Selasa 08 Jul 2014 12:32 WIB

Di Bawah Bayang Persoalan Pangan

Red:

Oleh:Muhammad Subarkah -- ''Sebelum tahun 2050 jumlah mulut yang harus disuapi akan bertambah dua miliar lagi. Bagaimana cara mencukupi kebutuhan pangan untuk 9 miliar orang?'' Pernyataan ini begitu terasa menyentak ketika membaca tulisan mengenai ketersediaan pangan yang ditulis Majalah National Geographic edisi Mei tahun 2014.

Nah, ketika hendak menjawabnya, bayangan tanda tanya semakin cepat berkelabat. Sebab, fakta riil menyatakan lahan atau wilayah daratan bumi tidak bertambah luas, tapi penduduk meningkat terus tanpa bisa dibendung. Di sisi lain, mau tidak mau, seiring makmurnya beberapa negara yang punya populasi penduduk besar, maka jelas konsumsi pangan akan ikut membesar pula. Maka, mau tidak mau para penghuni bumi, termasuk Indonesia, mulai saat ini harus bisa menggunakan jumlah tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan perut penduduknya.

''Penyebaran kemakmuran di Tiongkok dan India mendorong kenaikan permintaan daging, telur, dan produk susu. Hal ini memperbesar tekanan untuk penanaman lebih banyak jagung dan kedelai...,'' begitu tulis Jonathan Folley dalam artikelnya di majalah National Geographic itu. Dalam tulisan itu terbayang jelas kekhawatirannya bahwa dunia tak bisa lagi memberikan makan kepada penghuninya.

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Prayogi/Republika

Produksi Padi                                                  

Khusus di Indonesia, persoalan ketersediaan pangan yang terus beradu cepat dengan  pertumbuhan penduduk terkesan masih ditelantarkan. Memang sudah ada badan yang dibentuk oleh negara untuk mengurusi persoalan ini. Tapi, keberadaannya masih terasa asing, padahal persoalannya sudah amat mendesak sekaligus serius.

Belakangan, yakni pada waktu acara debat kandidat presiden, soal ini pun hanya dibicarakan selintas. Celakanya kesan yang muncul dalam debat itu masih serbanormatif. Petani hanya menjadi ajang atau bahkan korban dari kampanye pemilihan para pejabat negara, mulai dari lurah, bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden.

''Petani sekarang sudah 'mahmur'. Yakni, hanya punya rumah dan sumur,'' kata Syahromi, petani asal Pandeglang, Banten. Dia mengaku kini sudah tak punya lahan sawah lagi. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, dia harus bolak-balik setiap hari pergi bekerja menjadi buruh bangunan yang dibayar harian di Jakarta.''Tiga anak saya kini bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang. Mereka tak ada lagi yang tertarik menjadi petani,'' ujarnya.

Melihat kenyataan ini, tanpa disadari memang kondisi pangan negeri ini sangat rapuh. Memang pemerintah mengklaim sudah ada swasembada pangan kembali seperti zaman Presiden Soeharto dulu. Akan tetapi, impor beras tetap saja dilakukan dengan alasan masih adanya kebutuhan beras untuk konsumsi kelompok masyarakat tertentu dan juga sebagai sarana persiapan bila gagal panen terjadi.

Ancaman limbungnya ketahanan pangan dunia, khususnya dalam hal ini Indonesia, tampak mencolok di depan mata. Majalah The Economist pada 2014 merilis fakta bahwa peringkat ketahanan pangan Indonesia berada jauh di belakang Singapura atau berada pada nomor tiga terbawah di kalangan negara anggota ASEAN. Ketahanan pangan Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar.

Fakta ini jelas membuat miris mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang meiliki sumber daya melimpah. Pakar pertanian dari Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis Universitas Medan Area (UMA), Gustami Harahap, dalam sebuah pemberitaan menyatakan wacana untuk membuat negara ini mandiri dalam pangan memang ada. "Tapi, wacana itu tidak seheboh wacananya,'' katanya dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Asosiasi Planter Indonesia (API), akhir Mei silam.

Fakta yang tak kalah memiriskan, akan terlihat kemudian mengacu pada data ketersediaan pangan yang dilansir Badan Pusat Statistik. Data yang dikumpulkan lembaga ini tercatat dalam kurun waktu Januari hingga November 2013, Pemerintah Indonesia tercatat mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai 8,6 miliar dolar Amerika Serikat. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian bahan pangan yang diimpor Indonesia itu sebenarnya dapat dihasilkan di negeri sendiri, seperti kentang, teh, cengkih, jagung, hingga beras.

Terkait soal ini (lihat wawancara halaman 19), pakar demografi FE UI Sonny Harry B Harmadi mengatakan, di satu sisi, Indonesia memang butuh peningkatan produksi pangan nasional dengan tuntutan kualitas pangan yang lebih baik. Namun di sisi lain, konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian juga meningkat dengan cepat karena kebutuhan lahan untuk perumahan dan aktivitas ekonomi nonpertanian.

''Jadi ke depan, sudah pasti, jumlah penduduk yang semakin besar membutuhkan ketersediaan lahan untuk tempat tinggal dalam jumlah yang besar pula. Belum lagi pengembangan bioenergi yang menghasilkan persaingan antara penggunaan lahan untuk kebutuhan pangan dan energi. Inilah persoalan kita hari ini,'' ujarnya.

                                                                  *****

Lalu, bagaimana menyelesaikannya? Adanya pertumbuhan penduduk dunia yang pesat, khususnya Indonesia yang penduduknya bertambah empat juta orang per tahun, butuh solusi besar. Sonny kembali  menegaskan memang mau tidak mau pertumbuhan penduduk harus dikendalikan. Selain itu, juga harus ada usaha percetakan lahan pertanian yang cukup dan juga intensifikasi tanaman pangan secara masif.

''Tapi, ini tak mudah. Untuk mencetak lahan sawah, ternyata tak semudah membalikkan tangan. Sebab, semua ini selain harus ada dukungan program serius, ini juga butuh waktu karena ini terkait dengan budaya masyarakat,'' kata Sonny.

Nah, terkait solusi masalah ini, Jonathan Foley punya beberapa kiat yang bisa diambil untuk mengamankan ketersediaan pangan. Beberapa hal itu di antaranya adalah meningkatan hasil panen dengan menggunakan varietas tanaman yang lebih baik, ketersediaan pupuk dan pengairan yang memadai, dan penggunaan mesin-mesin untuk pertanian. Selain itu, perlu dilakukan penggunaan sumber daya alam secara memadai ketika mengolah lahan, seperti menggunakan teknologi pertanian organik dan mengurangi penggunaan air serta zat kimia secara berlebihan.

Namun, yang paling penting lagi, pihak manusia yang kini jumlah semakin banyak itu berani melakukan perubahan secara internal. Ini, misalnya, dengan mengubah pola makan sehingga penggunaan sumber daya tanaman pangan bisa dihemat. Selain itu, manusia pada masa datang harus pula bersedia mengurangi konsumsi makanan yang sebetulnya punya sifat mubazir.

Alhasil, dengan kata yang sederhana, manusia ke depan haruslah semakin bijak memberlakukan alam. Dunia ini tak akan cukup bila manusia yang menjadi penghuninya hidup dalam kerakusan!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement