Oleh : Muhammad Subarkah -- Sonny Harry B Harmadi, kini menjabat sebagai dosen sekaligus kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lelaki kelahiran Mandai, merupakan doktor ilmu ekonomi. Dia pun sempat mengikuti Program Pendidikan Singkat Angkatan 18 Lemhannas RI. Sonny kini juga menjabat sebagai ketua umum Koalisi Kependudukan.
Menurut Sonny, persoalan pertumbuhan penduduk dan ketersediaan pangan sudah merupakan masalah serius. Semua pihak tak bisa lagi menganggap soal ini sebagai hal yang remeh. "Indonesia harus bisa mengantisipasi dalam jangka panjang kemungkinan adanya perebutan sumber daya alam, terutama pangan dan energi,'' katanya.
***
Adanya pertumbuhan penduduk Indonesia yang sampai 5 juta per tahun, risiko apa yang akan dihadapi Indonesia?
Setiap tahun jumlah penduduk di Indonesia bertambah sekitar 3,7 hingga 4 juta jiwa. Hal ini tentunya setelah memperhitungkan angka kematian kasar per tahun. Jelas, tambahan penduduk kita besar, yang berarti setiap tahun akan muncul tambahan kebutuhan hidup penduduk yang semakin besar pula.
Namun, sebenarnya yang juga perlu menjadi perhatian kita ialah struktur umur penduduk. Median umur penduduk Indonesia sekitar 27,2 tahun, yang kalau diartikan secara sederhana, rata-rata umur penduduk Indonesia 27 tahun. Umur median adalah umur yang membagi penduduk menjadi dua bagian dengan jumlah yang sama.
Bagian pertama lebih muda dan bagian kedua lebih tua dari umur median. Penduduk Indonesia masuk kategori umur menengah. Maknanya apa? Bayangkan seperti apa karakteristik atau perilaku seseorang yang berumur 27 tahun. Bukan hanya produktif, tapi juga konsumtif. Di satu sisi, Indonesia dengan struktur umur seperti sekarang bisa sangat produktif, tapi di sisi lain kebutuhan konsumsinya pun meningkat drastis. Bandingkan dengan kondisi tahun 1980 di mana 41 persen penduduk Indonesia berusia di bawah 15 tahun, tentu kebutuhannya juga berbeda.
Kalau tahun 1980-an, kita sangat membutuhkan vaksin, pendidikan dasar yang sangat besar. Pada 2014 ini pola kebutuhan penduduk lebih banyak untuk pendidikan tinggi, mobilitas tinggi yang membutuhkan energi besar, lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Oleh karenanya, struktur penduduk umur yang berbeda harus direspons dengan kebijakan pembangunan yang berbeda pula karena ada perbedaan kebutuhan penduduk.
Jika pemerintah hanya memperhatikan jumlah penduduk tanpa memperhitungkan struktur umur penduduk, risikonya bisa salah arah kebijakan pembangunan. Pembangunan menjadi tidak efektif karena tidak disesuaikan dengan situasi kependudukan. Target pembangunan bisa sulit tercapai.
Kalau begitu, seberapa besar ancaman pertambahan penduduk dengan ketahanan pangan bangsa?
Meskipun jumlah penduduk katakanlah tetap, perubahan struktur dan median umur penduduk menciptakan perubahan pola dan jumlah kebutuhan pangan penduduk. Selain perubahan struktur umur penduduk, pendidikan dan pendapatan penduduk yang lebih tinggi menciptakan variasi kebutuhan pangan penduduk yang juga lebih tinggi. Peningkatan kebutuhan bukan hanya dalam segi kuantitas, melainkan kualitas pangan.
Di satu sisi, kita butuh peningkatan produksi pangan nasional dengan tuntutan kualitas pangan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga meningkat dengan cepat karena kebutuhan lahan untuk perumahan dan aktivitas ekonomi nonpertanian. Sudah pasti, jumlah penduduk yang semakin besar membutuhkan ketersediaan lahan untuk tempat tinggal dalam jumlah yang besar pula. Belum lagi pengembangan bioenergi yang menghasilkan persaingan antara penggunaan lahan untuk kebutuhan pangan dan energi.
Jumlah penduduk tambah banyak, kebutuhan pangan penduduk tambah besar. Struktur umur penduduk yang saat ini didominasi penduduk usia produktif, kebutuhan pangan juga tambah besar. Dulu waktu kita swasembada beras tahun 1980-an, penduduk Indonesia didominasi oleh anak-anak yang kebutuhan pangannya tidak besar. Sedangkan sekarang, dominasi penduduk usia produktif menyebabkan kebutuhan pangannya meningkat drastis. Coba saja Anda bayangkan, apakah sama kebutuhan pangan anak usia 10 tahun dengan 27 tahun? Tentu, berbeda bukan?
Pada saat kita dituntut mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional, peningkatan produktivitas sektor pertanian di Indonesia justru terkendala oleh kenyataan bahwa rata-rata umur petani kita semakin tua. Kelompok usia muda tidak banyak yang tertarik masuk ke sektor pertanian. Bagaimana mungkin kita mampu lebih produktif jika diisi oleh para petani tua? Harus ada mekanisme insentif yang mampu menarik para pekerja muda produktif bekerja di sektor pertanian.
Membuka lahan persawahan atau pertanian baru di daerah yang masih kosong, tidak semudah yang kita bayangkan. Namanya saja dalam bahasa Inggris agriculture, butuh culture penduduk setempat untuk pengusahaan pertanian. Lahannya ada, tetapi siapa yang siap mengolahnya? Di negara maju, lahan pertanian dikelola oleh sedikit orang, tapi didukung teknologi modern. Berarti kita butuh pengembangan teknologi pertanian modern, bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas, melainkan juga penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi. Jika sektor pertanian mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi, sektor pertanian akan dapat menarik bagi para pekerja muda.
Bisakah pertumbuhan penduduk kita ditekan? Bagaimana kelanjutan program KB di Indonesia saat ini? Benarkah para penyuluhnya pun sudah tak ada akibat tak ada dukungan serius pemerintah?
Laju pertumbuhan penduduk perlu dikelola dengan baik, tentunya KB menjadi sangat penting. Walaupun KB seharusnya tidak hanya diartikan untuk pengendalian kelahiran, tapi juga untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kualitas keluarga.
Kita perlu memperhatikan carrying capacity, daya dukung lingkungan. Jumlah penduduk terus bertambah, tapi kan bumi tidak bisa bertambah besar. Daya dukung lingkungan akan terus turun seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Oleh karenanya, program KB akan terus relevan bagi Indonesia. Tetapi faktanya, kinerja KB di Indonesia kan stagnan dalam 10 tahun terakhir. Jumlah anak per perempuan stagnan di angka 2,6. Artinya, perempuan Indonesia punya anak rata-rata sekitar 2,6 anak. Di atas replacement level 2,1 anak per perempuan. Pasangan usia subur yang ber-KB juga hanya naik 0,5 persen selama 10 tahun terakhir. Nah, berarti kita harus mencari tahu apa penyebabnya?
Saya sependapat bahwa jumlah penyuluh KB yang menurun drastis dibanding masa Orde Baru menjadi salah satu penyebab. Dulu jumlah Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) bisa mencapai lebih dari 35 ribu pada periode 1990-an. Sekarang jumlahnya hanya sekitar 22 ribu. Padahal, jumlah pasangan usia subur yang harusnya menerima penyuluhan jauh lebih besar.
Dengan jumlah desa mencapai lebih dari 7000, seorang penyuluh lapangan KB saat ini harus menangani sekitar 3-4 desa. Belum lagi distribusi PLKB antardaerah tidak merata. Bagaimana mungkin penyuluhan akan efektif? Pembiayaan penyuluh sejak otonomi daerah menjadi tanggung jawab pemda, tapi kenyataannya banyak pemda yang menganggap KB tidak penting sehingga juga mengabaikan kebutuhan penyuluh yang memadai, anggaran yang terlalu minim, dan institusi KB di daerah juga sangat beragam. PLKB tentu harus memiliki pengetahuan teknis KB yang memadai, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, dan bisa meyakinkan masyarakat.
Pemerintah harus serius mencari jalan keluar untuk mengatasi hal ini. Dulu waktu Orba, PLKB adalah orang pilihan yang memiliki pendidikan tinggi, kemampuan pengetahuan dan komunikasi yang baik, dan bangga dalam menjalankan tugasnya. Karena kualitasnya yang baik, tidak mengherankan setelah otonomi daerah, banyak PLKB yang akhirnya diangkat menjadi camat, kepala dinas, bahkan terpilih sebagai kepala daerah sehingga jumlah PLKB menurun drastis.
Bila mengacu pada demografi, wilayah yang subur selalu identik dengan kepadatan penduduk. Tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah berkurangnya lahan pertanian atau lahan subur?
Bayangkan saja, diproyeksikan tahun 2035, hampir 90 persen penduduk Jawa Barat tinggal di wilayah perkotaan. Padahal, Jawa Barat menjadi kontributor hampir seperlima produksi beras nasional. Konversi lahan pertanian di Jawa begitu cepat, terutama terjadi pada sawah-sawah kelas satu yang paling produktif. Jawa akan menjadi pulau kota. Bagaimanapun harus ada kebijakan afirmatif untuk mengendalikan konversi lahan pertanian yang begitu cepat. Jika tidak, kita akan mengalami masalah pangan nasional.
Kota sebaiknya didorong tumbuh di daerah yang kurang subur. Meskipun tidak ada satu pun negara agraris yang menjadi negara maju, sebagian besar negara maju tetap menempatkan sektor pertanian sebagai sektor penting pembangunan.
Pemerintah juga harus menyusun strategi pengarahan mobilitas penduduk untuk mendorong persebaran penduduk yang lebih baik. Masalahnya, population pressure terjadi di wilayah yang justru subur. Kita harus mencari jalan keluar untuk mengurangi tekanan penduduk tersebut. Bisa dengan pengendalian kelahiran dan transmigrasi.
=== Dulu pada 1940-an, Gandhi di India mengatakan tak ada ketahanan nasional tanpa ketersedian pangan bagi rakyat. Anda sepakat dengan jargon Gandhi ini? Menurut Anda, apa yang menjadi penyebab sehingga Gandhi sampai berkata seperti itu? Apakah dia melihat kecemasan atas besarnya jumlah penduduk India saat itu?
Tentu sepakat. Ketahanan nasional itu kan unsurnya dua hal, yaitu kesejahteraan dan keamanan. Apakah mungkin akan tercipta stabilitas keamanan jika rakyatnya tidak sejahtera atau tidak dapat terpenuhi kebutuhan pangannya? Tentu, Gandhi melihat bahwa pangan menjadi kebutuhan dasar penduduk. Kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hingga saat ini, laju pertumbuhan penduduk India masih sangat tinggi dan dalam beberapa tahun mendatang akan menggantikan posisi Tiongkok sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia.
Namun, masalahnya, sentra produksi pangan kan tidak merata sehingga distribusi pangan juga tidak merata. Memang pendapat Malthus tidak sepenuhnya benar karena kenyataannya teknologi dianggap dapat mengatasi masalah. Tetapi, kemampuan dan penguasaan teknologi antarnegara maupun antardaerah kan juga tidak merata.
Ke depan, peperangan akan tetap terjadi. Nanti penyebabnya bukan soal ideologi, tapi soal penguasaan bahan pangan dan energi karena jumlah penduduk dunia semakin banyak. Kalau begitu, Anda percaya perang berebut pangan dan energi itu mau tak mau akan terjadi? Kalau benar seperti ini, apa solusinya, terutama bagi rakyat kita sendiri dan bagi pihak penguasa negeri ini?
Saya pikir perang konvensional tidak akan mendominasi karena semua pihak sadar besarnya kerugian dan dampak negatif dari perang adu kekuatan militer. Tetapi, sekarang kan yang muncul asymetric warfare. Konflik akan semakin memanas karena dunia terus mengalami population pressure. Sumber daya alam tidak pernah bertambah. Namun, jumlah penduduk terus meningkat. Akan terjadi perebutan sumber daya alam untuk dapat bertahan hidup. Setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing agar dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduknya yang terus meningkat, tapi sumber daya alam terbatas.
Indonesia harus bisa mengantisipasi dalam jangka panjang kemungkinan adanya perebutan sumber daya alam, terutama pangan dan energi. Caranya dengan memproyeksi kebutuhan pangan dan energi penduduk dalam jangka panjang, berdasarkan perubahan situasi kependudukan. Lalu, menghitung daya dukung sumber daya dan lingkungan yang ada. Makanya, kan kita harus pahami makna sustainable development. Pembangunan saat ini jangan sampai merugikan penduduk pada masa depan. Eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan secara bijak dengan antisipasi yang tepat. Ekstraksi sumber daya alam yang masif, jelas tidak menguntungkan dalam jangka panjang.
Saya pernah membuat kalkulasi sederhana saja bahwa dengan luas wilayah yang ada, Indonesia memiliki daya dukung yang optimal untuk sekitar 305 hingga 320 juta penduduk saja. Ini kemungkinan akan tercapai dalam waktu kurang dari 30 tahun lagi. Pemerintah Indonesia tentu tidak boleh meremehkan tingginya laju pertumbuhan penduduk saat ini. Bagaimanapun, semua masalah berawal dari pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Suka atau tidak, semua harus mengakui dan merenungkannya.