Senin 21 Jul 2014 15:30 WIB

Apa Urusannya Koalisi di Sistem Presidensial?

Red:

Oleh: Nurul S Hamami -- Siapa pun paham, pemerin tahan periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 2009-2014, dapat dikatakan sangat kuat. Selain disangga partai yang didirikannya, Demokrat, yang menguasai kursi par lemen, dia juga didukung oleh lima partai yang bergabung dalam koalisi bentu kannya yakni Golkar, PKS, PAN, PKB, dan PPP. Kelimanya pun mendapat jatah kursi di kabinet.

SBY tampak merasa perlu membentuk koalisi untuk mengamankan jalannya pemerintahan hingga 2014. Meski tampil sebagai pemenang pemilu, SBY tak yakin benar Demokrat mampu memainkan do mi nasinya di DPR sebagai pengawas pe merintah. Apalagi masih ada dua ke kuat an besar, Golkar dan PDI Perjuangan. Dengan merapatnya Golkar ke dalam koalisi, harapan akan mulusnya perja lanan pemerintahan SBY semakin besar. Terlebih PKS yang awalnya alot saat ditawari untuk bergabung, akhirnya ikut pula ke dalam koalisi.Bagaimanapun kedua partai ini memiliki kursi yang lumayan besar di parlemen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto: Yogi Ardhi / Republika

Dalam perjalanannya, justru kedua partai tersebut yang "merepotkan" SBY karena berbeda sikap dalam melihat suatu persoalan di DPR. Contohnya ada lah ketika Golkar dan PKS tidak berada di dalam barisan yang sama dengan koa lisi pemerintahan saat voting hak ang ket Bank Century dan kasus mafia pajak.

"Persoalan dalam pemerintahan kita memang diperlukannya koalisi untuk mendukung pemerintah. Tapi, partaipartai sebenarnya memiliki kepentingan masing-masing. Inilah yang dihadapi SBY dalam menghadapi koalisi bentukannya setelah terpilih menjadi presiden," kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, kepada Re publika, Kamis (17/7). Maswadi mengacu pada perbedaan pandangan partai-partai anggota koalisi pemerintahan SBYBoediono dalam menyikapi persoalanpersoalan di DPR.

Dengan masih adanya kepentingan masing-masing partai, Maswadi mem perkirakan koalisi Merah Putih yang di bikin permanen untuk mendukung Pra bowo-Hatta Rajasa akan mengalami nasib yang sama dengan koalisi peme rin tahan di era SBY. Sebagaimana diketahui, Koalisi Merah Putih mendeklarasikan koalisi permanen mereka pada Senin (14/7) lalu, meskipun hasil pilpres sebe narnya belum diumumkan oleh Komisi Pe milihan Umum (KPU). Koalisi ini berisikan Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS, PBB, dan Demokrat.

"Ini (memermanenkan koalisi, —Red.) merupakan cara mereka untuk mela kukan penguatan menjelang pengumum an pemenang pilpres pada 22 Juli. Mereka perlu menunjukkan sikap kompaknya di depan publik. Maka dilakukanlah dekla rasi koalisi permanen," jelas Maswadi. "Kenyataannya hanya lips service saja, tidak dalam bentuk sungguh-sungguh untuk berkoalisi," tambahnya.

Koalisi dibutuhkan

Dalam sistem pemerintahan presi densial yang dianut Indonesia, sebenar nya presiden tak memerlukan koalisi. Berbeda dengan sistem parlementer, da lam sistem presidensial seorang presiden tak dapat dijatuhkan oleh parlemen. Pengecualian bila presiden dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan tindakan pidana.

Dengan kata lain, semestinya presiden dapat menjalankan pemerintahannya sendiri sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dia juga memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet tanpa perlu pusing memikirkan keingin an-keinginan partai politik.

Namun, kenyataannya presiden tetap memerlukan koalisi, maka dibentuklah permufakatan partai-partai politik yang menopang pemerintahannya. Pemben tukan koalisi ini pastilah dimaksudkan untuk proses-proses pengambilan kepu tusan di parlemen. Koalisi diper lu kan untuk meloloskan kebijakan-kebi jakan yang dijalankan oleh pemerintah.

Dugaannya, tanpa koalisi di parlemen, besar kemungkinan kebijakan-kebijakan pamerintah dijegal oleh partai-partai yang menjadi lawan politik presiden dan partai utama pengusungnya. Demi kepentingan itulah agaknya presiden merasa perlu menggandeng partai-partai yang memiliki kursi di DPR ke dalam sebuah koalisi yang dia pimpin.

Dengan berhasil menggandeng Golkar serta empat partai tengah yakni PKS, PAN, PKB, dan PPP, upaya SBY pada waktu 2009 untuk mengamankan kebi jak annya dalam proses pengambilan ke putusan di parlemen sebenarnya dapat dibilang sudah aman. Kursi Demokrat di DPR ditambah kelima partai tersebut sudah melebihi 50+1 sehingga menjadi suara mayoritas di Senayan.

Direktur Pusat Kajian Politik (Pus kapol) FISIP UI, Sri Budi Eko Wardani, kepada Republika mengatakan koalisi dalam sistem presidensial di Indonesia dibutuhkan karena pencalonan presiden membutuhkan syarat dukungan minimal 20 persen suara partai secara nasional. "Pasangan capres dan cawapres dicalon kan oleh partai dan atau gabungan partai, sehingga konsekuensinya ada kerja sama antarpartai dalam mencalonkan pres i den," ujarnya.

Kedua, lanjut Wardani, koalisi diper lukan terkait relasi DPR dan presiden. Dua institusi politik formal ini samasama strategis dalam perumusan undangundang, karena DPR dan presiden ber sama-sama melakukan pembahasan un dang-undang. "Presiden bisa mengajukan RUU pada DPR. Presiden juga membu tuhkan kekuatan kursi untuk mendukung kebijakannya," katanya.

"Namun, koalisi dalam sistem presi densial kita bukan koalisi untuk mem bentuk pemerintahan seperti dalam sistem parlementer. Ini karena sumber kekuasaan presiden berasal dari rakyat melalui pilpres langsung," jelas pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI ini.

Terkait terbukanya perbedaan sikap di antara partai-partai anggota koalisi pemerintahan seperti yang terjadi di zaman pemerintahan SBY-Boediono, Wardani mengatakan karena koalisi tidak dibangun atas dasar kesamaan visi kebi jakan yang hendak dicapai oleh koalisi yang dibentuk.

"Koalisi dibentuk dengan tujuan me menangkan mayoritas dukungan di DPR. Namun, ketika ada kepentingan yang be da maka bisa dengan mudah partai-partai koalisi berbeda sikap," kata Wardani.

Celah beda pendapat

Persoalan penting dalam koalisi partai pendukung pemerintahan di sistem pre sidensial salah satunya terletak pada terbukanya ruang bagi demokrasi. Arti nya, masih ada celah untuk berbeda pendapat. Bila hal itu berjalan mulus, maka kelanggengan koalisi akan berumur panjang. Sebaliknya, jika terjadi per bedaan yang tak dapat dikompromikan lagi maka dipastikan koalisi akan kehi langan satu atau lebih kaki penopangnya. Bahkan, koalisi bisa saja bubar.

Dalam awal kontrak koalisi perlu ditegaskan mengenai tetap terbukanya ruang demokrasi bagi koalisi termasuk dalam pembahasan APBN, proses legis lasi, dan pengawasan. Perbedaan pen dapat masih dimungkinkan, namun bisa saja disepakati akan ada sanksi bagi par tai yang tetap berbeda meskipun su dah coba diselesaikan dalam tingkat koalisi "Celah untuk beda pendapat itu pasti ada. Karena, keputusan koalisi biasanya diputuskan oleh ketua umum atau sekelompok elite pimpinan partai saja. Selain itu koalisi presidensial juga bia sanya bersifat longgar, disiplin lemah, dan sanksi yang lemah," jelas Wardani.

Meskipun ruang bagi demokrasi tetap dibuka, namun dapat dikatakan itu me rupakan demokrasi semu. Percuma saja diberikan keleluasaan dalam me mandang sebuah persoalan, namun keluaran akhirnya harus tetap sama dengan suara koalisi. Ini sama saja dengan mengebiri demokrasi itu sendiri.

Padahal, partai-partai anggota koalisi memiliki basis pendukung yang berbeda. Dalam banyak hal mereka tentu berkepentingan untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya. Terlebih bila aspirasi itu berbeda dengan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Partaipartai koalisi perlu menerima aspirasi massanya kalau tak ingin ditinggalkan pendukungnya. Dalam konteks inilah perbedaan akan tetap mengancam koalisi pascapenandatanganan kontrak koalisi.

Ketiadaan kesamaan platform partai menjadi titik krusial dalam menyamakan pendapat saat menyikapi sebuah masalah. Partai-partai tentunya memiliki landasan berpijak yang berbeda tentang dari mana dan ke arah mana tujuan yang akan dicapai partai. Ini terkait dengan visi, misi, program, dan sikap partai terhadap berbagai persoalan bangsa.

Koalisi yang dibangun partai-partai biasanya lebih didasari kesamaan kepen tingan untuk berkuasa, bukan karena kesamaan platform. Hal itu hanya dapat mereka peroleh bila bergabung dengan presiden terpilih untuk menjadi koalisi partai pendukung pemerintah. Kesamaan platform menjadi nomor dua, yang pertama adalah mendapatkan dulu jatah kekuasaan yang riilnya berupa kursi menteri di kabinet.

Dengan platform partai yang berbeda itulah besar kemungkinan perbedaan pendapat di antara partai anggota koalisi juga terbuka lebar. Dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa yang terkait dengan agama, misalnya, perbedaan ter sebut diperkirakan akan berbeda antara partai nasionalis dan partai yang ber sandarkan agama sebagai asas partainya.

Menyinggung tentang koalisi Merah Putih yang dipermanenkan, Wardani menjelaskan bahwa intinya koalisi bisa diikat oleh dua hal. Pertama, kepentingan akumulasi kekuasaan atau office seeking.

Kedua, kepentingan mendorong kebi jakan tertentu atau policy seeking. "Koalisi pendukung Prabowo-Hatta tampaknya bertujuan yang pertama, untuk menguasai pengambilan keputusan di DPR. Misalnya merebut pimpinan DPR atau posisi-posisi strategis di DPR," kata Wardani.

Menurut dia, belum terlihat pada pen deklarasian tersebut yakni arah kebijakan apa yang akan didorong oleh koalisi tersebut yang mengikat dan disepakati semua anggota koalisi. Koalisi dalam sistem presidensial memang sebuah keniscayaan. Tapi, ti daklah bersifat permanen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement