Kamis 04 Sep 2014 12:00 WIB

Menyeret Israel ke Mahkamah Pidana Internasional

Red:

Fatou Bensouda, akhir nya bersuara. Wanita asal Gambia yang kini menjadi orang nomor satu di Mahkamah Pi dana Internasional (ICC) itu menegaskan, Palestina bisa menuntut Israel atas kejahatan pe rang yang dilakukannya di Gaza. Ka rena Palestina adalah sebuah negara. "Pada November 2012 lalu, sta tus Palestina ditingkatkan oleh Ma jelis Umum PBB menjadi "negara peninjau non-anggota (non-member observer state)" melalui resolusi 67/19. Kantor saya sudah memerik sa implikasi legalnya, dan menyim pulkan… Palestina sekarang bisa me ratifikasi Statuta Roma," tulis Bensouda di harian Inggris The Guardian, akhir Agustus lalu.

Tulisan Bensouda, Kepala Jaksa ICC, ini, menanggapi tudingan bah wa ICC selama ini menghindari meng investigasi Israel atas keja hatan perang di Gaza, karena tekan an politik negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan se jumlah negara Eropa seperti Inggris dan Prancis. Dia menegaskan ICC tidak menghindar karena tekanan itu. Selama ini, kata dia, persoalan menggantung, karena Statuta Roma yang menjadi pegangan ICC, pada Pasal 12 Ayat (3) menegaskan bahwa tuntutan hanya bisa diajukan oleh negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998.

Palestina, tulis Bensouda, telah berusaha mencari cara meratifikasi Statuta Roma sejak 2009 silam. ICC, kata Bensouda, selama tiga tahun mempertimbangkannya, karena banyak pula yang mendesak bahwa tujuan pendirian lembaga itu adalah untuk mengakhiri imunitas kejahat an massal. Namun, hingga April 2012 silam, tak kunjung bisa dipu tuskan. Ganjalannya adalah status Palestina di PBB yang hanya sebagai "entitas peninjau".

Namun, setelah PBB mening katkan status Palestina pada No vem ber 2012, dan terutama setelah dengan status itu Palestina menan datangani perjanjian dengan banyak negara, Bensouda menyatakan bahwa itu telah mengonfirmasi posisi Palestina sebagai sebuah negara. Karena itu, bisa menuntut Israel atas kejahatan perang. Meski demi kian, Palestina harus lebih dulu meratifikasi Statuta Roma.

Palestina, sejak 2009 lalu, memang telah mencoba mengajukan tuntutan ke ICC. Terutama, atas keja hatan perang Israel saat meng gelar Operasi Cast Lead pada akhir 2008 hingga akhir 2009. Operasi militer yang menewaskan 1.440 war ga Gaza —431 di antaranya anak-anak, dan 114 perempuanl. Pada operasi itu, Israel menjatuhkan bom fosfor putih ke kawasan padat penduduk di Gaza, yang dinilai berbagai lembaga seperti Human Right Watch, merupakan bukti bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang.

Operasi militer Protective Edge yang dilancarkan Israel pada 8 Juli hingga 26 Agustus lalu, bahkan me ne lan korban lebih besar lagi, men dekati 2.200 orang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Gaza, pada pertengahan Agustus lalu saja, 541 anak, 250 perempuan, dan 95 orang lanjut usia, tewas oleh serangan Israel yang membombardir secara mem babi-buta, termasuk menyerang masjid dan sekolahsekolah PBB yang menjadi tempat pengungsian.

Statuta Roma, pada Pasal 5 menyatakan kejahatan yang masuk dalam jurisdiksi ICC adalah geno sida, kejahatan terhadap kemanu sia an, kejahatan perang, dan agresi. Jika melihat pasal-pasal dalam Sta tuta Roma tersebut, Israel bukan hanya pantas dituntut dengan satu kejahatan, tapi hampir semuanya.

Jika ICC membuka kasus keja hatan perang yang dilakukan Israel di Gaza, The Guardian menyatakan ICC bisa melangkah lebih jauh. Bukan hanya memeriksa kejahatan perang pada 2009 silam, tapi juga kejahatan perang tahun ini, bahkan bisa membuka kasus pemukiman Israel di wilayah Palestina, dan me nuntut pertanggungjawaban pemimpin Israel.

Perkembangan baru di ICC itu, menjadi kabar gembira bagi para pejuang Palestina. Jerussalem Post mengabarkan, pejabat senior Ha mas, Musa Abu Marzuk, mengatakan Hamas telah menandatangani surat dukungan untuk perjuangan Palestina menuntut kejahatan pe rang Israel ke ICC.

Sebenarnya, sejak akhir Juli lalu, delegasi Palestina telah mendatangi kantor ICC di Den Haag, Belanda. Bahkan, dua pejabat tinggi Pales tina langsung ke sana, yaitu Menteri Kehakiman Otoritas Palestina, Sa lim Al-Saqqa dan Jaksa Penuntut Umum di Gaza, Ismail Jabir. Na mun, sebelum ditandatanganinya Sta tuta Roma, ICC belum bisa memprosesnya.

John Dugard, professor hukum internasional di Universitas Leiden, mengatakan sebenarnya para jaksa di ICC bisa dengan mudah menen tukan yurisdiksi kasus kejahatan perang yang dilakukan Israel itu. "Hukum adalah pilihan. Ada per tentangan pendapat, memang, na mun dia (Bensouda) harus melihat mukaddimah Statuta Roma, yang menyatakan bahwa ICC dibuat untuk mencegah imunitas," katanya kepada The Guardian.

Dugard yang telah lama mem persoalkan kejahatan perang Israel itu mengatakan, Bensouda pasti akan mendapat tekanan dari AS dan negara-negara Eropa jika sampai membuka kasus kejahatan perang Israel. "Ini merupakan pilihan sulit bagi dia," katanya.

Karena kuatnya tekanan negaranegara Barat itulah, Kepala Jaksa ICC sebelumnya, Luis Moreno Ocam po, tidak kunjung menanggapi tuntutan kejahatan perang Israel. The Guardian mendapat informasi dari sejumlah bekas pejabat ICC bahwa Ocampo selalu menolak terlibat, kendati Palestina pada Agustus 2010 lalu mengirimkan dua menteri untuk mendiskusikannya. Sumber itu menuturkan Ocampo lebih memilih mendekat ke AS. Dan, selama bertahun-tahun Ocampo memang dilobi oleh AS dan Israel.

Gilles Devers, pengacara Prancis yang memberikan bantuan hukum kepada Palestina, mengakui adanya tekanan sangat kuat pada pembu kaan kasus kejahatan perang Israel. "Tekanan itu bukan hanya diberi kan kepada Fatah dan Hamas, tapi juga kepada para jaksa ICC. Bah kan, juga disertai ancaman untuk mencabut aliran dana kepada Palestina dan ICC," katanya.

Tampaknya telah membaca gelagat buruk bakal diperkarakan di ICC, Perdana Menteri Israel, Ben jamin Netanyahu, sejak awal Agustus lalu, sudah meminta pertolongan AS. Netanyahu telah melobi sejum lah anggota kongres AS, agar me nga takan Hamas lah pelaku keja hatan perang. "Bayangkan kalau negaramu diserang 3.500 roket," kata Neta nyahu kepada para kong resman, seperti dikutip New York Post.

Netanyahu juga menyatakan Hamas menggunakan perisai ma nusia, dan juga mencoba membalik fakta dengan mengatakan bahwa dari 1.900 warga Gaza yang tewas pada awal Agustus lalu, 900 di antaranya adalah pejuang Hamas.

Bahkan, para aktivis Yahudi – termasuk penerima hadiah Nobel Perdamaian, Laureate Elie Wiesel— ke mudian memasang iklan di se jumlah media, yang menyatakan bahwa Hamas menggunakan anakanak sebagai perisai manusia. Media seperti London Times menolak me muat iklan tersebut, namun mediamedia besar seperti The New York Times, The Washington Post dan The Wall Street Journal, memuatnya.

Tapi, iklan-iklan tersebut, kemu dian mendapat reaksi dari Yahudi Amerika korban Holocaust dan keturunannya. Pada 24 Agustus lalu, mereka memublikasikan surat yang ditandatangani 327 korban Holo caust dan keluarganya, yang mendesak genosida kepada warga Palestina diakhiri.

"Hentikan semua bentuk rasisme, termasuk genosida yang sedang berlangsung kepada masyarakat Palestina, dan boikot Israel secara ekonomi, kultural, dan akademik," demikian pernyataan korban Holo caust yang menamakan diri International Jewish Anti-Zionist Network (IJAN), seperti dikutip Al- Ahram.

Fatou Bensouda yang berani menantang arus, telah membuat clear status Palestina dalam berhu bungan dengan ICC. Pada hari-hari mendatang, bisa jadi proses untuk memperkarakan kejahatan perang Israel ke ICC segera bergulir, yang akan dimulai dengan langkah Pales tina meratifkasi Statuta Roma. Akankah proses ini berjalan lancar dan ICC menunjuk penjahat perang di Israel? Kita tunggu saja.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement