Oleh: Harun Husein (Wartawan Republika) -- Pertempuran 50 hari Israel- Hamas, akhirnya berakhir setelah disepakatinya gencatan senjata Israel-Palestina di Mesir, pada Selasa, 26 Agustus lalu. Beberapa saat setelah itu, masing-masing pihak, baik Hamas maupun Israel, mengklaim sebagai pemenang perang.
"Negosiasi berakhir dengan kesepakatan yang mengukuhkan perjuangan bangsa kita, dan ini merupakan kemenangan dari perjuangan," kata wakil pemimpin Hamas, Musa Abu Marzuk, di laman facebook-nya, beberapa saat setelah kesepakatan gencatan senjata di capai, seperti dikutip Al-Ahram.
Foto:Mohammed Ballas/AP
Pendukung Palestina dari Hamas dan Jihad Islam slogan gerakan nyanyian terhadap aksi militer Israel di Gaza , selama demonstrasi di kota Tepi Barat, Jenin pada Jumat, 8 Agustus, 2014 .
Tak lama kemudian, warga Gaza tum pah ke jalan-jalan untuk merayakan kemenangan diplomasi itu, sambil mengancungkan dua jari tanda keme nangan (vic tory), sejak Selasa malam hingga Rabu dinihari. Masjid-masjid pun meng gaung kan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar….
Warga Gaza bisa jadi pantas meraya kan momentum itu. Sebab, dengan demi kian, mesin-mesin perang Israel yang ham pir dua bulan membombardir Gaza secara membabi-buta dan biadab, membunuhi lebih dari 2.000 nyawa, seperempat diantaranya anak-anak, harus enyah dari sana.
Perdana Menteri Ismail Haniyah, da lam pidatonya, memuji kesabaran rak yat Gaza dan para pejuang dalam menghadapi perang melawan Israel. Perang, kata Haniyah, juga telah membuat warga Gaza tidak bisa merayakan Idul Fitri, karena terus dibombardir Israel. Karena itu, "Sekarang, rayakanlah kemenangan," seru Haniyah di hadapan ribuan warga Gaza, Rabu, seperti dikutip Maan News Agency.
Haniyah mengatakan, perang 50 hari itu merupakan yang terbesar dibanding perang-perang sebelumnya. Tapi, perang itu telah memperlihatkan bahwa kemam puan perlawanan kian meningkat, dan daya gentar yang dikirimkan kepada Israel pun kian besar. Haniyah juga menegaskan bahwa pihaknya menang secara politik, militer, maupun opini publik.
"Darah para syuhada yang tertumpah telah menjadi bahan bakar bagi keme nangan ini. Tidaklah mungkin meng ekspre sikan kemenangan ini sekadar de ngan kata-kata dan pidato," kata Haniyah di hadapan ribuan warga Gaza, Rabu. Perang untuk menghadapi Israel, kata Haniyah, telah lama dipersiapkan. Dan kini, Haniyah pun menegaskan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan perang pamungkas untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman penjajah Israel.
Apakah Hamas menang, ini mungkin masih bisa menjadi perdebatan. Bergan tung dari sudut pandang mana melihatnya. Tapi, yang jelas, dalam perjanjian gencatan senjata di Kairo, Israel yang pongah itu akhirnya bisa dipaksa menerima sejumlah agenda yang berkaitan dengan usaha me ro bohkan blokade yang telah berlangsung sejak 2007. Antara lain memperlonggar blo kade, memperluas zona melaut bagi ne layan, dan mempersempit wilayah pe nyangga sehingga tanah pertanian di per batasan Israel-Gaza bisa dimanfaatkan oleh warga Gaza.
Sementara itu, agenda-agenda lainnya yang ada hubungannya dengan upaya mem bongkar blokade laut dan udara, juga akan di bicarakan akhir Sep tem ber mendatang. An tara lain berupa pem bangunan bandar udara dan pelabuhan laut, sehingga arus orang dan barang dari dan ke Gaza bisa dipulihkan.
Meski demikian, Is rael juga mengklaim me nang. Perdana Men teri Israel, Benjamin Netanyahu, mengklaim mendapatkan sukses besar secara politik mau pun militer. Dia mengatakan serangan selama 50 hari itu telah memukul Hamas dengan keras. Soal ke sepa katan gencatan senjata, "Israel tidak setuju, dan tidak mene rima apapun tuntutan Hamas," kilahnya.
Netanyahu pun menampik anggapan Israel tak sanggup berperang dalam waktu lama. Dia menegaskan, Israel bahkan sanggup berperang hingga 500 hari. Tapi, dia berdalih, Israel menyetujui gencatan senjata, karena ingin fokus menghadapi tiga pihak yaitu para pejuang Negara Is lam (ISIS), Al-Qaidah, dan Hizbullah. "Ne gara Islam sudah berada di gerbang Yor dania, Al-Qaidah di Dataran Tinggi Golan, dan Hizbullah di perbatasan dengan Le banon," katanya seperti dikutip Al-Ahram.
Sebelumnya, Front Al-Nusrah, salah satu grup pejuang yang sedang berusaha menumbang Presiden Suriah Bashar Al Assad, sudah memulai beroperasi di Dataran Tinggi Golan, di perbatasan Suriah- Israel. Bahkan, para pejuang yang ber afiliasi dengan Al-Qaidah itu, telah men culik puluhan tentara penjaga perdamaian asal Fiji, dan baku tembak dengan tentara asal Filipina.
