Selasa 01 Jul 2014 13:00 WIB

Ranger yang Terlupakan

Red:

oleh:Selamat Ginting -- Juli 1960. Kontingen kedua perwira polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger di Amerika Serikat (AS). Pasukan Ranger dari Brigade Mobil (Brimob) ini dibentuk untuk mengatasi pemberontakan bersenjata di dalam negeri.

 

Meskipun instruktur pelatihan Ranger ini sebagian besar dari Korps Marinir AS di Okinawa, pola latihan mereka merupakan gabungan dari Ranger Angkatan Darat AS dan pasukan Recon USMC (United States Marine Corps).

 

"Ini berkah permintaan maaf Amerika kepada Indonesia pada 1959, setelah diketahui turut membantu dalam pemberontakan PRRI/Permesta," kata Presiden Sukarno dalam buku Resimen Pelopor: Pasukan Elite yang Terlupakan pada 2013.

Dalam buku yang ditulis bersama oleh Anton Agus Setyawan dan Andi Muh Darlis itu, disebutkan bawah Sukarno tidak mengirimkan perwira Angkatan Darat atau Korps Komando Operasi (KKO) Angkatan Laut untuk mengikuti pelatihan sebagai prajurit Ranger, tetapi dari Kepolisian. Untuk menghindari pertanyaan dari TNI, Sukarno beralasan bahwa yang dikirim, walaupun polisi, bekas tentara pelajar (TP). 

 

Sebelumnya, pada Januari 1959, Pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata kepada Brimob Polri. Ada delapan perwira polisi yang dididik di Okinawa, pangkalan Marinir AS, sebagai kontingen pertama. Selanjutnya pada September 1959, kompi pertama Brimob Ranger telah dibentuk.

 

Selain mendapatkan pelatihan, pada pertengahan 1960, Ranger Brimob yang kemudian berganti nama Resimen Pelopor itu, mendapatkan bantuan senjata senapan serbu AR 15. Senjata ini  merupakan versi awal atau versi nonmiliter dari M 16 A1.

 

Pasukan Menpor adalah salah satu pengguna pertama senjata ini, bahkan pada saat itu pasukan reguler batalion infanteri AS yang ditugaskan di Vietnam sebagai observer masih menggunakan senjata M 1 Garrand.

 

Pada 1950-an, Brimob merupakan tulang punggung utama Polri bersama dengan kesatuan Perintis sebagai kesatuan pelapisnya. Pada masa itu, pendidikan Brimob di berbagai Sekolah Polisi Negara (SPN) mempunyai materi dasar-dasar kemiliteran dan infanteri.

 

Pendidikan dasar berupa teknik bertempur level peleton, menembak ahli dan gerakan tempur, mulai regu sampai dengan batalion diajarkan. Pendidikan menjadi tamtama Brimob memerlukan waktu 13 bulan. Padahal, pendidikan tamtama Angkatan Darat waktu itu hanya empat bulan.

 

Akibatnya, jumlah kompi Brimob yang ada pada waktu itu juga tidak cukup untuk mengatasi konflik bersenjata di daerah. Hal ini yang kemudian memunculkan ide membentuk pasukan khusus untuk keamanan dalam negeri dengan kualifikasi lebih tinggi dari Brimob.

 

Dimulai pada 1950-an, ada beberapa perwira Polri dari Brimob yang mendapatkan kursus infanteri lanjutan di Fort Lavenworth dan Fort Bragg di Amerika Serikat. Di antara mereka adalah Inspektur Polisi Anton Soedjarwo, seperti yang tertulis dalam buku biografi Jenderal Polisi Anton Soedjarwo.

Ya, tidak bisa dihindari. Sejak awal pembentukan Korps Kepolisian Republik Indonesia memang lebih dekat perannya sebagai combatant daripada sebagai polisi sipil. Kondisi masa perjuangan kemerdekaan waktu itu menyebabkan polisi harus terlibat langsung dalam perjuangan bersenjata.

 

Keterlibatan polisi sebagai combatant dipelopori oleh satu kompi Polisi Istimewa pimpinan Inspektur Polisi M Jassin dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945. Pada masa itu, Polisi Istimewa merupakan sebuah korps kepolisian bentukan Jepang dengan persenjataan lengkap.

 

Namun, karena kekosongan pemerintahan pascapenyerahan Jepang pada Sekutu 1945, peran Polisi Istimewa lebih berperan sebagai pasukan pertahanan. Selanjutnya pada 14 November 1946, PM Syahrir meresmikan Korps Polisi Istimewa menjadi Korps Mobile Brigade, sebagai bagian dari Polri dengan fungsi sebagai combatant karena kebutuhan pertahanan waktu itu.

Pada peristiwa pemberontakan di daerah-daerah pada dekade 50-an, kompi-kompi Brimob banyak dikerahkan untuk meredamnya. Namun, lawan yang mereka hadapi adalah para mantan pejuang dengan kemampuan tinggi dalam melakukan perang gerilya. Sedangkan, kompi Brimob yang dikerahkan adalah para prajurit junior yang belum mengalami pertempuran gerilya.

Pada waktu itu, senjata perseorangan yang dipergunakan pasukan Brimob cukup memadai untuk menjadi pasukan infanteri karena mereka menggunakan senapan Lee Enfield. Senjata laras panjang buatan Inggris yang biasa dipergunakan pasukan infanteri. Senapan dengan sistem bolt action ini menjadi andalan Brimob untuk mengadang musuh.

 

Pasukan pemberontak sebagian besar juga menggunakan senjata yang sama. Namun, Brimob belum dibekali pengetahuan perang antigerilya,sehingga mereka tidak mampu mengadang pemberontak. Pasukan pemberontak berani melakukan serbuan (raid) ke kota untuk melakukan pengacauan.

 

Pada umumnya mereka menyerang markas polisi yang dijaga satuan-satuan Perintis. Satuan-satuan Perintis tersebut hanya mampu bertahan di dalam markas dengan tujuan utama mempertahankan markasnya. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengejar musuh dan melakukan serangan balasan, atau bahkan menangkap mereka sesuai dengan tugas sebagai polisi pada masa itu.

 

Hal ini yang mendorong para petinggi Polri dan pemerintah pada masa itu untuk membentuk unit pasukan khusus di dalam Polri yang memiliki kemampuan melakukan siasat perang antigerilya. Hal inilah yang melatarbelakangi pembentukan pasukan Ranger Brigade Mobil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement