oleh: Muhammad Subarkah -- Sebuah pohon beringin tumbuh tegak dan rindang di kelokan jalan Kampung Ngijo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Di seberang jalan tegak berdiri sebuah rumah tua bergaya arsitektur joglo dan berdinding papan. Selang 50 meter dari arah kelokan berdiri sebuah masjid megah dengan menara mencuat ke angkasa.
Sekilas memang terkesan pemandangan yang ada di sudut kampung yang tak jauh dari ruas jalan raya beraspal mulus itu—Yogyakarta-Wonosari—tak mengisyaratkan apa-apa. Suasana memang sepi. Hanya ada beberapa sepeda motor yang melintas. Suasana tengah hari yang terik, Jumat 14/6 (lihat foto—Red), mengisyaratkan bila penghuni kampung memilih berada di rumah ketimbang sibuk beraktivitas di luar.
''Ya, inilah kampung kami yang sepi ini. Dulu, hingga tahun 1980-an di bawah pohon beringin ini banyak sesajen. Tapi, kini Anda lihat sendiri kan? Tak ada lagi yang memasangnya. Kini, malah setiap kali shalat di masjid jamaahnya semakin banyak. Kalau shalat Jumat, kerap tak muat. Masjid ini pun sudah beberapa kali direhab agar bisa menampung luapan jamaah,'' kata Nugroho, warga Kampung Ngijo, yang sehari-hari giat mengurus BMT Azam dan sebuah swalayan milik jamaah pengajian, Swalayan Istiqomah, di Piyungan.
Menurut Nugroho, berdirinya sebuah masjid yang megah adalah tak terbayangkan. Lebih tak masuk akal lagi bila kemudian di wilayah sekitar itu, yakni di Kecamatan Piyungan, kini berdiri BMT (baitul mal wa tamwil) sebanyak delapan buah. Omzetnya pun masing-masing sudah sangat lumayan, mencapai Rp 15 miliar – Rp 25 miliar. Kota kecamatan dan kampung terata apik. Lahan sawah yang subur dan pengairan yang memadai menghapus sama sekali citra kawasan selatan wilayah Yogyakarta yang selama ini 'telanjur' dicitrakan sebagai daerah tertinggal karena dipenuhi kemiskinan.
''Anda lihat sendiri Piyungan kini kehidupannya sangat lumayan. Memang banyak warganya yang merantau. Tapi, hasil dari perantauannya kini terlihat dan membuat kemajuan bagi suasana kampung. Letak kami yang berada pada kawasan segi tiga, yakni perbatasan Sleman, Yogyakarta, menjadikan wilayah ini jadi rebutan,'' ujar Nugroho lagi.
Selain kemajuan yang bersifat lahiriah, Piyungan yang tiba-tiba membuat penasaran publik berkat adanya sebuah laman internet yang identik dengan sebuah partai politik berbasis masa Islam, bisa dikatakan tingkat 'keislaman' warganya memang begitu dalam. Seorang penjaga masjid berada di pinggir ruas jalan Jogja-Wonosari, Ambar (44 tahun), mengakui bila warga kampungnya kini sudah semakin santri. Bila tiga puluh tahun lalu tempat ibadahnya yang diberi nama Masjid 'Attakwa' hanyalah berupa sebuah surau yang kecil, kini sudah membesar berlipat-lipat. Yang datang untuk shalat berjamaah setiap harinya pun banyak.
''Dulu ini hanya berupa 'langgar'. Ini pun hanya tempat ibadah umat Islam satu-satunya di kampung kami. Tapi, kini selain bangunannya semakin membesar, masjid yang seperti ini sudah ada di setiap kampung. Kalau hari Jumat, masjid ini sekarang sudah tak muat lagi menampung jamaah. Pokoknya beda banget dengan suasana sebelum tahun 1980-an,'' kata Ambar.
