JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah memproses satu pembentukan bank umum syariah (BUS). Ketua Departemen Perbankan Syariah OJK Edy Setiyadi menyatakan, tahun ini akan ada satu UUS yang spin off menjadi BUS.
"Saat ini baru proses satu, belum ada tambahan baru," kata Edy kepada wartawan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Proses UUS lain yang akan spin off dilihat Edy baru akan terjadi pada 2015 atau 2016. Pasalnya, rencana ini baru masuk ke dalam rencana bisnis bank, belum dieksekusi berupa pelaporan ke otoritas.
Ia menambahkan, bank induk masih memiliki waktu sampai akhir Juni 2014 untuk merevisi rencana bisnisnya. Revisi ini juga termasuk apakah UUS miliknya akan dilepas dan membentuk bank umum.
OJK melihat, belum akan banyak UUS yang beralih dari UUS ke BUS. "Sebagian memilih sampai batas waktu spin off UUS, yaitu pada 2023," tuturnya.
Suntik modal
Edy menyebutkan, beberapa induk bank syariah telah menyuntikkan modal ke bisnis syariahnya. Dua bank telah menyetor modal ke bank syariahnya dan pada semester kedua akan ada dua bank induk lagi yang menyuntikkan modal ke anak usaha syariah.
Ia mengemukakan, dua bank yang sudah menyetor modal ke bisnis syariahnya masing-masing sebesar Rp 300 miliar dan Rp 50 miliar. "Nanti, pada semester dua akan masuk Rp 500 miliar dan Rp 200 miliar," ujarnya.
Edy menjelaskan, suntikan modal dilakukan dalam rangka memperkuat modal bank syariah di tengah pengetatan pertumbuhan perbankan. Induk usaha bank syariah kini mulai melihat modal delapan sampai sepuluh persen saja tidak cukup untuk pengembangan bisnis syariah.
Pertumbuhan bank syariah beberapa kuartal terakhir tidak begitu menggembirakan. Pertumbuhan aset bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) hingga April 2014 hanya 17,5 persen menjadi Rp 244,3 triliun. Pertumbuhan ini lebih rendah bila dibandingkan pada akhir 2013 sebesar 24,3 persen.
Pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia pun relatif stagnan, yaitu hanya 4,88 persen. Inilah yang perlu diantisipasi induk usaha dalam menjaga bisnis syariahnya melalui suntikan modal. "Mekanismenya bisa secara organik, seperti induk tidak membagi dividen, tapi langsung diberikan untuk modal anak usaha," kata Edy.
OJK juga melihat belum perlunya pengaturan financing to deposit ratio (FDR) untuk bank syariah. Seperti diketahui, FDR rata-rata bank syariah di atas 10 persen.
Bank syariah dinilai masih memerlukan ruang untuk berkembang. Meskipun tidak diatur, regulator tetap melihat kesehatan bank melalui tingkat rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF). Rata-rata NPF nett bank syariah saat ini berada di level 3,5 persen. Ada yang sudah di atas empat persen, tapi itu adalah NPF gross.
Kalaupun ada bank yang rasio pembiayaan bermasalahnya di atas empat persen dan FDR terlalu tinggi, regulator telah memberikan peringatan untuk menurunkannya. "Jadi, per individu bank saja," kata Edy.
Terkait permodalan, sebelumnya Direktur PT Bank Muamalat Tbk Luluk Mahfudah menyatakan, perseroan telah mendapatkan suntikan modal senilai Rp 1,3 triliun. Hal ini dinilai perseroan mencukupi untuk bisnis sampai dua tahun ke depan. "Jadi, untuk pelaksanaan pencatatan saham perdana bisa ditunda," kata Luluk, belum lama ini. rep:friska yolandha ed: irwan kelana