Senin 25 Aug 2014 13:32 WIB

Lupakan Panglima Tertinggi!

Red: operator

Oleh Selamat Ginting -- Istilah panglima tertinggi justru membuat rancu kekuasaan presiden terhadap organisasi tentara.

Agustus 1959. Jenderal Abdul Haris Nasution memiliki gagasan untuk mengintegrasikan tentara ke bawah satu komando. Gagasannya bersamaan dengan operasi penumpasan terhadap PRRI/Permesta di sejumlah daerah. Ide ini terus berlanjut saat tentara mempersiapkan diri untuk operasi pembebasan Irian Barat pada 1961.

Gagasan Nasution mendapatkan dukungan dari Perdana Menteri Djuanda. Namun, keinginan Nasution dan Djuanda dinilai Presiden Soekarno sebagai sebuah ancaman bagi rencana politiknya, terutama setelah Angkatan Darat terlihat semakin solid dan berhasil me numpas PRRI/Permesta.

Ketika Nasution sibuk mempersiapkan integrasi tentara yang dilaksanakan oleh panitia yang dipimpin Mayjen Hidayat, Presiden Soekarno diam-diam bekerja pula menyiapkan integrasi Angkatan Bersenjata versi dirinya, termasuk memasukkan kepolisian ke dalam wadah ABRI bersama Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:wordprees

Manuver politik yang diperlihatkan Soekarno kepada Nasution adalah memperlihatkan simpati terhadap upaya jenderal senior tersebut. Namun, Presiden Soekarno tidak ingin kekuatan bersenjata berada di bawah kontrol Nasution.

Ia khawatir terhadap kewibawaan Nasution di kalangan militer Indonesia setelah wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman.Bung Karno pun memengaruhi Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan kepolisian. Ia tidak berani memengaruhi Angkatan Darat karena ada Nasution yang dihormati matranya. Namun, rencana Soekarno itu ditolak Kepala Kepolisian Negara Jenderal Polisi Soekanto.

 Soekanto pun meletakkan jabatannya karena tidak setuju polisi diintegrasikan ke dalam ABRI bersama Angkatan Perang.

Soekarno malah senang dengan pengunduran diri Soekanto karena akan lebih mudah menguasai kepolisian. Ia pun mendapatkan dukungan dari perwira-perwira muda polisi lainnya. Bung Karno pun memengaruhi pimpinan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan kepolisian un tuk menolak berada di bawah pim pinan Jenderal Nasution, khususnya serta Angkatan Darat, umumnya.

Cara sabotase terhadap Nasution itu kemudian mendapatkan dukungan dari Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU)

yang membuat pernyataan tertulis. "...bahwa Angkatan Udara Republik Indone sia (AURI) tidak bisa di bawah panglima dari angkatan lain. AURI hanya bersedia di bawah Presiden," seperti yang ter tulis dalam buku AH Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, bagian kelima, halaman 362.

Lima bintang presiden Nasution akhirnya menyadari bahwa gagasannya disabotase Presiden Soekarno. Padahal, dalam gagasannya itu ia akan tetap menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan merangkap sebagai Pang lima ABRI (Pangab). Padahal rencana awalnya, Nasution akan menyerahkan kontrol atas Angkatan Darat kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani pada Juni 1962.

Beberapa hari sebelum serah terima jabatan dari Nasution kepada Ahmad Yani, Presiden Soekarno sudah membatal kan rencana integrasi versi Nasution.

Ia sudah lebih dahulu membuat susunan komando ABRI. Presiden sebagai Panglima Tertinggi dengan kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI), langsung membawahkan Panglima AD, AL, AU, dan Angkatan Kepolisian (AK).

Dengan demikian, jabatan yang diberikan kepada Jenderal Nasution bukan Panglima ABRI, melainkan Kepala Staf ABRI (KSAB) yang tidak memiliki wewenang komando. Bahkan Soekarno kembali mengusulkan adanya jabatan panglima besar (pangsar) yang sebelumnya telah dihapus, setelah Jenderal Soe dirman wafat pada 1950. Maka, jadilah Soekarno sebagai Pangsar ABRI.

Nasution pun diberikan jabatan tambahan Wakil Pangsar ABRI.Soekarno pun mulai mengunakan atribut kemiliteran dengan lima bintang di pundaknya, seperti pangkat jenderal besar, laksamana besar, atau marsekal besar. Lengkap dengan tongkat komando dan tanda jasa lainnya.

Ia pun ingin menunjukkan kewibawaannya saat memimpin upacara pelantikan perwira remaja lulusan Akademi Militer Nasional di Magelang dan Akademi Militer Nasional Jurusan Teknik (Akmil Jurtek) di Bandung dalam sebuah upacara pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Di situ ia mengumandangkan Tiga Komando Rakyat atau dikenal sebagai Trikora untuk membebaskan Irian Barat.

Soekarno pun mendaulat dirinya sebagai pemimpin perang modern terhadap Belanda. Ia seperti ingin menebus kesalahannya di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

Saat itu, sebagai pemimpin sipil, Soekarno mengibarkan bendera putih di depan Gedung Agung Yogyakarta, tanda menyerah kepada tentara kolonial Belanda. Saat itu merupakan hari pertama agresi militer kedua Belanda di Indonesia.

Tindakan Soekarno itu disesalkan Panglima Besar Jenderal Soedirman.Soedirman terus melanjutkan perjuangan bersenjata dengan cara bergerilya, walau dalam kondisi hanya memiliki paru-paru sebelah. Di situ tentara kecewa terhadap kepemimpinan sipil.

Padahal sebelumnya, baik Soekarno maupun Hatta, menyatakan akan memimpin perang gerilya melawan Belanda.

Alat kekuasaan Cara Soekarno pada 19 Desember 1961 tentu saja menebus dosa yang pernah dilakukannya pa da 19 Desember 1948.

Manuvernya sebagai pangsar sekaligus secara legal menguasai ABRI. Dengan begitu, dalam era Demokrasi Ter pimpin itu, Soekarno merasa bisa menjadikan ABRI bukan hanya sebagai alat pemeintah, melain kan juga sebagai alat kekuasaannya.

Posisi Presiden Soekarno sebagai pangti dan kemudian ditambah lagi dengan jabatan Pang sar KOTI un tuk mengontrol ABRI, justru membuat Soekarno terlena.

Hal itu kemudian kembali dimanfaatkan saat Jenderal Soeharto menjadi presiden.Kemudian pada 1969, Soeharto membuat reorganisasi ABRI dengan menghapus istilah panglima angkatan. Ia mengeng in tegrasikan ABRI dengan jabatan puncak adalah panglima ABRI. Adapun matra kembali dipimpin oleh KSAD, KSAL, dan KSAU serta Kepala Polri yang tetap tergabung dalam wadah ABRI.

Setelah pensiun sebagai jenderal aktif pada 1976, Soeharto pun tetap mengguna kan posisinya sebagai Pangti ABRI. Lewat posisinya sebagai Pangti ABRI, ia masuk ke dalam organisasi tentara dan menggunakan tentara sebagai alat ke kuasaannya. Ini yang kemudian membuat posisi TNI menjadi terpuruk karena TNI menjadi bagian dari alat kekuasaan.

Maka, tidak heran pada saat Orde Baru, tentara malah dianggap sebagai musuh rakyat karena bertindak brutal dalam beberapa peristiwa untuk memper tahan kan kekuasaan Presiden sebagai Pangti ABRI. Padahal sesungguhnya, istilah panglima tertinggi (pangti) itu tidak ada dalam UUD 1945.

Mengenai kekuasaan atas militer, konstitusi telah mengatur dan membatasinya melalui pasal 10, 11, dan 12 yang harus dilihat sebagai satu kesatuan.

Esen sinya adalah, presiden memegang kekua saan tertinggi atas Angkatan darat, Ang katan Laut, dan Angkatan Udara, terkait dengan posisinya sebagai kepala negara yang memiliki wewenang mengumumkan perang, membuat per damaian, dan per jan jian dengan negara lain. Hal ini pun harus mendapatkan persetujuan dari parlemen. Jadi, lupakanlah panglima tertinggi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement