Fatin merasa perlu mendiskusikannya dengan para senior dan aktivis di komunitas pengajiannya.
Salamah, demikian holaqoh yang diikutinya selama ini. Kebanyakan pendatang dari Timur Tengah, para pengungsi Palestina, Irak, Syria dan sebagian perantau seperti dirinya dari Indonesia, Malaysia dan Brunei.
"Apakah dia tidak suka dengan keyakinanku, Sister?" tanyanya kepada Fatma.
"Bukan, kalau kita telisik dari pertanyaan-pernyataannya, dia bukan memasalahkan akidah kita," kata Fatma sang ketua komunitas. "Ini seperti gelagat orang yang tertarik dengan Islam. Calon mualaf sering penasaran begitu."
"Haaah? Calon mualaf? Oma Lience tertarik…."
Fatma tersenyum. "Sering aku menemukan sosok seperti ini. Ujung-ujungnya memang minta disyahadatkan." "Subhanallah…. Andaikan itu terjadi, ya Allah…."
Fatin tak hendak membayangkannya! "Mari kita doakan bersama untuk kebaikannya."
Sementara itu, Fatin meminta maaf kepada Emak dan Abah di Cianjur, sebab ia masih belum bisa pulang. Meskipun menyatakan kecewa, tetapi mereka tetap mendoakannya.
Fatin pun semakin sering mengirimkan dana untuk mensejahterakan keluarganya. Membiayai pendidikan adik-adik, membangun usaha penggilingan padi keluarganya di Desa Bojongsoang, Cianjur.
@@@
Bab 14
BERDAMAI DENGAN
MASA LALU
Satu hari, Fatin kedatangan Frans Dominick di tempat kerjanya.
Ia mengaku sengaja mendatanginya yang sedang sibuk melayani para tamu di kafenya. Sementara toko rotinya telah lama dipegang oleh Fatma, seorang perempuan Palestina, ketua komunitas kajian Salamah.
"Baik, marilah kita ngobrol sambil makan siang," ajak Fatin setelah menyediakan makanan khas Nusantara pesanannya.
Frans Dominick, pengacara terkemuka di kawasan Blaricum. Memiliki bisnis perumahan dan sebuah dealer mobil besar di pusat pertokoan. Kekayaan dan kedudukannya yang terhormat ternyata tidak membuatnya bahagia.
Ia memiliki kelemahan sebagai seorang lelaki, tidak bisa memuaskan hasrat istrinya dalam bersenggama. Itulah yang menyebabkan Estella meninggalkannya, beberapa pekan setelah mereka menikah.
Ia telah berobat ke mana-mana, segala cara pun pernah dilakukannya. Semuanya berujung sia-sia dan semakin mengecewakan dirinya. Akhirnya ia tak mau peduli lagi dengan keadaan dirinya, kelemahannya sebagai seorang lelaki.
Sejak itu, setelah belasan tahun berlalu, Frans Dominick seperti trauma dengan makhluk berjenis perempuan. Ia berpenampilan necis dan pesolek, rajin pergi ke salon dan senam kebugaran. (Bersambung)