JAKARTA -- Kalangan perbankan syariah—bank umum syariah (BUS), unit usaha syariah (UUS), maupun bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS)—melakukan upaya pendampingan hingga mengedepankan aspek kehati-hatian. Hal tersebut bertujuan untuk menekan angka pembiayaan bermasalah (nonperforming financing/NPF).
Foto:Republika/Prayogi
Teller menghitung uang nasabah di banking hall salah satu kantor Bank Mega Syariah, Jakarta,?Rabu (3/9).Perusahaan Syariah berusaha meneka pembiayaan bermasalah (NPF).
Sekretaris Perusahaan BPRS Harta Insan Karimah (HIK), Abdul Muid Badrun, mengaku sebenarnya sebelum BPRS HIK memberikan peminjaman, pihaknya melakukan langkah-langkah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Langkah itu yaitu pemetaan nasabah.
Artinya, ada tim analis pembiayaan, ada yang melakukan screening pengajuan, verifikasi, analisis, hingga pengecekan ke lapangan. Setelah melakukan langkah itu, pihaknya baru bisa memberikan pinjaman. "Nah, ternyata muncul persoalan yang muncul di luar prediksi kami. Rata-rata NPF terjadi karena debitur menerapkan manajemen usaha yang salah, tertipu, tertipu rekan bisnis, hingga gagal bisnis karena gagal bisnis, hingga kalah dalam persaingan usaha yang semakin ketat dan usahanya tidak berkembang," ujarnya kepada Republika, Rabu (3/9).
Kondisi ekonomi global yang sedang lesu maupun persoalan makro, juga diakuinya ikut memengaruhi daya beli masyarakat, termasuk peminjam. Efeknya, kemampuan bayar juga berpengaruh.
Namun, kata dia, tidak jarang juga ada debitur yang memiliki karakter nakal yang tidak mau membayar pinjaman. Dengan begitu, untuk mengantisipasi tingkat NPF semakin melambung, pihaknya melakukan berbagai macam metode, termasuk pendekatan dini, yaitu musyawarah.
Ketika debitur terkena peringatan berupa call karena tidak membayar pinjaman dalam jangka waktu satu sampai dua bulan pertama, pihaknya langsung melakukan pendekatan persuasif, berdialog dengan peminjam dana, dan menanyakan usaha mereka. Pertanyaaan itu di antaranya pertanyaan ada masalah apa dan bagaimana tren bisnisnya. Dari jawaban pertanyaan itu, BPRS HIK kemudian memberikan masukan solusi. Dialog itu diakuinya dilakukan setiap dua bulan sekali.
"Metode itulah yang tidak dimiliki bank lain karena kami berupaya memahami. Kami tidak hanya membiayai dan langsung meninggalkan debitur karena jika itu terjadi bisa terjadi kehilangan komunikasi," ujarnya.
Hasilnya, kata dia, NPF BPRS HIK selalu terkendali. Dia menyebutkan, NPF di BPRS HIK rata-rata, yaitu sebesar 3 sampai 3,8 persen. Bahkan, nilai NPF pernah mencapai titik terendah, yaitu 2,9 persen.
Dihubungi terpisah, Corporate Secretary Bank Syariah Mandiri (BSM) Taufik Machrus mengakui, NPF BSM pada tahun ini cukup lebih tinggi karena situasi ekonomi global dan nasional. Meski dia mengklaim NPF BSM masih terkendali aman.
Untuk menekan NPF, pihaknya berpatokan pada strategi utama bahwa untuk menyalurkan pembiayaan maka ada tiga aspek yang harus diperhatikan. Yaitu, kehati-hatian memilih nasabah, proses, dan pengawalannya.
"Kami juga menerapkan metode four eyes principle yang artinya antara risiko dengan bisnis memiliki kedudukan yang sama apakah layak untuk diberikan pembiayaan," katanya. Pihaknya menargetkan dapat menurunkan NPF serendah-rendahnya.
Praktisi dan pengamat ekonomi syariah Didin Hafidhuddin mengatakan, pembayaran pinjaman dari debitur dari kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan usaha kecil dan menengah (UKM) sebenarnya cukup lancar. Menurutnya, debitur yang berasal dari wirausahawan UMKM dan UKM sebenarnya tidak memiliki niat nakal untuk menunggak pembiayaan.
"Ini terbukti hanya lima persen NPF dari total pembiayaan," katanya. rep:rr laeny sulistyawati ed: irwan kelana