Oleh: Nurul S Hamami(Wartawan Republika) -- Dalam situasi tertentu hubungan organisasi masyarakat sipil dan partai politik bisa sangat dekat, saling mendukung, dan bahkan tak ter pisahkan.
Partai politik dan masyarakat sipil harus diakui memainkan peran strategis dalam proses demokratisasi politik di Indonesia sejak ber akhirnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998. Parpol sebagai institusi politik formal gerak lakunya sangat di perlukan dan sudah berjalan sebagai in dikator keberlangsungan demokrasi. Di sisi lain, masyarakat sipil ikut menentukan keseriusan komitmen terhadap demokrasi secara substantif.
Tak dapat disangkal, hubungan antara institusi politik formal dan masyarakat sipil dapat digambarkan sebagai hubungan yang dinamis, kadang harmonis namun di lain waktu juga menga lami ketegangan. Oleh karenanya, bila disepakati bahwa institusi politik formal dan masyarakat sipil memiliki kedudukan dan fungsi strategis dalam menjamin terselenggaranya demokrasi substantif, maka upaya-upaya penguatan tidak da pat dilakukan hanya dengan memerhatikan salah satu dan abai dengan yang lain.
Persoalannya kemudian, bagaimana memformulasikan bentuk konkret sinergi masyarakat sipil dan partai politik untuk upaya pencapaian demokrasi yang sub stantif? Inilah yang coba dijawab dalam Konfrensi Nasional Ilmu Politik yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, 25-26 Agustus lalu.
Working paper yang disusun oleh Tim Kajian Departemen Ilmu Politik FISIP UI memaparkan, ruang perpolitikan yang terbuka setelah jatuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru bergeliat dengan sangat dinamis. Berbagai perubahan terjadi, baik yang diharapkan maupun yang tidak. Ratusan partai politik dan orga nisasi berbasis masyarakat tumbuh se perti jamur. Mereka menjadi aktor-aktor baru dalam arena perpolitikan.
Tim Kajian terdiri dari para pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI. Mereka yakni Anna Margret, Panji Anugrah, Nuri Soeseno, Sri Budi Eko Wardani, dan Riaty Raffiudin yang mempresentasikan working paper tersebut.
Lebih lanjut Tim Kajian menyebutkan, demokratisasi memberikan optimisme besar bahwa para pelaku dan pegiat politik yang baru bisa membawa perubahan bagi masyarakat dan memberikan solusi-solusi baru bagi perma salahan yang ada di masyarakat. Partai politik dan berbagai kelompok yang berbasiskan masyarakat menjadi aktor politik yang penting di dalam arena per politikan yang kini lebih terbuka.
Peran serta, keterlibatan, dan hubungan di antara kedua aktor sosial politik dalam proses perubahan yang terjadi didalam masyarakat menentukan perkembangan demokratisasi yang sedang berjalan. Alfred Stepan, seorang ilmu wan politik, dengan jelas menyatakan transisi menuju demokrasi haruslah melibatkan partai politik dan masyarakat sipil.
Partai politik yang sehat dan sistem kepartaian yang efektif sangat diperlukan agar demokrasi dapat terlaksana. Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dalam konfrensi mengenai demokrasi oleh the Westminster Foundation for Democracy (WFD) menyatakan bahwa strategistrategi pembangunan dan peng konso lidasian demokrasi yang mengabaikan peran sentral partai politik tidak akan berhasil –betapapun besarnya perhatian yang diberikan pada hal-hal lain seperti membangun masyarakat sipil dan lembaga-lembaga good governance.
Sementara itu, sebagaimana dijelaskan dalam working paper tersebut, sejumlah ilmuwan dan teoretisi demokrasi memandang bahwa masyarakat sipil, meskipun bukan jaminan bagi demokrasi, tidak dapat diabaikan ketika membahas demokratisasi dan demokrasi. Dalam kepustakaan demokrasi, masyarakat sipil tidak hanya dipergunakan untuk menjelaskan liberalisasi politik dan transisi demokrasi, tapi juga telah ditingkatkan sebagai sebuah prakondisi bagi konso lidasi demokrasi (Alagappa 2014: 41).
Tim Kajian mengulas pula bahwasannya berbagai faktor memengaruhi bentuk hubungan antara partai politik dan organisasi masyrakat sipil. Dalam situasi tertentu hubungan organisasi masyarakat sipil dan partai politik bisa sangat dekat, saling mendukung, dan bahkan tak terpisahkan. Organisasi masyarakat sipil, misalnya, bisa mendukung partai politik dalam perjuangan menjatuhkan pemerintahan yang totaliter. Selain itu, pemimpin organisasi masyarakat sipil bisa menjadi kandidat partai politik dalam sebuah pemilihan. Lalu, tak dapat di mungkiri banyak partai politik terbentuk dari organisasi masyarakat sipil.
Namun, dalam siatuasi lain, hubungan di antara keduanya bisa sangat buruk, penuh konflik dan sangat diwarnai oleh ketidakpercayaan dan kecurigaan. Hu bungan di antara kedua aktor politik ter sebut bisa berubah pada masa transisi dan pascatransisi. Hubungan dan kerja sama keduanya yang saling mendukung pada masa transisi berubah menjadi pe nuh kecurigaan dan berkonflik setelah transisi selesai di negara-negara demokrasi baru.
