Selasa 02 Sep 2014 16:30 WIB

Bahasa Identitas Bangsa Merdeka

Red:

Oleh: Muhammad Subarkah (Wartawan Republika) -- ''Bahasa menunjukkan bangsa!'' Pepatah klasik ini sudah jamak didengar. Publik pun mahfum bahwa bahasa mempunyai arti penting bagi sebuah kelompok masyarakat atau negara. Tanpa bahasa, tak mungkin ada komunikasi antarmereka. Tanpa bahasa, tak mungkin pula sebuah bangsa bisa mengekspresikan dirinya.

Pada sisi lain, pentingnya bahasa sebagai sebuah identitas kini nyata sangat jelas. Contoh paling konkret adalah peristiwa yang terjadi sekitar 12 tahun silam, saat Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia. Tak berapa lama setelah pernyataan kemerdekaan dengan menyatakan diri sebagai negara bernama Timor Leste, pada saat itu pula mereka menyatakan menetapkan bahasa Tetun sebagai bahasa nasional di samping bahasa Portugis dan Inggris.

Dengan kata lain, begitu Timor Leste merdeka, maka bahasa Indonesia yang selama ini mereka pakai sebagai bahasa resmi wilayah berbentuk provinsi di negara Indonesia itu mereka singkirkan jauh-jauh. Dalam pikiran mereka, bahasa Indonesia tak lagi menjadi ekspresi identitasnya sebagai sebuah negara merdeka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Yasin Habibi/Republika

Namun, sebenarnya jangan pula terlalu sedih ketika melihat kenyataan kemerdekaan Timor Leste dan tak lagi dipakai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi oleh negara jiran tersebut. Sebab, dahulu, pada paruh pertengahan pertama abad ke-20, tepatnya pada 28 Oktober 1929, hal yang sama juga dilakukan oleh para pemuda pejuang Indonesia. Meski datang dari latar belakang suku, wilayah, agama, maupun ras—bahkan banyak di antaranya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik—para pemuda terpelajar itu berani bersumpah bahwa mereka punya tanah, bangsa, dan menjunjung satu bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.

Dan sama dengan Timor Leste, selang tujuh belas tahun kemudian, yakni saat terjadinya proklamasi kemerdekaan yang disusul dengan pengesahan konstitusi negara, bahasa Indonesia resmi digunakan. Bahasa peninggalan penjajah Belanda dan Jepang juga dibuang jauh-jauh. Alasannya pun sama saja: hanya bahasa, yakni bahasa Indonesia, yang bisa menunjukkan identitas dan ekspresi sebuah bangsa yang merdeka!

Meski berarti sangat mendasar bagi identitas bangsa, kenyataan bahwa negara Indonesia punya sebuah bahasa nasional, selama ini kerap disepelekan. Bahkan, fungsi bahasa ini tenggelam atau tidak dihitung. Ini misalnya dengan munculnya polemik seputar empat pilar bangsa, di mana fungsi, peran, dan kedudukan negara tak lagi dianggap penting. Paling tidak, seolah dianggap tak sebanding dengan pilar negara yang lain seperti Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Untungnya, frasa "empat pilar" itu kemudian dibatalkan oleh putusan sidang Mahkamah Konstitusi karena memang pilar negara itu tak hanya sebatas empat hal tersebut.

''Jelas tak bisa disangkal bahwa bahasa Indonesia berperan utama dalam pembentukan bangsa. Kenyataan ini pun bisa ditelusuri lebih ke belakang dari kurun Sumpah Pemuda, yakni sejak tahun 1908, ketika Budi Oetomo berdiri. Bahasa Indonesia semenjak itu, selain digunakan untuk menggerakkan roda organisasi, juga mulai dipakai sebagai sarana untuk menggelorakan semangat meraih kemerdekaan negara. Setelah merdeka, melalui bahasa persatuan bangsa itu pun secara perlahan tapi pasti terus disolidkan hingga sekarang,'' kata pakar bahasa Dendy Sugono.

Dengan kata lain, lanjut Dendy, justru bahasa Indonesia telah eksis terlebih dahulu ketika sosok bangsa ini masih dalam impian atau imajinasi. ''Maka, dalam soal pembentukan bangsa dan negara ini jangan terbalik. Justru bahasa Indonesialah yang menjadi salah satu faktor bangsa ini terbentuk. Jadi, bukan negaranya Indonesia dulu yang ada, baru kemudian bahasanya. Itulah kenyataan dari sosok yang bernama bahasa Indonesia,'' tegasnya lagi.

Terkait soal hubungan bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda, dan pembentukan identitas sebuah negara, penyair terkemuka Sutardji Calzoum Bahri secara terbuka menyatakan bila semenjak dahulu fakta sudah sangat jelas menyatakan para penyair memberikan sumbangan besar dalam membina, mengeksplorasi, menciptakan, serta menumbuhkan bahasa Indonesia. Para penyair pra-Pujangga Baru dan Pujangga Baru seperti Amir Hamzah, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, dan JE Tatengkeng sangat mencintai bahasa Indonesia meski mereka mahir serta fasih berbahasa asing, misalnya bahasa Belanda. Mereka mengekspresikan kecintaan kepada bahasa Melayu itu—kelak menjadi bahasa Indonesia—dalam penulisan berbagai sajak dan karya sastra lainnya.

Menurut Sutardji, impian akan sebuah negara bernama Indonesia juga meninggalkan jejak sangat nyata pada sajak aktivis Konggres Pemuda II tahun 1928 serta sekaligus konseptor penulis naskah Sumpah Pemuda, yakni Mr Muhammad Yamin. Ekspresi kecintaan pada Indonesia oleh Yamin ditumpahkan secara total pada sajaknya yang juga diterbitkan pada tahun 1928: Indonesia Tumpah Darahku.

Duduk di pantai indah permai

Tempat gelombang pecah berderai

Tampaklah pulau di lautan hijau

Gunung-gunung bagus rupanya

Dilingkari air mulia tampaknya

Tanah tumpah darahku Indonesia namanya

Bukan hanya itu, Sutardji dengan yakin menyatakan teks Sumpah Pemuda, dengan imajinasinya, rima dan iramanya adalah sebuah teks puisi. Puisi besar ciptaan para pemuda dan pemudi Kongres Pemuda II yang kelak berdasarkan semangat dan imajinasi itu terciptalah bangsa dan negara Republik Indonesia. ''Jadi, semenjak awal, identitas bangsa ini dibina melalui bahasa. Dan lebih awal lagi, bahasa bangsa ini semenjak awal dibina dan diciptakan, dirawat, dan dijaga lewat puisi,'' ujarnya dalam sebuah pidato memperingati Hari Puisi di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Melihat kenyataan besarnya sumbangan bahasa tersebut, Sutardji menegaskan kini tinggal berpulang kepada para warga negaranya sejauh mana mereka menghormati, mengapresiasi karya mereka yang diekspresikan melalui bahasa Indonesia. ''Seberapa besar Anda mendengar adanya lembaga pendidikan, yayasan kebudayaan, universitas, akademi dan lain-lain semacamnya memakai nama Muhammad Yamin misalnya, atau memakai nama Amir Hamzah, Takdir Alisyahbana, atau WS Rendra. Mereka itu orang-orang besar dalam khazanah bahasa Indonesia,'' katanya menandaskan dengan penuh tekanan rasa keprihatinan.

                                                            ******

Selanjutnya, ketika tiba pada kenyataan hari ini ketika bahasa Indonesia sudah mampu menjadi penggerak dan sekaligus bingkai identitas bangsa serta telah eksis sebagai bahasa ilmu pengetahuan, beberapa hari sebelum ulang tahun kemerdekaan ada berita mengagetkan. Berbagai media massa mengabarkan bahwa Brunei Darussalam telah mengklaim 62 ribu kosakata bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa Melayu yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Melayu Nusantara (KBMN) yang diterbitkan pada tahun 2003.

''Ini sebuah kenyataan bahwa sebanyak 62 ribu kosa kata bahasa Indonesia diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia dan hanya 400 kosakata saja yang benar-benar merupakan bahasa Melayu. Mereka hanya mengganti kata pengantarnya saja," kata Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Prof Mahsun seusai memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa program pascasarjana Universitas Pertahanan di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Pendidikan Kebahasaan Sentul, Bogor, Jumat (8/8).

Untuk itu, sebagai bangsa yang punya harga diri, maka klaim Brunei ini harus segera diselesaikan. Sikap ini penting agar bangsa Indonesia bangga akan bahasanya. Sebab, bahasa memang menunjukkan bangsa! Apalagi saat ini masih dalam suasana peringatan kemerdekaan dan menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda. Merdeka!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement