Salah satu persoalan besar di negeri ini, yakni tingginya angka impor bahan bakar minyak (BBM). Negara tidak bisa melakukan produksi mi nyak dalam negeri yang mam pu mencukupi kebutuhan rakyat. Impor minyak dalam jumlah besar pun tak bisa dihindari. Akibatnya, nilai subsidi BBM bagi masyarakat semakin melambung.
Pada Juni 2013 pemerintah terpaksa mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang semakin mem bengkak nilainya akibat pengaruh harga minyak global. Sebut saja bahan bakar jenis premium, yang naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500. Pemerintah menyebut harga minyak premium di pasaran sebenarnya masih di angka Rp 9.000-an.
Nilai impor minyak Indonesia pada 2011 saja sudah mencapai 14 miliar dolar AS. Setiap bulannya sebanyak 10 juta barel premium harus diimpor. Nilai impor yang cukup tinggi ini sudah dalam taraf mengkhawatirkan dan mengganggu neraca perdagangan Indonesia.
Untuk mengurangi impor minyak yang cukup tinggi tersebut, pemerintah beren cana menyelesaikan pembangunan kilang minyak yang baru pada 2018. Kilang baru tersebut nantinya akan menghasilkan minyak 900 ribu barel per hari. Sekarang ini pemerintah baru bisa memproduksi minyak 600 ribu barel per hari.
Menurut Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo, Indonesia akan mengimpor minyak seba nyak 1,7 juta barel per hari (bph) pada ta hun depan. Angka tersebut naik dari proyeksi tahun ini, yaitu sebesar 1,62 juta bph. Kenaikan tersebut merupakan dam pak dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun yang menyebabkan konsumsi BBM nasional ikut naik.
Angka impor BBM tersebut dapat ditekan bila kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mampu menggenjot produksi minyak di dalam negeri. Bila langkah tersebut tidak berhasil dilakukan, kebutuhan impor 1,7 juta bph tak bisa dihin dari.
Perkiraan pemerintah, jika tidak mela kukan langkah apa pun, pada 2020 impor BBM akan mencapai 2,2 juta bph. “Tahun ini kebutuhan BBM kita kira-kira akan mencapai 1,5 juta bph, tahun depan kirakira akan tumbuh delapan persen maka akan tumbuh 120 barel bph, dan sampai tahun 2020 bila tidak melakukan sesuatu kebutuhan, BBM kita akan men capai 2,2 juta bph,” kata Susilo, seperti dikutip situs resmi Kementerian ESDM, 30 Mei 2014 lalu.
Produksi minyak nasional saat ini ha nya mampu mencapai 820.000 bph. Andai kan tidak ada penemuan-penemuan ca dang an minyak baru, tahun 2020 produksi minyak nasional hanya mencapai 600.000 bph. Dari 800.000 produksi nasional yang bisa diolah di kilang pertamina, 650.000 bph. “ Tiap hari, Pertamina itu harus im por crude 350.000 barel minyak per hari yang setara dengan 37 juta dolar AS per hari. Itu jika kebutuhan kita 1.000.000 per hari,” ujar Susilo.
Membengkaknya permintaan minyak bersubsidi ditengarai karena pemerintah tidak mampu mengelola dengan baik sektor energi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, terjadi over kuota setiap tahunnya yang menyedot anggaran tidak sedikit karena langkah impor harus ditempuh. Inilah sebenarnya yang juga menjadi “pekerjaan rumah” cukup besar bagi pemerintahan selanjutnya.
Lalu, apa dan bagaimana visi-misi capres-cawapres terhadap persoalanpersoalan kedaulatan energi, termasuk di dalamnya bagaimana menekan angka impor BBM?
Tidak detail
Dalam dokumen visi-misi yang diteri ma KPU, pasangan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa tidak secara detail menje laskan langkah-langkah yang akan mere ka lakukan dalam hal kedaulatan energi. Mereka hanya menyebut lima poin terkait agenda yang akan dilakukan di bidang energi bila kelak diberi amanat oleh rakyat untuk memimpin Indonesia.
Dalam poin pertamanya, pasangan ini menekankan perlunya mengembalikan tata kelola minyak dan gas (migas) nasional sesuai Pasal 33 UUD 1945 dengan penyelesaian revisi UU Migas. Tidak dijelaskan langkah konkret yang akan dilakukan terhadap tata kelola migas itu sendiri yang seperti apa.
Pada poin kedua, Prabowo-Hatta men janjikan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi dan air dengan kapasitas 10.000 MW. Juga, akan melak sanakan penyediaan listrik nasional mencapai rasio 100 persen pada 2019.
Poin ketiga, mendirikan kilang-kilang minyak bumi, pabrik etanol, dan pabrik DME (pengganti elpiji), serta infrastruktur terminal penerima gas dan jaringan trans misi/distribusi gas—baik oleh BUMN mau pun swasta. Agenda ini tampaknya merupakan upaya untuk mendongkrak produksi minyak nasional dan menekan tingginya nilai impor BBM yang telah menjadi persoalan energi nasional seka rang ini.
Poin selanjutnya, yaitu memperluas konversi penggunaan BBM kepada gas dan energi terbarukan dalam pembangkit listrik PLN. Hal ini diiringi dengan melakukan investasi langsung untuk peningkatan kapasitas, pemeliharaan, dan peremajaan infrastruktur transmisi dan distribusi listrik untuk meningkatkan keandalan pasokan. Langkah ini disertai dengan pengoptimalan pemanfaatan sumber daya air dan pembangkit listrik mikrohidro bagi pemenuhan listrik daerah-daerah terpencil.
