.....Orang-orang menyindirnya sebagai lelaki metroseksual. Frans Dominick tak peduli! Ia masih berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang membelit kehidupunannya.
Hingga berjumpa dengan Fatin dan banyak belajar dari perempuan cantik ini, tentang makna berdamai dengan keadaan. Jadi, kapan Anda akan menengok keluarga di Indonesia?tanya Frans Dominick seraya menikmati soto Bandung buatan Fatin.
Bukan karena desakan siapapun kalau aku memutuskan mau ke Indonesia bulan depan, kata Fatin tenang.
Apa? Bulan depan? Terlalu cepat, itu tidak mungkin! Frans Dominick tersentak kaget sehingga tersedak.
Fatin menyodorkan minuman. Maafkan, telah membuat Anda tersedak.
Frans Dominick, blasteran Jerman-Belanda, cucu seorang tentara Belanda yang pernah ditugaskan di kawasan Jawa Barat, tepatnya di Cimahi. Ia meminum air putih dingin pelan-pelan, kembali ingin menikmati makan siangnya yang terlambat.
Baiklah, jadi Anda hendak ke Indonesia? Apa untuk selamanyakah di sana?
Fatin menggeleng. Belum terpikirkan sejauh itu. Bagaimana dengan janjiku kepada keluarga Hartland, apabila aku pulang selamanya?
Mudah saja, asalkan Anda membawa serta Victor, ujar Frans ringan. Segala bisnis dan tetek bengek di sini, bisa Anda serahkan kepada perusahaan kami, misalnya. Bisa juga kepada orang yang Anda percayai, hmm, masih ada Oma Lience, bukankah?
Fatin tercenung mendengar solusi yang ditawarkan. Selama ini tak pernah terpikirkan sejauh itu. Namun, belakangan ada hasrat terpendam untuk kembali ke Indonesia.
Jika jujur, bagai-manapun kerinduannya kepada orang tua dan adik-adik sudah menjadi penyiksaan batin, menurih malam-malamnya yang senyap.
Tak ada yang menghalangi Anda untuk memutuskan sikap, Fatin, usik Frans pula. Aku bisa memahami perasaanmu.
Tahukah Anda, dulu kakekku sampai sakit dan berujung pada kematian, tak tahan lagi menanggung rindu dendam terhadap istrinya di Cimahi. Bukan istrinya yang di Belanda, ya, tepatnya di Cimahi. Karena nenek dari Belanda tidak memberinya keturunan.
Artinya, nenek Anda adalah perempuan Sunda dari Cimahi? Frans mengangguk, makannya telah selesai, ditatapnya sekilas wajah rupawan di hadapannya.
Sejak lama aku kagum kepada Anda. Bagaimana mungkin Anda tidak merasa rindu kepada keluarga di Indonesia, bertahuntahun. Tepatnya sepuluh tahun, tukas Fatin seketika terdengar parau.
Tentu saja aku merindukan keluargaku, bangsaku, kampung kelahiranku dan Tanah Airku. Namun, aku sudah berjanji dalam hati bahwa baru akan pulang kalau sudah sukses. (Bersambung)