Ia duduk saja di pojok ruangan, memasang kuping tetapi pandangannya kebanyakan ditundukkan.
"Kerja sambil melanjutkan kuliah untuk meningkatkan potensimu. Kamu punya semangat tinggi dan ketulusan. Itu semua terpancar dari wajahmu tanpa riasan menor. Mau kan, ya Nak, mau?" kata rekanan bisnis sang Direktur dalam nada kebapakan yang membuat Rimbong tak nyaman.
Ia bukan lelaki yang suka perempuan sembarangan. Kalaupun sempat punya wanita lain, itu diniatkannya untuk memiliki keturunan. Sementara Norma, perempuan mandiri, pebisnis handal yang telah sama berjuang membangun bisnis.
Sekarang Rimbong menemukan gadis bersahaja yang lugu dan cantik alami ini.
Ada sensasi aneh yang menyelusup kisi-kisi hatinya. Lihatlah, Rimbong, betapa menawannya gadis bernama Fatin ini!
@@@
"Fatin!" Manajer Rieki, tibatiba sudah menghampirinya di desk Resepsionis.
"Ya, Pak Rieki, ada yang bisa saya bantu?" Fatin mengangkat wajahnya dari layar komputer, memantau daftar tamu yang sudah masuk hari itu.
"Kamu sedang apa, Dek?" "Ini tugas dari Kak Lila…. Ada apa, Pak Rieki?" ulangnya.
"Pak Rimbong memintamu menghadap," sahut Rieki jelas terdengar oleh telinga semua orang yang berada di balik desk Resepsionis.
Tiga karyawan di sebelah Fatin serentak memandang ke arah gadis itu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika Fatin ditempatkan di situ.
Perintah langsung dari Direktur. Siapa yang berani menentang?
"Jadi curigasion nih," cetus Lila, senior berbadan seksi dengan rias wajah menor.
"Iya, jadi sering dipanggil begitu. Pasti ada sesuatu!" sambung rekannya, Desy yang tak kalah menor riasan wajahnya.
"Jangan-jangan kamu mau dijadikan selingkuhannya!" Dini menohoknya dengan tajam.
Fatin menggigit ujung bibir, menahan kemarahan yang seketika menggelegak dalam dadanya.
Sebulan magang ketiga karyawan itu selalu menjadikan dirinya bahan olok-olok. Mulai dari busananya yang disebutnya kampungan, jilbab putih yang dikatai kerudung pocong, sepatu pantovelnya pun dijadikan ejekan.
Sejauh itu Fatin tak pernah memedulikan mereka. Ia berlagak tidak mendengar saja. Namun, kali ini mendengar komentar Dini yang begitu pedas, rasanya kepingin menyumpal bibir merah menyala itu dengan kain pel!
"Jangan dengarkan omongan nenek lampir, ayo, Fatin! Sudah ditunggu dari tadi," kata Rieki hendak menarik tangannya.
(Bersambung)