JAKARTA -- Pengamat ekonomi syariah Cecep Sudrajat menegaskan bahwa seharusnya perbankan syariah di Indonesia dan nasabahnya tidak terpengaruh dengan keputusan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang membatasi suku bunga deposito perbankan yang berlaku per 1 Oktober 2014 lalu.
Menurutnya, kebijakan OJK itu hanya diperuntukkan bagi bank konvensional karena terkait kondisi ekonomi global. "Sehingga, saya dalam hal ini melihat kenapa bank syariah harus mengikuti (ikut membatasi suku bunga perbankan) seperti bank konvensional? Bank syariah justru harus memiliki paradigma baru," ujarnya kepada Republika, di Jakarta, Senin (13/10).
Sebagai informasi, penetapan tersebut meliputi suku bunga simpanan maksimum sebesar suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yaitu 7,75 persen, untuk simpanan sampai dengan Rp 2 miliar dengan telah mempertimbangkan seluruh insentif yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana.
Selain itu, untuk BUKU IV (bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun) maksimum suku bunga yang ditetapkan 200 basis poin (bps) di atas BI rate atau maksimum 9,50 persen, termasuk seluruh insentif yang diberikan secara langsung kepada seluruh nasabah penyimpan dana. Ini untuk dana di atas Rp 2 miliar.
Sementara untuk BUKU III (bank dengan modal inti Rp 5 triliun sampai Rp 30 triliun) dengan dana di atas Rp 2 miliar, maksimum suku bunga 225 bps di atas BI rate atau 9,75 persen, termasuk seluruh insentif yang diberikan langsung kepada penyimpan dana.
Suku bunga, kata Cecep Sudrajat, mengandung proyeksi atau spekulasi yang tidak diperkenankan dalam Islam. Kebijakan itu dinilainya merugikan sehingga bank syariah tidak usah ikut-ikutan menerapkan kebijakan itu. Apalagi, kata dia, karakter bank syariah berbeda dengan bank konvensional.
Dia menyebutkan, mayoritas bank konvensional memiliki pemikiran kuantitatif dan menomorsatukan untung. Bank konvensional juga saling berkompetisi. Sedangkan, bank syariah memprioritaskan umat dan bersifat melengkapi.
Artinya, kata dia, harus dilihat bahwa margin keuntungan bank syariah bukan didapat dari suku bunga, melainkan bagi hasil. Dengan mengunakan sistem bagi hasil, ia mengakui bank syariah kadang memperoleh untung dan kadang tidak mendapatkan apa-apa. Namun, ia kembali mengingatkan bahwa orientasi produk yang dijual bank syariah bukan profit, melainkan perhitungan akhirat.
Sementara, terkait apakah nasabah bank syariah itu sendiri bisa mengalihkan dana investasinya dalam instrumen lain, ia menyebutkan bahwa itu tergantung keputusan nasabah yang bersangkutan. "Kalau melihat bank syariah itu lebih baik dan nasabah atau deposan mencari akhirat, ya nasabah akan bertahan di bank syariah itu," ujarnya.
Tak beralih
Direktur Unit Usaha Syariah (UUS) Permata Bank Achmad K Permana mengatakan, sebenarnya aturan OJK tersebut berlaku untuk bank konvensional. Namun, mau tidak mau bank syariah ikut terkena imbas. Pihaknya mau tidak mau ikut mematuhi aturan tersebut. Pihaknya akhirnya patuh dan menurunkan margin bagi hasil sesuai ketentuan itu, yaitu 9,75 persen. "Sejauh ini, deposan UUS Permata Bank tidak ada yang memindahkan dana investasinya," katanya kepada Republika, di Jakarta, Senin (13/10).
Nasabah deposannya yang terdiri dari korporasi, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), menengah hingga kelas bawah diakuinya tidak terpengaruh akibat hadirnya regulasi itu.
"Tidak ada yang mengalihkan instrumen deposito. Persentase bagi hasil 9,75 persen masih cukup menarik buat mereka untuk tetap tinggal dan tidak mengalihkan dana," ujarnya. Direktur Kepatuhan PT Bank Victoria Syariah Djoko Nugroho enggan berkomentar banyak karena belum membaca aturan tersebut. "Nanti saya pelajari dulu," ujarnya. rep: rr laeny sulistyawati ed: irwan kelana