oleh: Selamat Ginting -- Hari Bhayangkara pada 1 Juli 2001 menjadi sejarah kelam bagi Korps Kepolisian Negara RI. Pada 13 tahun lalu itu, Juni-Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat keputusan yang menghebohkan.
Ia menonaktifkan Jenderal Polisi Surojo Bimantoro sebagai kepala Polri melalui surat keputusan Nomor 40/Polri/2001. Kemudian, mengangkat Inspektur Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail sebagai Wakil Kepala Polri. Melalui surat keputusan Nomor 41/Polri/2001 itu, Presiden juga menyerahkan pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri kepada Wakapolri.
Chaeruddin Ismail dilantik Presiden Gus Dur sebagai Wakapolri di Istana Negara Jakarta, Sabtu (2/6/2001) siang. Saat pelantikan, pangkatnya langsung dinaikkan menjadi komisaris jenderal polisi. Ia diangkat sebagai Wakapolri menggantikan Komisaris Jenderal Polisi Panji Atma Sudirja yang segera memasuki usia pensiun.
"Segala hal keterangan di luar bahwa dia (Bimantoro) dinonaktifkan harus dianggap tidak ada. Segala jajaran Polri harus mengindahkan perintah ini dan setiap yang menentang dianggap melakukan insubkoordinasi dan akan dilakukan tindakan hukum terhadapnya," ungkap Presiden dengan tajam saat melantik Wakapolri.
Di sinilah terjadi konflik yang bernuansa politis. Bukan hanya antara Gus Dur dan Jenderal Bimantoro, melainkan berimbas menjadi konflik internal di tubuh Polri. Bahkan, puncaknya terjadi perseteruan sengit antara Presiden Gus Dur dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Gus Dur tidak bisa seenaknya memecat Bimantoro dan mengganti dengan perwira tinggi lainnya. Akhirnya, Kepala Negara meminta Bimantoro mengundurkan diri saja, tetapi alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 1970 itu menolak mengundurkan diri.
"Sekali lagi Gus, saya tidak mau mengundurkan diri. Tapi, kalau Gus mau mengganti saya, silakan," kata Bimantoro dalam pengakuannya saat diwawancarai penulis pada pertengahan 2002.
Kapolri ke-16 itu berlindung di balik Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VII Tahun 2000, yang mensyaratkan pengangkatan Kapolri harus mendapat persetujuan DPR. Namun, Gus Dur tetap nekat memecat Bimantoro justru pada saat Hari Bhayangkara, 1 Juli 2001.
Satu hari setelah pemecatan yang menghebohkan jagat penegak hukum berseragam cokelat itu, para bintang Polri berkumpul membahas pemecatan yang kontroversial. Rapat para jenderal itu menghasilkan sikap, kepolisian menerima pemberhentian dengan syarat.
Sama seperti yang dikemukakan Bimantoro, harus sesuai prosedur Tap MPR Nomor VII Tahun 2000. Sambil menunggu adanya pengganti baru yang disetujui DPR, maka Bimantoro tetap memegang tongkat komando Mabes Polri.
Hasil rapat para jenderal itu, ternyata ditolak oleh sejumlah perwira menengah senior berpangkat komisaris besar (kombes). Para jenderal dituding mencatut Tap MPR Nomor VII tanpa memperhatikan pasal 11 dalam Tap yang sama, yang menyatakan bahwa ketentuan dimaksud dalam ketetapan ini diatur oleh undang-undang.
Padahal, undang-undang dimaksud, kata Kombes Parlindungan Sinaga dari Badan Pembinaan Hukum Mabes Polri, yakni RUU Kepolisian berdasarkan Tap ini masih dan sedang digodok sehingga yang berlaku adalah UU Nomor 28 Tahun 1997.
Pasal 8 Ayat 1 UU Kepolisian ini menyatakan Presiden memegang kekuasaan tertinggi Kepolisian. Pasal 11 menguatkan lagi, Kepala Kepolisian diangkat dan diberhentikan Presiden.
"Jadi, menurut para perwira menengah, ketetapan pemberhentian itu mengikat secara moral," seperti dilansir dalam buku, Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001, yang ditulis Edy Budiyarso.
Istana merasa mendapat dukungan dari para kombes itu, kemudian keluar surat dari Sekretaris Militer Presiden, Marsekal Madya Budi Santoso. Surat ini bocor ke publik pada 5 Juli 2001. Isi surat itu meminta Jenderal Bimantoro menyerahkan tongkat komando dan atribut kepolisian kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menkopolsoskam) Jenderal Hor (Purn) Agum Gumelar.
Agum dilantik pada pagi hari, beberapa jam sebelum pelantikan Wakapolri Komjen Polisi Chaeruddin Ismail. Agum menggantikan Jenderal Hor (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono.
Pelantikan Wakapolri di istana juga mengundang tanda tanya. Sebab, biasanya pelantikan Wakapolri hanya dilakukan di Mabes Polri oleh Kapolri, bukan oleh Presiden.
Polemik itu sampai pula ke Senayan. Anggota Fraksi TNI/Polri di DPR, Inspektur Jenderal Polisi Taufiequrrachman Ruki, teman seangkatan Bimantoro di Akpol 1970 itu, menyatakan, Presiden tak bisa memegang tongkat komando Polri karena bukan anggota polisi.
"Kalau atribut atau tongkat komandonya diminta Presiden, berarti dia telah diberhentikan. Dengan pemberhentian itu, berarti Presiden tidak menghormati DPR dan melanggar Tap MPR," ujar Ruki.
Sebetulnya bukan hanya Bimantoro yang dicopot oleh Presiden Gus Dur. Kapolri sebelumnya, Jenderal Polisi Rusdihardjo, juga dicopot mendadak pada 23 September 2000 dan langsung digantikan Komisaris Jenderal Bimantoro tanpa melalui proses di DPR. Padahal, Rusdihardjo baru menjabat selama sembilan bulan. Namun, Rusdihardjo tidak melakukan ‘perlawanan’ seperti Bimantoro.
Tabrak prosedur
DPR melihat dari dua kali pencopotan Kepala Polri ini, Gus Dur menabrak prosedur, artinya melanggar undang-undang. Sama seperti pengangkatan panglima TNI, maka pengangkatan kepala Polri juga harus melalui mekanisme di DPR.
Wakapolri diperintahkan mulai bertugas sekaligus mengemban tugas dan wewenang kapolri sejak tanggal penetapan yang tercantum dalam SK Presiden tersebut.
Kapolri nonaktif Jenderal Bimantoro tidak hadir dalam acara pelantikan tersebut. Demikian pula, Panglima TNI Laksamana Widodo AS serta tiga Kepala Staf. KSAU dan KSAL yang sebelumnya hadir dalam pelantikan Agum Gumelar sebagai Menkopolsoskam, telah meninggalkan Istana Negara begitu acara itu selesai.
Menteri yang hadir pun sudah berkurang, yang tertinggal hanya Menlu Alwi Shihab dan Mendagri dan Otda Soerjadi Soedirdja dan Menkopolsoskam Agum Gumelar. Sedangkan, yang membacakan SK Presiden adalah Sekretaris Militer Presiden Marsdya Budi Santoso.
Bimantoro usai pelantikan Menkopolsoskam sempat berjanji akan hadir dalam acara pelantikan Wakapolri. Namun, ternyata ia tidak hadir. Ia tidak mempermasalahkan pelantikan Wakapolri yang berlangsung di Istana Negara oleh Presiden.
Padahal, menurut Bimantoro, jabatan Wakapolri dalam struktur organisasi Polri yang baru sudah tidak ada lagi. "Sudah saya sampaikan pada Sekretaris Militer Presiden bahwa jabatan Wakapolri sudah ditiadakan dalam struktur baru Polri."
Sementara, Wakapolri Chaeruddin Ismail menyatakan hanya menjalankan perintah presiden sebagai panglima tertinggi TNI dan pimpinan tertinggi Polri. "Saya tidak mau bicara politik. Polri tidak ada sangkut pautnya dalam masalah politik," ujarnya sampai bergegas memasuki kendaraannya meningggalkan Istana Negara.
Tidak berhenti sampai di situ. Akhirnya, Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail dilantik sebagai Pejabat Sementara Kapolri merangkap Wakil Kapolri oleh Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/7/2001), tepat pukul 17.30 WIB. Presiden Gus Dur memutuskan bahwa dalam rangka mengisi kekosongan jabatan Kapolri dan sambil menunggu persetujuan DPR, Chaeruddin ditetapkan menjadi pejabat sementara Kapolri merangkap Wakil Kapolri.
Melalui Keppres itu pula, Chaeruddin diangkat menjadi jenderal polisi berbintang empat sehingga hanya 18 hari Chaeruddin menjadi jenderal bintang tiga. Acara pelantikan tersebut tidak disertai dengan pengambilan sumpah jabatan, tetapi hanya pembacaan Keppres 56 dan 57/Polri/Tahun 2001.
Mengenai polemik tongkat komando yang belum diserahkan Jenderal Bimantoro, menurut Presiden, karena Polri sudah dipisahkan dari TNI, Polri bukan lagi kekuatan militer. Jadi, tidak perlu melaksanakan penyerahan tongkat komando dari pejabat lama ke pejabat baru.
Hal yang tidak lazim, Menko Polsoskam Agum Gumelar, Panglima TNI, dan para Kepala Staf TNI tidak terlihat dalam acara itu. Hanya beberapa pejabat tinggi negara yang hadir. Inilah hari-hari menjelang dikeluarkannya dekrit presiden oleh Gus Dur.
Dekrit yang menyeret konflik di lembaga kepolisian itu berujung pemakzulan Gus Dur sebagai presiden. MPR sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus yang mengangkat dan memberhentikan presiden, akhirnya mengetuk palu pada 23 Juli 2001 dan terjadilah pergantian presiden dari Gus Dur kepada Megawati.