Sedangkan pada poin terkahir, pa sangan Prabowo-Hatta akan mengurangi subsidi BBM khusus terhadap orang kaya melalui mekanisme pajak dan cukai. Agenda ini diiringi dengan membangun sistem subsidi energi yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Langkah ini sebenarnya juga sudah dilakukan oleh Pre siden SBY selama dua periode peme rintahannya, yakni mengurangi subsidi BBM bagi masyarakat mampu.
Terobosan strategi
Pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) cukup panjang lebar menje laskan visi-misi mereka di bidang energi. Pasangan ini akan membangun kedau lat an energi berbasis kepentingan nasional melalui rancangan terobosan strategi un tuk menjaga dan meningkatkan produksi minyak bumi, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Mereka akan menjalankan strategi ter sebut dengan memperpanjang usia sumursumur yang sudah berproduksi dan me ning katkan kembali produksi minyak yang menurun dengan penggunaan tek nologi yang tepat dan konsisten. Penggu naan teknologi, seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) harus mulai dikem bangkan dan dijalankan.
Kegiatan itu, dalam kaca mata Jokowi- JK, merupakan investasi baru. Oleh karena itu, pemerintah harus membuat peraturan khusus dan sistem fiskal khusus untuk kegiatan investasi dalam rangka meningkatkan produksi sumur-sumur yang sudah tua.
Strategi berikutnya, yakni merancang kegiatan eksplorasi yang mengalibrasi antara risiko tinggi dan pengembalian investasi sehingga bisa didanai baik oleh pemerintah maupun swasta. Kegiatan eksplorasi bukan saja ditujukan untuk meningkatkan reserve, melainkan juga ditujukan untuk mempercepat proses pembangunan industri migas nasional.
Menurut Jokowi-JK, sistem fiskal yang ada sudah usang karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Setiap ladang minyak, mereka melanjutkan, mempunyai karakter tersendiri karena itu diperlukan suatu sistem fiskal yang fleksibel yang dapat mengakomodasi perbedaan ter sebut.
Untuk mengundang investasi, dalam pandangan Jokowi-JK, sistem fiskal perminyakan tidaklah semata-mata ditentukan oleh besaran bagi hasil saja, tetapi mempertimbangkan aspek kelayakan investasi, seperti net present value (NPV), internal rate of return (IRR), payback period, dan provitability ratio (PR).
“Pemerintahan kami akan menyusun sistem fiskal perminyakan yang dapat mengakomodasi kesulitan geologi yang berbeda-beda, dari satu cekungan ke cekungan lain yang akan mengakselerasi pengembangan untuk sumur tua, daerah baru, dan laut dalam,” tulis Jokowi-JK dalam visi-misi mereka.
Strategi lain yang akan dilakukan, yakni memberikan kemudahan admi nistrasi yang sering menghambat dalam kegiatan investasi. “Perlu kepemimpinan yang kuat dari pusat untuk berkolaborasi dan berkoordinasi, bahkan melakukan pembinaan secara intensif terhadap dae rah untuk mendukung proses investasi dan pengembangan sumber daya migas.”
Terobosan strategi lainnya akan dilakukan Jokowi-JK melalui penyusunan tata kelola migas yang efektif dan efisien. Ini ditujukan untuk membangun industri migas nasional yang kuat yang ber orien tasi pada kedaulatan energi. Di mata keduanya, pembubaran BP Migas menjadi SKK Migas mengundang ketidakpastian yang berujung pada berkurangnya inves tasi dan kegiatan eksplorasi maupun pengembangan.
Untuk itu, bagi Jokowi-JK, diperlukan perbaikan tata kelola migas dengan cara: pertama, dalam jangka pendek dike luar kan perppu; kedua, dalam jangka me nengah merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional dan akan memberikan kepastian hukum secara permanen.
Pasangan ini juga berkomitmen men capai industri migas yang kuat dan tang guh melalui: (a) pembangunan industri migas nasional yang kuat, baik dalam jangka pendek maupun panjang; (b) meng optimalkan dana APBN melalui lifting; dan merumuskan (c) strategi reserve rep lacement. “Dengan komitmen ini, kami akan mendorong revisi UU Migas yang secepatnya sebelum persoalan semakin kronis, berbasis pada Pasal 33 UUD 1945 dengan ruh Trisakti.”
Pada bagian lain visi-misinya, Jokowi- JK juga berkomitmen membangun in fra s truktur migas, seperti membangun kilang minyak di Indonesia untuk mencukupi kebutuhan nasional, infrastruktur trans portasi berbasis energi lokal dan murah, stasiun pengisian bahan bakar gas.
Mereka juga berkomitmen menbangun infrastruktur pendukung, baik di hulu maupun hilir, seperti kilang, storage, pipa transmisi, dan kapal tanker untuk mengurangi ketergantungan kepada luar negeri. “Dan, energi yang diproduksi di dalam negeri dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan domestik.”
Membaca visi-misi kedua pasangan calon di bidang energi, sebenarnya tak banyak berbeda. Keduanya sama-sama mengusung tegaknya kembali kedaulatan energi nasional. Ini tentu bukan perkara mudah dan sekadar wacana di atas kertas. Perlu kerja keras dan kemauan politik yang tinggi saat memerintah.
Perlu dicatat, neraca perdagangan Indonesia di sektor migas, berdasarkan data BPS pada Maret 2014, masih mengalami defisit sebesar 1,37 miliar dolar AS. Ini artinya impor BBM tak bisa ditahan oleh pemerintah. Nah, inilah “PR” bagi pemerintahan mendatang, yakni menekan laju impor minyak dan menjadikan Indonesia berdaulat di bidang energi.
oleh nurul s hamami