Orang suku laut merupakan kelompok etnik berkarakter pengembara yang hidup dan menetap di perairan di beberapa pulau dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Suku bangsa ini merupakan satu varian dari berbagai macam kelompok suku laut yang bermukim di Asia Tenggara.
Keberadaan mereka di Provinsi Riau, menurut antropolog Cynthia Chou (1997 dan 2003) dan Lioba Lenhart (2004), seperti ditulis Khidir Marsanto pada 2009, tersebar di Pulau Bertam, Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang, Pulau Barok, dan beberapa pulau lain.
Selain di Provinsi Kepulauan Riau, suku bertipe nomaden ini masih dapat dijumpai di sejumlah wilayah. Misalnya, Suku Ameng Sewang di Provinsi Bangka Belitung, Suku Bajo atau Bajau atau Sama Dilaut (Pulau Kalimantan, Indonesia dan Malaysia).
Selain itu, ada yang disebut Suku Urak Lawoi’ atau Cho Lai atau Chaw Talay di Kepulauan Andaman (Thailand Barat Daya), Suku Moken (Thailand Selatan, Myanmar, dan Malaysia), serta Sea Gypsies (Filipina Selatan).
Terdapat berbagai macam versi mengenai asal-muasal orang Laut. Mulai dari narasi sejarah-geografis dan pelukisan sosiokultural yang dibangun para akademisi Barat, maupun mitos dan legenda yang lahir dari masyarakat mereka sendiri.
Namun, orang suku laut yang tinggal di Provinsi Kepulauan Riau, menurut peneliti Trisnadi pada 2002, diduga kuat sejumlah peneliti merupakan suku bangsa asli Melayu keturunan bangsa Melayu tua. Atau, masuk dalam proto Melayu yang menyebar di Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 2500-1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian atau pasca-1500 SM, terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia Tenggara yang membuat bangsa proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir daratan) di Pulau Sumatra. Sebagian dari kelompok yang terdesak inilah yang saat ini dikenal sebagai orang suku laut.
Orang suku laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun diri mereka sendiri. Di Indonesia, suku bangsa ini biasa dikenal sebagai orang laut (sea people) atau Suku Sampan (boat tribe/sampan tribe).
Sedangkan, dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, biasanya dalam karya etnografi maupun ilmu sosial lain, ditemukan beberapa macam sebutan untuk suku bangsa ini, seperti sea nomads, sea folk, sea hunters and gatherers, seperti dalam penelitian David Sopher, 1977, dalam Chou, 2003.
Selain itu, disebut pula sea forager’(Lenhart, 2004) sea gypsies (Thompson, 1851). Ada yang menyebutnya sebagai Masyarakat Laut (people of the sea) (Sandbukt, 1982).
Meskipun terdapat beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Riau daratan dan kepulauan, mereka dikenal dalam percakapan sehari-hari sebagai orang laut.
Istilah ini disepakati orang Melayu, bukan hanya berlaku bagi orang suku laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea nomads) saja, melainkan juga kepada masyarakat yang tinggal di sepanjang garis atau pesisir pantai yang ada di Kepulauan Riau. Mereka memang awalnya merupakan bagian dari suku laut.
Peneliti Liobo Lenhart mencatat, penamaan terhadap mereka juga didasari atas lokasi di mana kelompok kerabat (klan) orang laut berdomisili. Misalnya, orang laut yang tinggal di Pulau Bertam lantas bernama suku Bertam. Begitu juga dengan orang laut yang menetap di Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang, disebut orang Galang, orang Mapor, orang Mantang, dan seterusnya.
Jika ditilik dari ragam bahasa yang digunakan, orang suku laut ini dianggap masih serumpun dengan bangsa Melayu. Menurut ahli sosiolinguistik K Alexander Adeelar (2004), orang laut merupakan varian suku bangsa Melayu tua apabila dilihat dari ragam bahasa tutur yang dipakai.
Argumen yang dibangun Adeelar merujuk pada pola persebaran elemen-elemen bahasa Melayu pada masa awal abad ke-16 yang hingga kini masih ditemukan dalam ragam percakapan modern bahasa Melayu.
Sementara, bagi Lenhart, yang melihat kebudayaan orang suku laut dari perspektif evolusionis, kebudayaan orang laut secara umum berbeda dengan budaya orang Melayu. Kendati, masih tampak elemen-elemen ‘Melayu’ dalam kehidupan kesehariannya.
Hal ini bisa dilihat salah satunya dalam aktivitas orang laut yang mempraktikkan pantun di waktu senggang. Sementara itu, perbedaan kultural yang paling kasat mata, terletak pada stuktur sosial (sistem kekerabatan dan relasi antargender) dan budaya materinya.
Secara struktur sosial, menurut penelitian yang dilakukan Lenhart, orang laut masih hidup dalam lingkup kelompok yang tidak terlalu besar atau sekitar lima sampai delapan keluarga inti. Kelompok yang masih dalam satu kerabat ini dipimpin seorang laki-laki yang ditunjuk melalui sebuah musyawarah.
Pemimpin ini berfungsi sebagai perantara ketika menjalin komunikasi dengan suku laut yang tersebar di Kepulauan Riau. Walau pemimpinnya seorang laki-laki, relasi antargender (laki-laki dengan perempuan) cukup egaliter dalam praktik kehidupan sosialnya.
Hal ini didasari kesepakatan bersama, biasanya dimulai dari himpunan keluarga terkecil (nuclear family) yang telah menetapkan pembagian peran secara seksual (division of labour) serta posisi sosial masing-masing.
Pada aspek budaya yang lain, seperti sistem religi, budaya materi dan ekonominya, masyarakat orang laut merupakan kelompok masyarakat yang hidup dalam anutan sistem kepercayaan mereka sendiri yang dekat dengan animisme.
Kemudian, orang laut merupakan suku yang hidup di sampan atau rumah-rumah perahu (boat-dwellings) dengan mata pencaharian utama sebagai pencari ikan dan binatang laut lainnya, seperti tripang (timun laut). Model ekonomi subsistem seperti inilah yang menjadi ciri khas dari kebudayaan mereka.
Namun demikian, dua antropolog, seperti Lenhart dan Chou, menerangkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan relokasi (permukiman) oleh Pemerintah Indonesia pada akhir 1980-an hingga periode awal 1990, kebiasaan atau adat orang laut berangsur menghilang.
Orang laut digiring untuk memeluk satu dari lima agama formal di Indoneisa. Tak hanya itu, orang laut lantas mulai hidup di pinggir pantai di rumah-rumah yang terbuat dari kayu yang disediakan pemerintah. Sejak bermukim ini, orang laut hanya pergi melaut untuk mencari ikan pada musim tertentu.
Dari peralihan kebiasaan ini, Chou memaparkan bahwa ikan hasil tangkapan orang laut tidak lagi untuk konsumsi pribadi, tapi dijual kepada para tauke (juragan ikan) untuk ditimbang berat ikan tangkapannya dan ditukar dengan uang.
Kini, bukan lagi ketersediaan alam yang menghidupi orang laut, melainkan uang sebagai suatu hal yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. rep/red: selamat ginting