Kamis 05 Jun 2014 13:00 WIB

Manusia Laut

Red:

Perahu atau kajang berukuran 5x1,5 meter menjadi rumah tinggal bagi keluarga suku laut. Atapnya menggunakan daun kajang untuk melindungi dari sengatan matahari dan air hujan.  Tapi, jika sudah remaja akan dibuatkan perahu sendiri berukuran lebih kecil, sekitar 3x1 meter.

Itulah rumah sampan yang masih terlihat di pinggir rumah-rumah panggung warga suku laut di Pulau Bertam, Batam, Kepulauan Riau, ketika penulis mengujungi wilayah itu pada Kamis (24/4).

Mereka tak bisa dipisahkan dengan kehidupan di sampan yang merupakan rumah pertama. Mengembara mengarungi ganasnya lautan di sepanjang Selat Malaka, Selat Philip, dan Selat Singapura. Hidup berkelompok dalam jumlah lima sampai delapan sampan yang diikat dalam hubungan kekeluargaan. “Setiap kelompok memiliki seorang yang dituakan yang disebut batin,” kata Hasan, warga Desa Kasu, Pulau Bertam.

Untuk melindungi diri dari perompak, mereka juga menyertakan seekor anjing yang dalam bahasa mereka disebut koyok. Ada juga yang membawa burung betet yang digunakan untuk mengetahui keadaan cuaca, melalui kicauan atau gerak geriknya. Selain itu, membawa beberapa ekor ayam untuk persediaan logistiknya. Sementara, yang beragama non-Muslim juga membawa daging babi untuk santapan makanan.

Jadi, mereka hidup menyatu dalam satu atap dengan satwa-satwa yang dibawanya. Mereka memang tidak begitu peduli tentang masalah kebersihan, apalagi kesehatan jiwa raganya. Umumnya, kulit mereka memang berwarna cokelat pekat akibat sengatan matahari. Kulit tubuhnya agak bersisisk karena jarang mandi air tawar. Sedangkan, rambutnya umumnya ikal bergelombang dan berwarna kecokelatan.

Tak heran jika mereka banyak yang terserang penyakit kulit dan muntaber (muntah-muntah dan buang air besar). Sebagian besar bayi lahir di dalam sampan saat berada di tengah lautan. Tidak sedikit yang meninggal dunia karena tidak adanya pertolongan dari tenaga medis, baik bidan, perawat, maupun dokter. Hal ini tentu saja karena kondisi yang serba minim dan tidak memenuhi persyaratan sebuah persalinan.

Mereka percaya bahwa bayi yang lahir di sampan yang sedang berlayar merupakan orang suku laut yang sesungguhnya. Sesuai tradisi, bayi itu pun langsung dimandikan air laut dan ditetesi air laut ke bibirnya. “Supaya terbiasa dengan kehidupan laut,” ujar Fatimah, warga setempat.

Sejak kanak-kanak, mereka sudah diajarkan cara-cara hidup di lautan. Mulai saat berlabuh, memasang layar, mendayung, memfungsikan mesin kapal serta isyarat-isyarat khusus menghadapi ancaman, serta kehidupan pribadi. Misalnya, jika kedua dayung sampan disilangkan, artinya kedua orang tuanya sedang bermesraan, sehingga tidak boleh diganggu.  Termasuk, jika kedua orang tuanya pergi dari tepi pantai sekitar 100 meter, artinya sedang memadu kasih. Isyarat itu berlaku bagi masyarakat suku laut.

Mereka berkumpul dalam kelompok hanya beberapa jam saja, setelah itu berpisah lagi. Berlayar bersama-sama, setelah itu berpisah saat menangkap ikan. Di situlah mereka belajar kemandirian serta jiwa kebebasan sebagai watak komunitas suku ini menghadapi ganasnya alam dan gelombang yang harus mereka terjang.

Hanya dengan modal peralatan sederhana, mereka kerap harus terdampar di lautan yang masuk wilayah negara tetangga. Gelombang serta ombak kerap membuat mereka tidak mampu menahan sampannya masuk ke wilayah negara lain, utamanya perairan Singapura.

Jerakah mereka terombang ambing disapu  ganasnya ombak? Ternyata tidak. Bagi mereka, ombak adalah lecutan kehidupan. Mereka tak bisa dipisahkan dengan panorama keindahan lautan, gugusan pulau-pulau yang mereka lalui dan ikan-ikan yang berlarian serta berompatan.  Laut itu lebih indah dari daratan.

Cara hidup suku laut tetap berbeda dengan nelayan yang hidup di daratan. Para nelayan makan dari laut, tetapi tinggal di daratan. Mereka berbeda. Hidup di laut, berumah di laut, makan dari laut, dan melakukan aktivitas keseharian dan pribadi tak terlepas dari lautan.

Umumnya, untuk mencari nafkah, mereka mencari ikan dengan cara menombak. Ikan yang ditangkap memakai tombak (nyuluh) umumnya untuk dimakan sendiri. Alasannya, kondisi ikannya rusak, sehingga jika dijual di daratan, harganya menjadi murah.

Ketika angin teduh, itulah saatnya untuk menombak ikan. Penombakan dilakukan di tepi atau di laut dangkal berkarang pada malam hari. Sebab, ikan senang beristirahan di tempat seperti itu pada malam hari. Selain itu, mereka juga  memasang ‘bubu’ di tengah laut untuk mendapatkan ikan dalam jumlah besar. Biasanya, dilakukan saat bulan purnama ketika ikan berkeliaran dalam kelompok besar.

Hasil tangkapan seperti ditulis dalam buku Menantang Gelombang: Kehidupan Suku Laut di Pulau Bertam Perairan Batam yang ditulis Syarofin Arba MF dan Andul Rahman, bisa mencapai satu ton. Cara menangkap ikan seperti itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Biasanya, bertepatan dengan hari raya Cina, Cap Go Meh. Hari tersebut digunakan mereka untuk menangkap ikan dengan jaring atau kelong.

Ketika mereka terdampar di perairan Singapura, umumnya tidak ditangkap polisi setempat karena mengerti ganasnya ombak. Aparat Singapura juga mengetahui kalau mereka berasal dari suku laut di Kepulauan Riau. Apalagi, orang Cina Singapura juga kerap membutuhkan mereka untuk membeli ikan teripang. Ikan ini tidak hanya favorit bagi suku laut, tetapi juga warga Singapura.

“Mereka berani membeli dengan harga dolar Singapura yang tinggi. Transaksi dilakukan di tengah lautan,” ujar Amir. 

Selain bercengkerama dengan buasnya lautan, mereka juga menjalin komunikasi secara interaktif dengan masyarakat di daratan. Misalnya, dalam perdagangan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan keperluan memasak serta membeli bahan bakar. 

Sesekali, mereka juga berburu babi hutan, menangkap burung betet, membakar arang, memotong kayu, dan membuat perahu di daratan. 

Masalah kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi kaum gipsi laut itulah yang mendorong sebagian masyarakat Pulau Bertam berubah pikiran. Kini, mereka lebih memilih memiliki tempat tinggal tetap di pulau itu. Mereka sudah menempati rumah-rumah panggung dari kayu dan papan. Rumah-rumah itu dibangun Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Sosial, serta lembaga sosial lainnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement