Oleh: Harun Husein -- Di tengah gegap gempita penye leng garaan pesta demokrasi di Indo ne sia, baik pemilu legis la tif maupun pemilu pre siden, ada sebuah infor masi yang ketlingsut tak terperha tikan. Sebab, di tengah kemeriahan per helatan itu, demokrasi di Indonesia justru meng alami penurunan.
Freedom House, dalam laporan tahunan terbarunya, Freedom in the World 2014 —yang merefleksikan kondisi tahun 2013, atau setahun sebelum pemilu—, menya takan Indonesia bukan lagi negara bebas (free), tapi sudah terpelanting menjadi ne gara separuh bebas (partly free). Pe nyebabnya adalah pemberlakuan Un dang-Undang Ormas.
"Rating kebebasan sipil di Indonesia terpuruk dari 3 menjadi 4, dan statusnya menurun dari negara bebas menjadi negara separuh bebas, menyusul diadopsinya undang-undang yang merestriksi ak tivitas organisasi nonpemerintah dan meningkatnya pengawasan birokrasi terhadap ormas-ormas tersebut," demi kian antara lain yang tertulis dalam la poran Freedom in the World 2014.
Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang pernah merasakan semua status yang diberikan oleh Free dom House, sejak lembaga yang berbasis di Amerika itu melakukan riset pada awal 1970-an. Indonesia pernah menjadi negara bebas, negara separuh bebas, maupun negara tidak bebas.
Dalam riset yang berlangsung selama empat dekade itu, Indonesia paling ba nyak mengalami penilaian sebagai negara separuh bebas. Status ini terakhir di sandang Indonesia pada tahun 2004. Pada tahun 2005, Indonesia untuk pertama kalinya berhasil keluar, dan menjadi negara bebas. Status baru Indonesia sebagai negara bebas itu, tertuang dalam laporan Freedom in the World 2006.
Apa pasal Indonesia bisa melompat ? Menurut catatan Freedom House, penye babnya adalah Indo nesia sukses mengge lar pemilu presiden secara langsung pada 2004, dan telah selesainya konflik de ngan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kedua peristiwa ini menaikkan skor hak politik dan kebebasan sipil Indonesia.
Delapan tahun status negara bebas itu disandang Indonesia, tanpa pergerakan sama sekali. Selama delapan tahun itu pu la, skor hak politik Indonesia selalu dua, sedangkan kebebasan sipilnya tiga. Sampai kemudian berubah pada tahun 2013.
Apakah penyelenggara pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun ini akan ber pengaruh terhadap status In donesia? Kita baru akan mendapatkan jawabannya se tahun lagi, ketika Freedom House merilis laporan Freedom in the World 2015.
Paling demokratis
Penurunan indeks kebebasan Indo nesia dalam laporan Freedom House, itu, akan benar-benar menjadi turbulensi jika lembaga pemeringkat kredibel lainnya, Economist Intelligence Unit (EIU), juga menurunkan indeks demokrasi Indonesia. Hingga pertengahan tahun ini, lembaga riset di bawah grup the Economist itu, be lum merilis laporan tahunannya, sehingga hasil riset terbarunya belum bisa diakses.
Pada laporan indeks demokrasi 2012, yang dirilis Economist pada Maret 2013 lalu, terlihat ada peningkatan signifikan peringkat dan skor Indonesia. Indonesia naik ke peringkat ke-53 dari 165 negara dan dua wilayah teroritorial yang diriset Economist, dengan skor total 6,76. Pering kat dan skor ini merupakan yang ter tinggi yang pernah diraih Indonesia sepanjang Economist meluncurkan indeks demokrasi. Economist telah lima kali memublikasikan riset indeks demokrasi (lihat tabel).
Kendati terjadi kenaikan skor, Eco nomist tetap menempatkan Indonesia dalam kelompok negaranegara dengan demokratis bercacat (flawed democracy). Economist memberi status demokrasi penuh (full democracy) kepada sebuah negara, jika skornya mencapai delapan.
Tapi, peristiwa politik apa yang me nyebabkan posisi Indonesia naik? Sayangnya, tak ada penjelasan dalam laporan ber tajuk Democracy at A Stand still, itu. Penyebab naiknya posisi Indo nesia itu hanya terbaca pada peningkatan skor di dua dari lima item penilaian, yaitu partisipasi politik dan kebebasan sipil. Sedangkan, untuk tiga item lainnya, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerin tahan, dan kultur politik, masih mandeg.
Apapun alasannya, yang jelas, naiknya peringkat dan skor, membuat Indo nesia akhirnya menjadi negara Muslim pa ling demokratis dibanding negara-ne gara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) lainnya. Sekadar catatan, dari 57 negara anggota OKI, hanya 54 negara yang masuk riset Economist. Tiga negara lain nya, yaitu Brunei Darussalam, Maldives/ Maladewa, dan Somalia, tidak termasuk.
Pada riset tahun-tahun sebelumnya, Indonesia masih merupakan negara Mus lim paling demokratis nomor dua di antara negara-negara anggota OKI. Posisi Indo nesia kalah dari Suriname yang menempati posisi ke- 54. Pada riset tahun 2012, Suriname —satu dari dua negara di benua Amerika yang masuk anggota OKI, ber sama Guyana— terpuruk di posisi ke-56.
Kini, Suriname yang menjadi negara Muslim paling demokratis nomor dua, berganti posisi dengan Indonesia. Pering kat berikutnya ditempati Malaysia, ranking ke-64: Senegal, ranking ke-74; Guyana, ranking ke-76; Benin, ranking ke-79; dan Turki, ranking ke-88.