"Jadi kalian harus diamankan dulu, ya, hmmm…."
Lelaki itu meracau secara terus-menerus, seolah takkan pernah berujung.
Beberapa jenak Frankie seperti berpikir.
"Oya, di atas!"
Sepanjang lorong itu ibu dan anak kembali diseret dengan kejam, sehingga tubuh keduanya membentur-bentur benda yang dilewati.
"Sekarang kalian harus dikurung di sini!"
"Jangan berani-beraninya melarikan diri!"
"Kalau tidak aku bunuh kalian berdua!" teriak Frankie meracau terus, akhirnya melemparkan ibu dan anak itu ke sebuah kamar di lantai atas. "Ya, di sinilah tempat kalian yang paling pantas!"
Frankie mengurung Fatin dan anaknya di kamar gelap, dingin dan bau apak. Sebab telah lama tak pernah terkena sinar matahari, tak pernah pula ditempati.
Beberapa bulan sebelumnya Frankie pernah menampung seorang teman. Kemudian temannya itu sering membawa gerombolannya ke situ. Sehingga Frankie mengusirnya.
Dalam keputus-asaan begitu, Fatin berserah diri kepada Sang Pencipta. Ia mendirikan sholat meskipun hanya dengan tayamum. Satu saja yang membuat Fatin tetap mampu bertahan. Anak!
Ya, hanya keberadaan Ridho yang membuatnya tetap tangguh, masih memiliki semangat untuk terus berjuang menyelamatkan diri.
@@@
BAB 11
ANAK BENTENG JIWA
Malam ke-15, apartemen Frankie, musim dingin semakin membeku dengan suhu udara di luar mulai ekstrim.
Tiga hari tiga malam Fatin dan si kecil benar-benar dikurung di kamar yang tidak layak huni di lantai atas. Penerangan hanya mengandalkan cahaya dari luar, lampu di tiang listrik yang menyala jika telah malam.
"Dingin, Ma, dingin, brrrrr!"
gumam kecil akan terdengar setiap beberapa saat.
"Sabar, ya Nak, kuat ya, tangguh, Cintaku…."
Hanya itu yang bisa diucapkannya seraya memeluk si kecil erat-erat. Jika boleh jujur, sesungguhnya ini lebih sebagai upaya menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Menciumi harum badan anaknya, niscaya ada satu keajaiban cinta yang menguat dari tubuh si kecil.
Saat-saat begini bagi Fatin merupakan satu-satunya cara dalam mengumpulkan repihan semangat yang telah terceraiberai. Maka, acapkali ia menyusupkan wajahnya dalam-dalam ke kepala anaknya.
Adalah percakapan begini, betapa sering dan tak terhitung lagi. (Bersambung)