Kamis 05 Jun 2014 13:00 WIB

Ibuku di Seberang Laut

Red:

Angin berembus sepoi-sepoi, sesekali cipratan air laut mengenai wajah yang tersengat panasnya sinar matahari. Dari kejauhan, pelayaran dari Pelabuhan Sekupang, Batam, menuju Pulau Bertam melewati pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang berada di Negeri Singa.

Pelayaran dengan speedboat dari Sekupang menuju Pulau Bertam yang berada di Selat Philip itu berjarak sekitar tujuh mil atau sekitar 10 kilometer. Ditempuh dengan waktu sekitar setengah jam, dalam kondisi lautan tenang dan tak berombak.

“Kita menuju Desa Kasu, Kecamatan Belakang Padang, nanti akan melewati beberapa pulau kecil yang dihuni suku laut,” kata Elmiati, karyawati Rumah Sakit (RS) Budi Kemuliaan Batam yang memandu perjalanan menuju Pulau Bertam, Kamis (24/4).

Turut juga dalam rombongan ,selain penulis adalah Betty Soeherman dari RS Budi Kemuliaan Batam,Siti Aisjah Basri dan NikiDwi Tiasti dari kemensos,dan Dem Irfan Ginting dari SMA 38 Jakarta.

Lokasi Pulau Bertam berbentuk cembung dan memilikim garis tepi sekitar 100 meter pada saat air surut. Ujung Pulau Bertam nyaris terhubung dengan ujung Pulau Gara, sebuah hutan yang banyak dihuni babi hutan.

Pulau Bertam berhadapan dengan Pulau Lingka dan berjejer dengan Pulau Gara. Jaraknya dengan pulau-pulau lain di sekitar Selat Philip relatif dekat. Tak jauh dari Pulau Bertam, ada juga Pulau Pasir, Padi, Nipah, dan Janda Berhias. Lokasi Bertam berada dalam satu lingkaran konsentris yang termasuk dalam jalur pengembangan Pulau Batam. 

“Di sinilah tempat desa binaan Bu Dar (Sri Redjeki Chasanah Habibie Soedarsono,” ujar Elizabeth Frederika yang juga karyawati RS Budi Kemuliaan Batam yang turut dalam pelayaran.

Rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan papan menjadi pemandangan pertama yang terlihat ketika mendarat di pinggir pantai. Rumah berukuran sekitar 3x4 meter itu tertata di sisi kanan dan kiri jalanan setapak dengan lebar sekitar dua meter.

Dari balik jendela, terlihat seorang perempuan setengah baya berkulit kecokelatan agak gelap, rambut ikal panjang, menyapa dengan ramah. “Selamat datang, Pak,” katanya dengan senyum lebar memperlihatkan rangkaian giginya yang berwarna kuning gading di balik gincunya yang  merah marun.

Ya, di tempat inilah seorang srikandi berusia 75 tahun mencurahkan segenap hati, pikiran, tenaga, dan dananya untuk membangun peradaban bagi suku laut. Bu Dar, sapaan akrab Sri Redjeki Chasanah Habibie Soedarsono, bergelut dengan kehidupan suku ini bersama almarhum suaminya, Mayjen (Purn) Soedarsono Darmosoewito, sejak 1986.

Ia tercatat sebagai Ketua Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam, semula bernama Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial (FKKS). Adik kandung mantan presiden BJ Habibie itu memiliki kepedulian sosial yang tinggi dalam memanusiawikan keberadaan masyarakat suku laut. Bu Dar tentu saja berduet dengan suaminya yang saat itu sebagai penasihat ketua otorita Batam.  

Tidak mudah untuk mengajak masyarakat yang semula hidup nomaden untuk mau menetap di suatu tempat. Bu Dar membangun sejumlah tempat, seperti balai pertemuan rakyat, sekolah, balai kesehatan. Juga, turut membantu pembangunan rumah-rumah panggung dari kayu.

Yang paling sulit tentu saja mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat untuk hidup normal membangun masa depan keturunannya. Apalagi, orang tiga generasi ke atasnya sudah hidup di atas perahu dan mengarungi lautan hingga ke wilayah Singapura dan Malaysia.   

Mati di Perahu

Umumnya, anak-anak suku laut lahir di atas perahu dengan peralatan seadanya. Lahir, hidup, dan mati di atas perahu, itulah moto hidup mereka sebelum mengenal peradaban yang lebih baik di daratan. Alhasil, anak-anak pun tidak mengenal pendidikan karena harus mengikuti arah sampan di lautan lepas.

“Bayi dimandikan di laut sebagai tanda orang suku laut. Anak-anak pun sudah biasa ditinggal di dalam perahu yang terombang-ambing di lautan dengan bekal makanan seadanya,” kata seorang ibu menceritakan kehidupan anak-anak suku laut.

Dari obrolan ringan dengan sejumlah warga suku tersebut, umumnya mereka mengakui lebih memilih hidup stabil secara permanen di permukiman, dibandingkan dengan kehidupan nomaden sebelumnya yang mereka jalani.

Kecenderungan pilihan hidup stabil di permukiman karena terwujudnya keinginan warga untuk mempersiapkan masa depan generasi penerus, terutama melalui pendidikan formal. Menjaga keselamatan jiwa keluarga karena bisa terhindar dari bahaya keganasan cuaca laut.

Kondisi ini menunjukkan bahwa hidup permanen di darat merupakan pilihan yang dianggap rasional. Apalagi, kondisi tubuh yang mulai beradaptasi dengan lingkungan darat. Mereka akan mulai merasa sakit jika dalam waktu yang lama berada di lautan.

Untuk itulah, langkah awal yang dilakukan Bu Dar sebagai pimpinan FPKS dengan membangun permukiman bersama organisasi Kosgoro. Pulau Bertam menjadi pilihan tempat permukiman, karena sejak 1982 sudah terdapat suku laut yang menjadikan wilayah itu sebagai tempat persinggahan.

Sebelumnya, sebagian dari mereka tinggal di Pulau Padi. Saat pertama menempati Pulau Bertam, rumah-rumahnya hanya terbuat dari bahan kayu bekas dan kardus atau karton. “Bu Dar menganjurkan untuk menabung di Cipedes BDN, juga membangun klinik terapung,” ujar Elizabeth.

Masyarakat Pulau Bertam juga selalu memilih berobat ke klinik atau Rumah Sakit Budi Kemuliaan. “Kami gratiskan bagi mereka,” ujar Suranto yang sejak awal turut mendampingi Bu Dar membangun peradaban suku terapung itu. 

Hingga kini, selama 28 tahun, Sri Soedarsono masih terus berinteraksi dengan masyarakat suku laut. Setiap Ramadhan tiba, ia menyempatkan waktu untuk mengadakan acara buka puasa bersama dengan warga suku laut.

Ketika ditanya, apakah warga mengenal Ibu Dar? Dengan serempak, mereka menjawab, “Ibu suku laut,” kata sejumlah warga sambil bertepuk tangan.

Budi yang mulia, seperti arti dari nama rumah sakit yang didirikannya, memang terpancar dari raut wajah ibu dari empat orang anak itu.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement