oleh:Harun HUsein -- Jadwal dan tahapan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) terus bergulir. Tensi politik kian meninggi. Tapi, di tengah proses itu, sebuah interupsi tiba-tiba mencuat ke permukaan: meskipun kandidat presiden hanya dua pasang, pilpres harus tetap menggunakan sistem dua putaran, yang tidak bisa langsung di-by pass!
Semula, karena hanya ada dua pa sang an capres/cawapres, banyak yang menyangka bahwa pertarungan head to head dua calon presiden hanya akan berlangsung satu putaran. Karena hanya ada dua pasang kandidat, pertarungan tidak pakai semifinal, tapi langsung final! Sudden death! Sebabnya, salah satu kandidat pasti akan meraih suara ma yoritas 50 persen plus 1.
Bahwa pilpres hanya akan berlang sung satu putaran, juga disampaikan seorang komisioner KPU, Arif Budiman, menjelang penutupan pendaftaran cap res/cawapres, 20 Mei lalu. Jika tak ada lagi pasangan yang mendaftar selain Jo kowi-JK dan Prabowo-Hatta, maka dia men duga pilpres akan berlangsung satu putaran. Bahkan, dia pun menekankan kepada sebuah media online, “Jadi, seka rang ini kita sudah masuk putaran kedua.”
Presiden SBY pun, saat menyam paikan arahan pada Rapat Koordinasi Na sional (Rakornas) Pemantapan Pe laksa naan Pilpres 2014, 3 Juni lalu, juga menyatakan “…hampir pasti pemilu presiden ini satu putaran. Dan, dengan demikian anggaran untuk putaran kedua bisa dihemat untuk kepentingan yang lain, karena ekonomi dunia masih belum baik, ekonomi Indonesia juga dapat tekanan-tekanan.”
Anggaran yang bisa dihemat bila pil pres berlangsung satu putaran memang fantastis. Total anggaran yang dialoka sikan untuk pilpres dua putaran adalah Rp 7,9 triliun. Putaran pertama diper kirakan menghabiskan dana Rp 4 triliun, sedangkan putaran kedua Rp 3,9 triliun.
Alhasil, jika hanya satu putaran, fulus yang bisa dihemat adalah Rp 3,9 triliun! Tapi, pada 5 Juni lalu, sebuah inte rup si justru datang dari jalan Imam Bon jol, markas KPU. Adalah komisioner KPU, Ida Budhiati, yang mengatakan pil pres belum tentu satu putaran. Sebabnya, selain harus meraih suara 50 persen plus 1, kandidat capres/cawapres juga harus me menuhi syarat kedua untuk bisa men jadi presiden/wapres terpilih, yaitu me raih 20 persen suara di separuh provinsi di Indonesia, atau 17 provinsi.
Kedua syarat tersebut, bukan hanya tertulis di UU No 42/2008 tentang Pilpres, tapi juga tertulis di konstitusi. Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pa sang an calon Presiden dan Wakil Pre siden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikit nya dua puluh persen suara di setiap pro vinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Jika salah satu atau kedua syarat itu tak dipenuhi, Pasal 6A Ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Pre siden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Ida sendiri berpendapat, pilpres di Indonesia menganut sistem dua putaran (two round system), yang dikombinasikan dengan distribusi suara berbasis geo grafis atau wilayah administratif. “Itu berbeda dengan sistem first past the post, yaitu pasangan calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak (berapa pun suara terbanyak itu alias simple majority,” katanya.
Sistem dua ronde yang diidentifikasi digunakan dalam pilpres di Indonesia ini, berasal dari keluarga sistem mayoritas/ pluralitas, atau yang di Indonesia biasa disebut dengan sistem distrik. Sistem dua ronde itu, dipadukan lagi dengan sebaran suara di provinsi-provinsi. Untuk ini, Indonesia menyontek pilpres Nigeria, yang juga memadukan sistem dua ronde dengan sebaran suara di negara-negara bagian, untuk mengakomodir ke bera gam an etnis, agama, dan geografis.
Kegamangan KPU itu pun tak pelak me micu pro-kontra. Ada yang berpen da pat pilpres cukup satu putaran. Kare na, apa lagi gunanya melakukan dua putar an, kalau calonnya hanya dua. Tapi, seba gian lagi berpendapat pilpres tetap harus berlangsung dua putaran. Jika pada pu taran pertama syarat persebaran itu tidak tercapai, maka meskipun syarat 50%+1 sudah terpenuhi pada putaran per tama, harus tetap digelar putaran kedua.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar — yang juga anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menga man demen pasal pemilihan presiden pada tahun 2002 lalu— termasuk yang yang berpendapat harus dua putaran, jika syarat persebaran tak terpenuhi. “Kon stitusi bilang begitu,” katanya.
Para pakar hukum tata negara seperti Refly Harun, Saldi Isra, Irman Putra Sidin, juga berpendapat senada. Refly Harun menegaskan, meski hanya dua pasangan calon yang berlaga, pilpres tak lantas langsung putaran kedua. “Pilpres harus tetap dimulai dari putaran per tama, tidak bisa langsung putaran kedua atau run off. Nah, karena dimulai dari putaran pertama, maka syarat perse baran itu harus tetap berlaku. Kalau tidak terpenuhi, harus tetap dua putaran,” katanya.
Perkara bahwa pada putaran kedua yang berhadapan adalah dua pasangan calon yang sama, sehingga banyak yang menilai bertele-tele, dan buang-buang biaya triliunan rupiah, Refly menegaskan itu bukan soal utama. “Kalau nggak mau bertele-tele, yaa pilih saja presiden di MPR,” katanya. Dia pun tak memper masalahkan ada-tidaknya preseden serupa di negara lain. “Soal preseden itu soal perbandingan, tapi kan kita harus mengacu pada konstitusi kita,” katanya.
Sebenarnya, menurut Refly, dua putaran itu hanya akan terjadi di atas kertas. Di lapangan kelak, dia mempre diksi bahwa pilpres akan tetap berlang sung satu putaran. “Prediksi saya, baik yang menang maupun kalah, akan me menuhi syarat itu,” katanya.
Pada 2009 lalu, yang diikuti tiga pa sangan kandidat –SBY-Boediono, Mega- Prabowo, dan JK-Wiranto— pilpres bah kan bisa berlangsung satu putaran. Hasil pilpres saat itu memperlihatkan, pasang an SBY-Boediono yang keluar sebagai pemenang, bukan hanya berhasil meraih suara 50%+1, tapi juga berhasil melam paui syarat persebaran. Bahkan, suara SBY-Boediono di 33 provinsi yang ada, kebanyakan di atas 50 persen, bahkan ada yang sampai 90 persen, yaitu Aceh (li hat Hasil Pemilu Presiden 2009 di hlm 28).
Bahkan, bukan hanya SBY-Boediono yang mampu melampaui syarat perse baran, tapi juga pasangan Mega-Pra bowo. Kendati secara keseluruhan pa sangan ini hanya meraih 26,8 persen sua ra, namun pasangan ini mampu meraih suara di atas 20 persen di 23 provinsi. Alhasil, syarat persebaran itu bukan sesuatu yang terlalu sulit untuk diraih. Sehingga, prediksi sejumlah kalangan bahwa pilpres kali ini pun akan berlang sung satu putaran, tetap realistis. Apa lagi, jika mengacu pada hasil survei, per tarungan dua pasangan saat ini, Jokowi- JK dan Prabowo-Hatta, berlangsung ke tat dengan perbedaan lima hingga sepu luh poin saja. Sehingga, baik yang me nang maupun kalah, sama-sama berpe luang memenuhi syarat persebaran.
Meski dari sisi probabilitas, hampir pasti pilpres akan berlangsung satu pu taran, namun KPU tetap saja ragu-ragu: apakah syarat persebaran tetap dipakai, atau bisa diabaikan. Usai mengumpulkan dan bertukar pendapat dengan para pakar politik, pakar hukum tata negara, dan pegiat pemilu, Rabu (11/6) lalu, KPU pun menyiapkan dua alternatif. Pertama, KPU akan meminta semacam fatwa kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua, KPU akan menegaskan pilihannya lewat peraturan KPU.
Sejumlah pakar hukum tata negara, seperti Irman Putra Sidin, dan Refly Harun, berpendapat KPU tak perlu me min ta fatwa MK, tak usah pula menga jukan judicial review UU Pilpres, tapi cukup mengambil positioning yang jelas. Apalagi, KPU adalah lembaga indepen den. Dan, kalau ada yang memper soal kan, KPU tinggal mempersilakan mereka ke MK. “Jadi, KPU nggak usah nambahnambah kerjaan. Nggak usah berpo lemik,” sindir Refly Harun.