Dari cerita Nugroho dan Amar, kemudian terdengar pengakuan betapa dakwah Islam di sana dilalui dengan cara yang tak mudah. Apalagi, saat itu sebagian besar warga adalah sosok yang kurang peduli dengan ajaran Islam atau kelompok masyarakat Islam abangan. Situasi ini makin terasa berat karena pada saat yang sama gerakan misi dakwah dari agama non-Islam juga kencang keluar-masuk kampung.
Nugroho mengakui, hingga awal 1980-an, mengaji di kampungnya adalah hal langka. Masyarakat tetap terjebak dalam pola hidup adat yang lama. Berbagai tradisi leluhur selalu dilakukan. Di pojok kampung, di persimpangan jalan, di tepian sawah selalu ada sesaji. Aneka bentuk upacara adat juga digelar rutin. Hanya sebagian kecil warga yang shalat dan mengaji. Akibatnya, bila ada warga yang menunjukkan sisi keislamannya, langsung saja dianggap sebagai 'orang yang aneh'. ''Sampai akhir 70-an, saya ingat betul, kami kalau mengadakan pawai takbir keliling setiap malam Idul Fitri, pasti kami dilempari. Tapi, karena kami saat itu masih anak-anak, ya kami tanggapi biasa saja,'' ujar Nugroho.
Namun, dari kegigihan sebagian orang, pengajian dan majelis taklim terus dihidupkan. Suasana makin menguntungkan seiring dengan tidak represifnya sikap rezim Orde Baru terhadap aspirasi Islam. Gencarnya pemasyarakatan program P4 membuat dakwah kian kokoh. Secara berangsur-angsur warga secara sukarela mau berkunjung ke acara taklim atau pengajian. Mereka yang 'keras' menentang Islam—karena ada juga sebagian warga yang pernah menjadi aktivis partai komunis—kini luluh hatinya. Dakwah meluas dan semakin dalam karena dikonkretkan dengan keinginan maju bersama melalui pembentukan aneka sekolah, tempat usaha, hingga hal produktif lainnya.
''Pada bulan Ramadhan masjid dipenuhi umat. Bukan hanya aktivitas ibadah shalat tarawih saja, di situ juga muncul aneka aktivitas. Yang penting lagi dengan keluarnya metode belajar membaca Alquran model Iqro, maka mengaji kini hal yang mudah. Anak-anak kecil di kampung kami kini banyak sekali yang pintar mengaji. Hal ini sama sekali tak terbayangkan pada generasi sebelumnya, terutama generasi para kakek dan neneknya dulu,'' ujar Nugroho menegaskan.
Dengan demikian, lanjut Nugroho, bila kemudian melihat pada situasi yang terjadi di kampungnya, dia mengaku memang terjadi perubahan besar. Hanya selang waktu dalam satu generasi, pengaruh Islam di Piyungan semakin dalam. ''Lihat saja apa yang ada lihat di bawah pohon beringin dan apa yang kini terjadi di masjid kampung kami. Di bawah pohon beringin tak ada lagi apa-apa, tapi di masjid kami kini padat aktivitas,'' katanya.
Bagaimana dengan afiliasi politik masa kini warga Piyungan? Menyinggung soal ini, Nugroho mengatakan aspirasi politik warga tersebar ke banyak partai dan ormas. Namun, memang yang muncul ke permukaaan dengan jelas itu Partai Keadilan Sejahtera karena adanya website itu. Mereka ini memang yang paling getol bergiat dan sangat terbiasa dengan dunia internet.
''Kalau soal kesenian atau budaya, kini terjadi asimilasi unik. Yang tua kini suka musik gaya oplosan ala campur sari, yang kami akrab menyebutnya dengan 'campur santri'. Sedangkan, generasi Islam yang muda lebih suka nasyid. Jadi, kalau ada acara keagamaan ataupun acara sosial, misalnya perkawinan, dua jenis musik ini selalu dimainkan. Ini untuk menghormati selera yang muda dan mereka yang berusia lebih tua,'' ungkap Nugroho.