Meski demikian, klaim kemenangan Netanyahu itu ditanggapi skeptis di dalam negeri Israel. Polling yang digelar oleh harian Israel, Haaretz, usai kesepakatan gencatan senjata mendapati 54 persen responden menilai rezim Netanyahu gagal mendapakan kemenangan yang bersih dalam 50 hari serangannya ke Gaza.
Hasil polling yang mengkanter klaim Netanyahu —bahwa Israel mendapatkan sukses besar dari sisi militer maupun politik, dari serangannya ke Gaza— sangat berbeda dengan polling sebelumnya. Pada polling serupa pada 5 Agustus lalu, Netanyahu masih popular di mata warganya. Sebab, 77 persen menilai apa yang dila kukan Netanyahu di Gaza sebagai "good" dan "excellent".
Menyusul tercapainyaa kesepakatan senjata di Mesir, Netanyahu juga mendapatkan banyak kritik dari banyak pejabat Israel, termasuk dari mitra koalisinya di pemerintahan dan parlemen.
Netanyahu yang merupakan Ketua Partai Likud, bahkan mendapat kiritk dari Ketua Komite Sentral Partai Likud di Parlemen Israel (Knesset), Danny Danon. Kritik lainnya disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman; dan faksi Habayet Hayehudi yang dipimpin Ayelet Shaked, anggota Knesset yang rupawan, namun pernah membuat seruan sadis, yaitu mengajak membunuh ibu-ibu Palestina karena terus melahirkan apa yang disebutnya ular-ular teroris yang terus melawan Israel.
"Proses perdamaian sejati dan tero bosan strategis hanya mungkin terjadi se telah Timur Tengah dan Palestina dibe baskan dari ancaman Hamas," tulis Lie ber man, di dinding facebook-nya. "Hamas bisa tumbuh lebih kuat dan melancarkan lagi perang kepada Israel jika memung kinkan."
Ayelet Shaked mengatakan, "Gencatan senjata yang mencegah Israel untuk bertindak melawan roket atau terowongan dari Jalur Gaza membuat perang berikutnya mendekat."
Sementara, Danny Danon menyerukan untuk menggelar sidang kabinet paripurna karena serangan ke Gaza yang dimulai dengan dukungan publik Israel, ternyata tak membuahkan kemenangan yang ber arti. "Rakyat Israel bingung dan ter cengang," katanya.
Media-media pendukung Netanyahu, juga segera mengekspresikan kekecewaan mendalam. Sebagian media meng gam barkan dampak perang Israel-Hamas kali ini, hampir sama dengan dampak perang Israel-Hizbullah pada 2006 silam. Sebab, merenggut banyak nyawa serdadu Israel, dan memakan ongkos yang sangat besar yang menekan perekonomian Israel yang sedang melambat.Bahkan, biaya perang itu melampaui perkiraan, karena ada pembengkakan hingga 2 miliar shekel atau lebih dari setengah miliar dolar AS, yang memaksa Netanyahu memangkas anggar an dari seluruh kementerian, dan memicu banyak protes.
Selain itu, aksi anti-Israel atau anti semit pun terus merebak, termasuk di Barat. Bahkan, sejumlah kalangan pun kini sedang berupaya menyeret Israel ke Mahkamah Internasional (ICC) karena melakukan kejahatan perang di Gaza.
Soal jumlah korban, Tel Aviv selalu menyatakan 64 serdadu Israel tewas dalam perang itu, namun Hamas menyatakan jumlah serdadu Israel yang tewas itu lebih banyak, lebih dari 150 orang. Tuntutan Israel dalam pembicaraan di Kairo, agar Hamas mengembalikan tubuh serdadu Israel yang terbunuh, merupakan salah satu indikasinya.
Boleh jadi, banyak pihak prihatin atas klaim menang dari pihak Israel maupun Hamas, mengingat besarnya jumlah korban. Bahkan, di Gaza, selain dua ribuan orang tewas dan 11 ribuan terluka, hampir setengah juta warganya juga kehilangan tempat tinggal. Belum lagi kerusakan infrastruktur seperti jalan, sekolah, masjid, pembangkit listrik, sarana air bersih serta sanitasi, dan lain-lain.
Sebagian analis menyebut bahwa serangan Israel yang membabi-buta di Gaza, juga bertujuan memicu protes warga Gaza untuk menyalahkan Hamas. Nyatanya, warga Gaza, tidak terprovokasi oleh cara-cara keji itu.
Ini memang bukan lagi semata persoalan nyawa dan harta benda, tapi sesuatu yang lebih tinggi nilainya yaitu jihad untuk kemerdekaan dan harga diri sebuah bangsa yang terjajah, yang wilayahnya dikungkung tembok bak penjara besar, bahkan ghetto.
Dalam artikelnya di Huffington Post, seorang pekerja kemanusiaan di Gaza, Muhammad Suliman, menulis "Saya lebih baik mati dalam kehormatan, daripada hidup dalam penjara terbuka (open air prison)." Merdeka, atau mati!