Tantangan dan peluang
Sulit dinafikan, tantangan terbesar untuk membangun sinergi antara ma syarakat sipil dan institusi politik formal di Indonesia, sebagian bersumber dari masyarakat sipil sendiri. Tim Kajian menyebut dari sisi partai politik, tantangan terbesar selama 16 tahun reformasi adalah menguatnya gejala oligarki partai di tingkat nasional maupun lokal. Fenomena oligarki partai ini ditunjukkan dengan kuatnya kecenderungan personi fikasi/personalisasi partai bahkan pem bajakan partai oleh elite-elite pemilik modal cum politisi.
Di tingkat nasional, partai politik menyandarkan dirinya pada figur-figur kuat pemilik modal, elite populer dan kharismatis, atau elite-elite lama yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari Orde Baru. Di tingkat lokal, konfigurasi elite partai merupakan replikasi dari yang terjadi di tingkat nasional. Orang-orang kuat lokal memiliki akses sangat terbuka untuk menduduki posisiposisi strategis pengendali partai.
Karakter oligarkis partai politik pada gilirannya lebih memperkuat karakter partai yang hanya berfokus pada upaya pencarian jabatan-jabatan politik (officeseeker), dan mengabaikan fungsi-fungsi mendasar lainnya seperti artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik, komunikasi dan pendidikan politik.
Menurut Tim Kajian, salah satu persoalan kepartaian saat ini adalah sulitnya partai membangun sistem rekrutmen politik yang baik. Partai menjadi sangat tergantung pada para oligark, figur kharismatis, dan para kandidat yang membiayai dirinya sendiri. Demikian juga dalam hal artikulasi dan agregasi kepentingan, partai mengalami keter batasan untuk menyerap aspirasi publik. Dalam aspek artikulasi dan agregasi kepentingan, kehidupan demokrasi In donesia diuntungkan dengan masyarakat sipil yang bebas dan bergeliat.
Pada aspek komunikasi dan pen didik an politik, dalam working paper tersebut dikatakan peran partai politik masih dirasakan minim. Mereka nyaris hanya terlibat dalam upaya-upaya terbatas di masa pemilihan umum. Kondisi ini relatif terbantu dengan keterbukaan pers dan terbukanya media sosial yang turut mengundang partai politik untuk ber komunikais dengan publik.
Di sisi masyarakat sipil, sebut Tim Kajian, tantangan yang dihadapi tidak kalah kompleksnya. Secara umum masyarakat sipil di Indonesia memiliki agenda dan isu yang sangat terfrag mentasi, pendekatan/metode gerakan yang berbeda, serta orientasi dan kecenderungan ideologi yang beragam.
Lebih dari itu, masyarakat sipil tidak memiliki agenda bersama untuk mem bangun sinergi dengan institusi politik formal. Tantangan membangun sinergi di antara kedua sektor ini sedikit banyak bersumber dari rendahnya kesalingper cayaan satau sama lain.
Namun, perkembangan 16 tahun demokratisasi tidak sepenuhnya berisi pesimisme dalam konteks sinergi kedua sektor. Berbagai kondisi empiris menun jukkan peluang yang cukup terbuka bagi upaya membangun sinergi antara masya rakat sipil dan institusi politik formal. Transformasi para aktivis masyarakat sipil ke dalam partai politik memberikan harapan bagi lahirnya aktor-aktor kritis dalam tubuh partai. Aktor-aktor ini di harapkan memainkan peran untuk me nyuntikkan dan mendiseminasikan gagasan reformasi kepartaian. Kendati tidak sepenuhnya berhasil, arus masuk para aktivis masyarakat sipil ke dalam partai politik menunjukkan kesadaran akan pentingnya partai politik sebagai pemegang akses formal kebijakan.
Peluang berikutnya muncul dari partai politik. Dalam isu-isu tertentu, terutama yang tidak secara langsung berpengaruh terjadap kepentingan elite partai, menurut Tim Kajian, partai politik merespons secara positif tuntutan dan tekanan dari masyaralat sipil. BPJS, afirmatif untuk pencalonan perempuan, lingkungan, kewarganegaraan, menjadi contoh respons partai politik untuk mengadopsi desakan masyarakat sipil.
Peluang lainnya yang cukup terbuka adalah adanya hubungan yang saling membutuhkan antara partai politik dan masyarakat sipil. Dari sisi partai politik, mereka membutuhkan basis massa di tengah kompetisi antarpartai yang semakin ketat. Sementara, masyarakat sipil membutuhkan partai politik untuk mem perjuangkan kepentingan yang diwa kilinya agar masuk dalam kebijakan.
Kondisi aktual yang cukup membuka ruang bagi dibangunnya sinergi kedua sektor, menurut working paper ini, adalah semakin berkembangnya diskursus publik untuk menghukum partai yang dipandang berkinerja buruk –misalnya terlibat dalam korupsi politik. Dengan kondisi seperti ini partai politik secara tidak langsung membutuhkan legitimasi sosial yang pada gilirannya dapat dikonversi menjadi legitimasi politik dalam bentuk dukungan elektoral.