Fatin dan si kecil beberapa saat terguling-guling di atas hamparan salju. Akhirnya ia berhasil menghentikan gerakannya.
"Tidak apa-apa, ya Nak, kuat, ya tahan, ya?" ceracaunya. Diraihnya si kecil, dirabaraba wajahnya, kepalanya, kakinya, tangannya.
"Aku kuat, Mama, aku tahan…."
Suara si kecil meyakinkannya. "Alhamdulillah, diberkatilah hidupmu, Anakku."
Fatin menciumi wajahnya yang mungil.
"Kita terus berjuang, ya Sayangku, Cintaku…."
"Ya, Mama, kita berjuang…." Maka, mulailah perempuan muda itu mengumpulkan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya.
Harus punya berkarungkarung, berkodi-kodi, bahkan berkoper-koper simpanan kekuatan. Selain kesabaran, keikhlasan dan keimanan yang tetap membalun jiwa dan raganya seagai seorang Muslimah.
Ia baru memahami makna doa ibunya semasa kecil. Emak selalu mendoakannya agar menjadi perempuan tangguh. Inilah agaknya hakikat doa ibu tercinta.
Saat inilah pula doa Emak mengalirkan kekuatan maha dahsyat ke dalam dirinya. Kekuatan itu terus merasuki sekujur tubuhnya, merembes ke setiap tetesan darah yang mengalir dari ujung kaki hingga ubunubunnya. Inilah salju pertama yang dilihatnya di Negeri Kincir Angin.
Ada sensasi aneh yang merayangi kisi-kisi batinnya.
"Salju pertama dalam hidup kita, ya Nak," bisiknya seraya terus melangkah, melangkah dan melangkah.
Ia harus menjauhi wilayah si jahanam itu secepatnya!
Ia tak peduli dengan rasa nyeri yang semakin menggerogoti bagian kemaluannya. Terus melangkah, kali ini dibarengi dengan menyebut sebagian dari 99 Asma ul Husna dalam setiap helaan napasnya, dalam setiap langkahnya.
"Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah...."
"Ya Rahman, Ya Rahman, Ya Rahman….
"Ya Rahim, Ya Rahim, Ya Rahim…."
"Ya Jabar, Ya Jabar, Ya Jabar…."
Fatin terus menyeret langkahnya, tak peduli dengan hawa dingin yang kian membeku. Sesekali dari mulutnya mengesahkan doa yang takzim, dipanjatkan kepada Sang Khalik.
"Tuhan, hamba mohon.... Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku!"
Dari rahimnya mengucur darah segar tapak penganiayaan Frankie.
Sesekali mata si kecil terpicing, melotot kearah bercak darah yang ditinggalkan ibunya.
Namun, ia tidak bicara apapun lagi, kembali memejamkan matanya, tertidur dalam gendongan ibu tercinta. Inilah ketangguhan seorang ibu sejati!
Fatin terus berjalan, berjalan dan berjalan.
Entah berapa kilo, entah sampai di mana..
(Bersambung)