Jumat 06 Jan 2017 18:00 WIB

Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku (76)

Red:

Meskipun ribuan mil terpisahkan, lintas benua, lintas samudera, Fatin masih bisa mengenali suara adiknya. Ternyata adiknya pun masih mengenali suaranya.

Ya Allah!

"Iya, Aish, apa ada Abah, Emak, semuanya saja di situ?" "Ada, Teteh, kita lagi kumpul di rumah….."

Fatin bercucuran airmata haru, bisa mendengar kembali suara orang-orang tercinta. Abah, Emak dan lima adik bergantian bicara sebentar dengan Fatin.

Sejak terhubung lagi silaturahim dengan keluarganya, Fatin merasa telah terbebas dari traumatis jiwanya. Ia bertekad untuk bangkit dan berjuang kembali demi dirinya, anaknya dan keluarganya di Indonesia.

"Apakah kamu mau ambil kursus membuat roti dan kuekue, Nak?" Oma Roselin satu hari menawarinya kesempatan emas.

"Tentu, tentu saja, mau!" sambut Fatin dengan sukacita.

Selama tiga tahun tinggal bersama mereka, ia telah diberi kebebasan bertindak. Fatin semampunya membantu suamiistri sepuh itu, memasak dan pekerjaan rumah lainnya. Bahkan dengan senang hati menemani Oma Roselin bersih-bersih di kapel, menyediakan penganan untuk jemaatnya Dominee Hartland.

Kini Oma Roselin memberinya kesempatan emas. Tidak mungkin ditolak, ini adalah jembatan untuk meraih kemandiriannya terutama dalam mengelola keuangan pribadi.

Pasca mengantongi sertifikat dari kursus membuat roti dan kue-kue, Oma Roselin dan suaminya mengantar Fatin ke sebuah pertokoan. Di depan sebuah toko mungil, mengambil lokasi paling ujung di jalan ramai, Oma Roselin dan pendeta merandek.

Fatin pun ikut merandek, matanya seketika menyapu pemandangan di hadapan mereka. Sebuah toko mungil, temboknya dicat ungu, sudah ada etalase untuk memajang roti dan kue, semua siap pakai.

"Tinggal diberi nama, nanti kita pasang neonboks di atas sana," kata Oma Roselin.

"Bagaimana, Nak, kamu suka?" Dominee Hartland menatapnya. Fatin tidak langsung menyahut.

Ada gelombang haru yang begitu bergejolak dalam dadanya. Ini sebuah toko kue yang sangat representatif, bagus sekali, sebuah lahan bisnis sumber mata pencaharian.

"Terima kasih, Opa, Oma," lirih Fatin nyaris tak terdengar. Mereka memasuki toko mungil itu, bau cat yang masih baru meruap tercium oleh Fatin terasa sebagai sebuah tantangan. Inilah lahan bisnismu, Fatin!

"Mau diberi nama apa tokomu ini, Nak?" tanya Oma Roselin.

"Roselin Bakery…."

"Oh, tidak, tidak," tolak Oma Roselin cepat. "Sebaiknya namamu atau nama anakmu saja."

"Tetapi, mengapa, Oma?" tanya Fatin. (Bersambung)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement