oleh: Selamat Ginting -- Setelah pelantikannya menjadi Kepala Polri, Jenderal Polisi Da’i Bachtiar langsung dipusingkan dengan posisi Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Chaeruddin pernah dilantik Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pejabat sementara Kapolri.
Pengangkatan Chaeruddin itu memicu dualisme kepemimpinan di Mabes Polri. Chaeruddin, antara lain, didukung teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1971. Sedangkan, Bimantoro juga mendapatkan dukungan dari teman-temannya sesama lulusan Akademi Kepolisian 1970.
Da’i yang lulusan 1972, tidak ingin ada perseteruan lanjutan antara abang kelasnya, yakni angkatan 1970 dan 1971. Ia pun akhirnya mengakomodasi Chaeruddin. Ia memberikan posisi kepada Chaeruddin sebagai perwira tinggi yang diperbantukan kepada Kapolri.
Ia berusaha merangkul petinggi Polri yang pecah pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Padahal, posisi tersebut sebenarnya tidak ada di Mabes Polri. Jenderal bintang empat posisinya hanya satu, yakni kepala Polri. Sebab, secara fungsional sudah ada staf ahli, koordinator staf ahli, dan semua perwira yang bisa memberikan nasihat.
Tidak cukup hanya di situ. Setahun setelah menjabat kepala Polri, Da'i Bachtiar akhirnya melakukan mutasi besar-besaran sejumlah jenderal. Ia mengacu pada struktur organisasi baru yang disahkan melalui Keppres No 70/2002 tanggal 10 Oktober 2002.
Hal yang paling mengejutkan adalah ada empat jabatan untuk jenderal berbintang tiga. Satu di antaranya adalah jabatan Wakil Kepala Polri yang dihidupkan kembali.
Padahal sebelumnya, jabatan wakapolri sempat dihapus pada saat pergantian Presiden Gus Dur kepada Megawati. Bahkan, sempat menjadi perdebatan setelah pengangkatan Komjen Pol Chaeruddin Ismail. Chaeruddin kemudian dinaikkan pangkatnya lagi selang 18 hari, menjadi jenderal bintang empat.
Selain menghidupkan Wakapolri, dalam perubahan struktur organisasinya, Mabes Polri juga memutasi 30 pejabat lainnya. Mutasi itu diduga untuk memperkuat kekuasaan Presiden guna menghadapi Pemilu 2004.
Mutasi besar-besaran ini mengundang konsekuensi tentang usia pensiun. Akibatnya, banyak yang memprotes dan mempersoalkan usia pensiun yang telah diundangkan, yakni Undang Undang Kepolisian No 2 Tahun 2002. Antara lain, mengatur pensiunan bagi anggota Polri hingga usia 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun jika berprestasi.
Akan tetapi, pada kenyataannya Da'i Bachtiar masih mempergunakan undang-undang yang lama. Alasannya, belum ada PP (peraturan pemerintah) yang mengatur tentang pensiunan tersebut.
Akhirnya, sejumlah jenderal yang diduga terkontaminasi penguasa lama terpaksa harus pensiun. Presiden Megawati disinyalir mengikis sejumlah jenderal tertentu dan digantikan dengan generasi berikutnya yang belum terkontaminasi.
Dampak terhadap keputusan itu, pada saat wisuda purnawira perwira tinggi, hanya dihadiri 32 wisudawan. Sebanyak 26 jenderal polisi berbintang satu sampai empat, yang seharusnya diwisuda purnawira di Akademi Kepolisian, tidak hadir.
Padahal, dalam rilis yang diterima wartawan pada pekan ketiga Desember 2002 itu, Kapolri Da’i Bachtiar akan melepas 58 perwira tinggi. Empat di antaranya adalah perwira tinggi bintang empat yang pernah menjabat kapolri. Mereka adalah Jenderal Dibyo Widodo, Jenderal Roesdihardjo, Jenderal Surojo Bimantoro, dan Jenderal Chaeruddin Ismail. Hanya Roesdihardjo yang hadir.
Untuk perwira bintang tiga hanya dihadiri dua orang dari tujuh yang seharusnya hadir. Mereka yang tidak hadir adalah Komjen Sjahrudin ZA, Komjen Jujun Mulyana Dwiyana, Komjen Noegroho Djajoesman, Komjen Ahwil Luthan, dan Komjen Sofjan Jacob. Dna, yang hadir hanya Komjen Nurfaizi serta Komjen Pandji Atma Sudirja.
Lapangan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo di Akademi Kepolisian, Semarang, itu seakan menjadi saksi tidak kompaknya perwira tinggi polisi akibat tergerus kepentingan politik sesaat. Mungkin almarhum Anton Soedjarwo yang disegani perwira Polri dan TNI itu akan menangis jika mengetahui para juniornya terbelah akibat konflik politik.
Terhadap ketidakhadiran para seniornya itu, Da’i mengemukakan, ketidakhadiran sebagian besar perwira tinggi bukan menjadi masalah berarti. Dia menampik hal itu sebagai pertanda ada konflik di kalangan internal Polri.