Warga Kelurahan Cibangkong mendatangi kantor PDAM. Mereka mengeluh, sejak Februari air dari keran tidak teratur mengalir. Air sering kali mati.
Admirah, warga RT 08 RW 11, Kelurahan Cibangkong, mengatakan, mulai Februari air keran hanya seminggu sekali mengalir. "Padahal, saya bayar tiap bulan," ujar nenek itu kepada Republika, Senin (2/6).
Ia telah menyampaikan keluhan, dua kali lewat telepon, tiga kali menemui langsung petugas PDAM Tirtawening. Tapi, ditemui Republika, aliran air tidak membaik.
Selama berbulan-bulan ia menggunakan pompa elektrik untuk mendapatkan air tanah. Hal itu ia akui menambah beban biaya listrik. Ditambah, keadaan air wilayah itu yang kurang baik. "Airnya kuning, daerah sini mah jelek kalau nyuci saya pake sitrun," jelas Admirah.
Sedangkan, masak dan minum, ia membeli air galon. Satu galonnya dipakai dua hari. Bahkan, Admirah meminta anaknya membawa air dari tempat kerja di Setiabudi. Hal itu dilakukan dengan menggunakan jeriken sebanyak tiga buah.
Warga lainnya, Agus Murjoko, juga mengakui hal itu. Air semakin sulit sejak Februari. Hal itu membuatnya melayani warga yang meminta air dari pompa miliknya. Dari warga, ia mendapat ganti rugi sukarela.
Ia melayangkan keluhan ke PDAM, selama seminggu air tidak mengalir. Ia dijanjikan ada perbaikan. Tapi, sudah lama ia belum melihat hasilnya. "Pake pompa pun sulit, kayak ada jadwalnya, missal, sekarang ngocor ntar malem baru ngocor lagi," keluhnya sambil melayani seorang anak yang membeli air dua ember darinya.
Pada siang harinya, petugas PDAM mendatangi Kelurahan Cibangkong. Mereka melakukan penggalian di beberapa titik melihat tekanan air. "Tekanannya bagus, bukan karena pipa tersumbat," jelas Ade Supriadi, pengawas Distribusi Wilayah Bandung Timur ketika ditemui di lapangan.
Menurut Ade, wilayah Cibangkong rawan. Kebutuhan air semakin meningkat sementara debit air menipis. Warga mengakui, permintaan pemasangan pipa air kian banyak.
PDAM, kata Ade, bisa menolak tegas permintaan. Tapi, hal itu tidak dilakukan karena bisa memunculkan pipa air liar.
Permasalahan lain di wilayah Cibangkong yang membuat rawan air diakibatkan terbagi duanya saluran air dari sumber. Sumber air wilayah Cibangkong berasal dari Gatsu. Aliran air harus dibagi juga dengan wilayah Burangrang. "Selain itu, banyak pipa yang bocor. Dua titik yang kami tangani," ungkap Ade.
Pemanfaatan air itu terjadi baik di hulu maupun di hilir sungai sebagai pemasok air di Kota Bandung. Krisis air Kota Bandung dampak pengambilan air di hulu sungai. Hal itu dikatakan Kertamin dari Seksi Kerja Sama di Bidang Pemanfaatan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jawa Barat.
Pemakaian air di hulu menjadi energi maupun produk air kemasan. Produksi air kemasan yang menurutnya banyak berperan menyumbang kekrisisan air. "Pemakaian masyarakat tidak seberapa, tapi di sini muka air jadi turun karena air di sumbernya diambil, bukan cuma untuk di sini, itu kan untuk ekspor," jelas Kertamin, Kamis (12/6).
Kebutuhan air
Dalam artikel ''Batam dan Ancaman Kelangkaan Air Bersih'', Ismarti, dosen tetap Prodi Pendidikan Matematika FKIP UNRIKA Batam menulis, untuk memenuhi kebutuhan dasar, manusia memerlukan dua liter air. Sedangkan, kebutuhan air tiap orang Indonesia 160 liter per hari. Sejumlah 100 liter digunakan mandi, cuci, dan kakus. Sisanya, 60 liter untuk keperluan lain, seperti mencuci dan menyiram tanaman.
Bandung merupakan kota terpadat penduduknya di Jawa Barat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, penduduk Kota Bandung mencapai 2.455.517 jiwa. Sementara, laju pertumbuhan penduduk 1,26 persen. Tingkat kepadatan penduduknya mencapai 14.676 orang per kilometer persegi.
Berdasarkan data tersebut, terhitung kebutuhan air di Kota Bandung mencapai 392.882.720 liter per hari. Jumlah itu belum termasuk kebutuhan air dari para pendatang atau wisatawan yang memenuhi hotel atau penginapan. Tahun ini, ditargetkan Bandung kedatangan tujuh juta wisatawan. Bisa dibayangkan sebanyak apa air yang dipakai.
Dalam hal ini, menurut data PDAM Tirtawening, Kota Bandung mendapat pasokan air dari empat sumber, Dago Bengkok, Cisangkuy Lama, Cisangkuy Baru, dan Cikapundung yang merupakan anak sungai dari Sungai Citarum. Dalam hitungan detik, keempatnya memasok air baku dengan total 1.935,7 liter per detik atau 1,9 meter kubik per detik. "Cisangkuy paling sedikit karena cuma cadangan. Cuma kalau ada masalah baru dioperasikan," kata Asep Sopian, pengawas Pipa Badaksinga PDAM Tirtawening, Jumat (13/6).
Sedang, total air yang dialirkan melalui pipa dari PDAM dalam hitungan detik ke masyarakat adalah 1.813,4 liter per detik (1,8 meter kubik per detik) atau 156.667.760 liter per hari. Bila dihitung dalam satu bulan pemakaian maka air yang dipasok untuk masyarakat sejumlah 4.717.440 meter kubik.
Untuk Juni ini, menurut data PDAM, pasokan air melimpah, bahkan maksimum. Hal itu dikarenakan hujan datang. "Untuk Mei totalnya 3.202.779 meter kubik yang tercatat," kata Trisna Gumilar, kepala bagian (kabag) Meter dan Penertiban Jaringan (MPJ).
Dibandingkan hitungan jumlah penduduk Kota Bandung, jumlah pelanggan PDAM 70 persen. Menurut data PDAM Tirtawening sampai Juni ini ada 151 ribu pelanggan.
Jika 70 persen dihitung dari hitungan kebutuhan air masyarakat Kota Bandung, PDAM memasok 275.017.904 liter per harinya. Sehingga, pelanggan membutuhkan pasokan 118.350.144 liter setiap harinya.
Namun, kebocoran pipa mengurangi pasokan yang dapat dipenuhi. Ada 32 persen pipa bocor. "Pipa kita ini kan warisan dari lama, banyak yang rusak, keadaannya di bawah tanah sulit dideteksi," jelas Tarsum, kepala bidang (kabid) Humas PDAM Tirtawening.
Ia pun mengakui, terjadi pemakaian air besar-besaran di hulu dan di hilir. Pemakaian itu tidak seimbang dengan jumlah air hujan ke dalam tanah. Sejak dari hulu, baik ketersediaan maupun lalu lintas air terganggu. Selain pipa bocor, ia menyebut, ada dua masalah yang menghantui perjalanan air dari sumber. Masalah itu adalah sampah dan alih fungsi lahan.
Soal sampah, kata Tarsum, masyarakat mempunyai pemikiran jika musim hujan air pasti lancar dan melimpah. Ia mengatakan, hal itu tidak sepenuhnya benar. Justru saat musim hujan sampah mengotori sungai. Seharusnya, air mengalir deras, tetapi karena saluran tersumbat sampah, aliran terhambat. "Kalau musim kemarau malah nggak ada sampah, jadi berapa pun air yang disediakan alam bisa mudah mengalir masuk ke sini," jelasnya.
Soal alih fungsi lahan juga memengaruhi ketersediaan air. Menurut Tarsum, banyak lahan yang seharusnya ditumbuhi tanaman keras kini beralih fungsi sebagai lahan pertanian sayur. Ia mencontohkan itu di wilayah Situ Cileunca, Bandung selatan.
Pohon seharusnya bisa menahan air hujan. Tapi, karena pertanian, air dari langit mengalir begitu saja ke arah Situ Cileunca. Parahnya, air hujan itu meluruh membawa serta lumpur dan tanah. Akibatnya, terjadi pendangkalan situ. "Selain semakin sulit mengolah air yang tercampur lumpur, tentunya kapasitas air yang bisa ditampung situ semakin sedikit," ujar Tarsum lagi.
Alih fungsi lahan lain terjadi karena pembangunan besar-besaran di wilayah Kabupaten Bandung Utara (KBU). Wilayah itu sudah semestinya menjadi lahan resapan air. Tapi, lahan penyangga itu kini justru marak dibangun villa oleh masyarakat kelas atas.
Di satu sisi, ia mengakui masalah ini menjadi dilema untuk PDAM sendiri. Ketika masyarakat dilarang untuk bertani di kawasan itu, menurut Tarsum, pasti akan ada penolakan yang sulit dibendung. Tapi, jika dibiarkan pihaknya tidak memungkiri bahwa akan banyak keluhan dari pelanggan.
Melihat ini, Tarsum berharap, munculnya kesadaran dari masyarakat. Karena, air menjadi kebutuhan bersama, seharusnya juga menjadi tanggung jawab bersama. Ia meminta masyarakat tidak membuang sampah sembarangan. "Sisakan halaman, jangan dibangun semua, bikin biopori, jadi tidak menggantungkan 100 persen pada PDAM," kata Tarsum.
Satu periode APBD
Banyaknya warga yang mengeluh tidak kebagian air menjadi pertanda Bandung kekurangan air. Kondisi wilayah Kota Bandung yang dikelilingi pegunungan, sewajarnya memiliki banyak sumber air.
"Untuk ukuran Bandung, ini sudah krisis," ujar Thio Setiowekti, ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Jawa Barat. Ia menilai, pertumbuhan ketersediaan air menurun. Sementara, pertumbuhan jumlah penduduk terus meningkat. Konsep konservasi tidak berjalan paralel dengan kebutuhan lahan.
Selama ini, menurut Thio, bertujuan untuk konservasi tidak berjalan maksimal. Bahkan, okupasi lahan konservasi, khususnya di wilayah Bandung Utara, di atas 35 persen dengan laju petumbuhan lima sampai enam persen. "Penghijauan kembali itu seremonial," tegas Thio.
Untuk mengembalikan pada fungsi awal, menurut Thio, perlu keberanian melakukan pembebasan lahan. Lahan-lahan pertanian dibebaskan, kemudian dijadikan hutan lagi dengan tanaman keras. Untuk menjalankan hal ini, menurut Thio, tak perlu takut pada warga yang protes karena lahan pertaniannya diganggu. Warga yang memanfaatkan lahan hutan untuk pertanian diberi kesempatan tetap bisa memanfaatkan lahan dengan mengganti pola tanam dari sayuran ke tanaman yang berakar dalam, misalnya kopi.
Begitu juga soal situ atau danau dan sumber air lainnya yang ia nilai kurang perawatan. Thio mengatakan, saat ini sedimentasi Sungai Citarum yang menjadi sumber pasokan Kota Bandung sangat tinggi. Per tahunnya, terus bertambah sebanyak satu juta meter kubik.
Sedimentasi pada danau dan sungai terus terjadi dengan kapasitas limpasan air (run off) dari curah hujan yang terus meningkat. Air dari hujan tidak mampu diserap ke dalam tanah dan terbuang. "Di Kawasan Bandung Utara aja 70 persen sudah jadi run off," kata Thio.
Maka, tidak heran jika di Lembang selama lima tahun terakhir sering terjadi banjir dadakan. Tidak tanggung-tanggung, ketinggian rata-rata air banjir di Lembang bisa sampai setengah meter. Padahal, wilayah Lembang seharusnya menjadi wilayah resapan air. "Di Lembang itu air akan cepat sekali meresap, sekian menit saja sudah hilang," kata Thio.
Kini, pemakaian air di wilayah utara Bandung semakin meningkat. Tidak hanya kebutuhan manusia, tapi juga kebutuhan hewan ternak. Thio mengatakan, ada 20 ribu sapi di Lembang. Satu ekor sapi butuh air 30 liter per harinya. Air itu digunakan baik untuk minum, mandi, maupun mencuci kandang.
Air sudah menjadi komoditas yang diperebutkan. Sungai Cikapundung sebagai anak Sungai Citarum diperebutkan banyak pihak. Pihak PDAM di tiga wilayah, yaitu Tirtawening, Tirtaraharja, dan Kabupaten Bandung Barat (KBB) juga masyarakat, termasuk petani sayur dan peternak. "Sadis itu, kalau rebutan sampai potong pipa, disumbat pakai semen, itu sudah jadi rutinitas di saat kemarau dan tidak terhindarkan," jelas Thio.
Yang perlu diwaspadai lagi, menurut Thio, adalah penjarahan gudang air karena penerapan UU No 7 tahun 2004. Undang-undang ini, menurut Thio, mengarah pada privatisasi air. Dengan aspek legal ini, air memungkinkan dimonopoli. Dampak nyatanya dapat dilihat dari dua aspek.
Aspek pertama dalam bentuk distribusi air. Aspek kedua dalam bentuk usaha air minum kemasan. Penjarahan juga dapat disaksikan dengan banyak pipa liar dan resmi yang tidak sesuai aturan. "Izinnya delapan inci, tapi nyatanya pakai 16 inci, itu seluruh pipa kalau disatukan lebih lebar daripada sungai itu sendiri," ujar Thio.
Ia menilai, masyarakat Bandung telah dininabobokan dengan kondisi masa lalu. Bandung di masa lalu, air begitu melimpah. Kini, masyarakat terlena dan tidak tergugah untuk ikut menjaga. Menurutnya, konsep budaya membuang sampah sembarangan, khususnya, harus segera dihilangkan.
Selama ini, Thio juga menilai pola retribusi tidak digunakan untuk konservasi sebagaimana mestinya. Menurut dia, retribusi atau pajak harus diperjelas untuk dikembalikan pada alam. Selama ini, biaya itu justru digunakan di luar kepentingannya. Konsep jasa lingkungan dalam hal ini perlu dipertimbangkan.
Terus mengandalkan alam tanpa teknologi itu sama saja omong kosong bagi Thio. Konsep konservasi yang selama ini dikerjakan dinilai tidak efektif. Seperti pembuatan biopori dan meninggikan jalan untuk mengurangi banjir. "Biopori itu hanya obat sesaat," kata dia.
Menurut Thio, selama kapasitas run off tidak dikelola dengan baik maka pembuatan biopori akan percuma. Perlu suatu keberanian—khususnya dalam hal penyediaan dana— untuk memulihkan alam, baik itu memperbaiki waduk atau membuat waduk baru. Bahkan, Thio mengatakan, saat ini untuk perbaikan sanitasi di Kota Bandung membutuhkan satu periode APBD. rep: c69 ed: priyantono oemar