Kamis 05 Jun 2014 13:00 WIB

Lahir untuk Kemanusiaan

Red:

Sri Redjeki Chasanah Habibie (75 tahun) atau dikenal juga dengan sebutan Sri Redjeki Soedarsono merupakan satu dari sedikit tokoh perempuan di kawasan Batam, Kepulauan Riau. Ia dikenal karena memiliki segudang aktivitas di bidang sosial kemanusiaan. Namanya begitu terpatri dalam hati sanubari masyarakat Batam.

Kegiatannnya, tidak hanya di bidang sosial, tapi juga di bidang lain, seperti kesehatan dan pendidikan. Selama tiga dekade atau 30 tahun, tanpa lelah ia bergelut di lingkungan sosial kemanusiaan. Dari tangannya yang lembut, mengalir untaian kasih untuk anak telantar, lanjut usia, korban trafficking, korban bencana alam, hingga penderita HIV/AIDS.

“Mungkin saya dilahirkan untuk mengabdi dan bergelut di bidang sosial kemanusiaan, hingga akhir hayat saya,” kata Sri Redjeki, usai acara bakti sosial di Batam, Sabtu (26/4).

Sri terlahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil  Habibie dan RA Tuti Marini Citro Wardoyo binti Poespowardojo. Sang ibu yang kemudian dikenal dengan sebutan RA Habibie itu menjadi janda saat berusia 36 tahun. Ibunya harus membesarkan delapan anak. Di antaranya adalah mantan presiden RI Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie serta Junus Effendy (JE) Habibie yang pernah menjabat Ketua Otorita Batam (OB) pada 1998.

Sama seperti abang-abangnya, Sri juga lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Tepatnya, pada 8 Oktober 1938. Kondisi keuangan keluarga menyebabkan anak-anak perempuan tidak memiliki kesempatan bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Sri hanya tamat sekolah asisten apoteker (SAA) atau setingkat SMA. Ia dipaksa menjadi perempuan mandiri.

Hanya beberapa tahun setelah tamat SAA pada usia 20 tahun, Sri menikah dengan seorang tentara, lulusan Akademi Militer Yogyakarta pada 1948. Pria pujaannya adalah Mayor (Kavaleri) Soedarsono Dharmosoewito yang saat itu menjabat sebagai komandan batalion kavaleri di Bandung. Terakhir, Soedarsono pensiun dengan pangkat mayor jenderal.

Menjadi istri komandan batalion, Sri otomatis menjadi ketua persatuan istri prajurit (Persit) Kartika Chandra Kirana. Di situlah, ia dipaksa menjadi ibu dari para istri prajurit. SRC Habibie Soedarsono menjadi tempat curahan hati atau curhat bagi istri-istri prajurit. Mulai dari masalah sosial, ekonomi, keluarga, kesehatan, dan pendidikan. Di situ, Sri mendirikan SD-SMP Kavaleri di Bandung pada 1963.

Dia mengakui, wadah Persit inilah yang menempa dirinya menjadi perempuan matang. Sekaligus, awal mula berkecimpung dalam kegiatan sosial kemanusiaan. “Di Persit inilah saya dipaksa menjadi perempuan matang. Sampai mengurusi cerai mati karena prajurit gugur. Juga, cerai hidup karena tidak tahan menjadi istri tentara.”

Pada 1978 Soedarsono menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana (Kabalak) Otorita Batam. Di situ pula otomatis Sri menjadi Ketua Dharma Wanita PT Persero Batam. Maka, pada 1979 ia mengawali membentuk Yayasan Kartini. Yayasan ini mengelola lembaga pendidikan, mulai tingkat SD hingga SMA.

Tak hanya di situ, ia pun mengembangkan sayap kemanusiaannya dengan mendirikan Rumah Sakit Budi Kemuliaan. Kedua lembaga itu menjadi bagian dari segudang kegiatan sosial kemanusiaannya di Batam. Tetapi, bukan hanya di kepulauan itu saja kiprah Sri. Ia pun meneruskan perjuangan suaminya sebagai relawan Palang Merah Indonesia (PMI).

Sejak 2005 Sri menjadi Ketua PMI Batam. Didahului almarhum suaminya yang menjadi pendiri PMI Batam sejak 1990, di situ ia aktif menjadi duta di dalam dan luar negeri. Antara lain, aktif menanggulangi korban bencana di Aceh, Poso, dan Maluku. Mewakili Indonesia dalam beberapa konferensi internasional.

Tercatat, pada 1988 Sri mendirikan Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) yang pertama di Indonesia. Ia membangun rumah sakit itu di Bandung. Diberi nama RSKG RA Habibie yang memiliki tidak kurang dari 50 mesin ginjal. Setahun kemudian, ia mendirikan Klinik Khusus Ginjal RA Habibie Cabang Batam yang memiliki setidaknya 22 mesin ginjal.

Maka, selama 30 tahun mengabdi pada bidang sosial kemanusiaan, Sri memperoleh sekitar 25 tanda jasa tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Bahkan, pada 2005 Pemerintah Kerajaan Belanda menganugerahkan Bintang Jasa (Royal Reward) dalam bidang sosial dan kemanusiaan “Ridder in De Ored Van Oranje-Nassau”.

Kini, ia diusulkan menjadi salah satu penerima Bintang Mahaputra dari Pemerintah Republik Indonesia atas dedikasinya yang luar biasa di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan. Jika negeri Belanda saja sudah mengakuinya, mengapa pemerintah sendiri tidak? rep: selamat ginting.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement