memakannya," kata Nurul, menyorong jatahnya. Mimik wajahnya tampak jelas tidak menyukai semua makanan di hadapannya.
"Baik, tetapi aku hanya akan memakan jatahku saja. Tidak bagus mendadak serakah," kilah Fatin.
Kemudian dengan tenang dan santai ia merapikan posisi duduknya, berusaha memanfaatkan peralatan makan jatahnya, termasuk menaruh lap di pangkuannya. Gerak-geriknya sungguh anggun memesona.
Seakan akan ia telah terbiasa berhadapan dengan sebuah jamuan makan resmi.
Ketiga temannya melongo hebat melihat gerak geriknya yang memang sesuai dengan etika, sebagaimana pernah diajarkan guru mereka. (Bersambung)