Oleh: Rahmat Hadi Sucipto -- Tongkat kepresidenan dalam beberapa hari ke depan akan berpindah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Joko Widodo (Jokowi). Tepatnya pada 20 Oktober nanti, pria asal Solo, Jawa Tengah, tersebut akan dilantik menjadi presiden Republik Indonesia didampingi oleh Jusuf Kalla sebagai wakilnya.
Demi memuluskan pergantian peme rintahan, presiden terpilih Jokowi pun membentuk Tim Transisi. Ini pertama kali dalam sejarah pergantian pemerintahan menerapkan sebuah tim peralihan. Banyak pihak menyambut baik tim ini, teta pi tak sedikit juga yang menilai sesungguhnya tim tersebut tak terlalu urgen.
Foto:Republika/Edwin Dwi Putranto
Suasana proyek pembangunan gedung dengan latar gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (15/3).
Hasil kerja Tim Transisi yang dipimpin oleh Rini Soemarno memang sudah cukup terlihat. Terutama menyangkut rekomendasi tim terhadap kementerian yang perlu dan harus dipertahankan serta kemente rian yang tak perlu dilanjutkan.
Meski demikian, gaung kerja Tim Tran sisi tak sebesar isu-isu yang muncul je lang akhir Pemerintahan SBY. Masyara kat dan media justru lebih menyoroti masalah-masalah yang akan dihadapi pemerintahan baru nanti.
Tidak hanya soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang setiap hari men jadi perbincangan. Isu fiskal dan ang garan negara pun tak pernah terlepas dari topik bahasan di media. Tentu ini sangat wajar karena isu BBM sangat terkait, bah kan berpengaruh langsung terhadap fiskal.
Soal fiskal, banyak ekonom menilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 mewaris kan ruang fiskal yang sempit bagi peme rintah yang akan datang. Komisi Ang garan Independen (KAI) dan Yayasan Tifa, mi sal nya, menganggap Nota Keuangan RAPBN 2015 tak memadai untuk meng akomodasi visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih.
KAI menyatakan, ada dua hal yang menjadikan RAPBN 2015 tak memadai, yaitu dari sisi penerimaan negara dan dari sisi belanja. Menurut Komisioner KAI Sugeng Bahagijo, dari sisi penerimaan negara, RAPBN 2015 cenderung konservatif karena mengedepankan kehati-hati an sebagaimana ditunjukkan oleh target penerimaan pajak yang inkremental. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya 12,32 persen.
Dari sisi belanja, anggaran subsidi di alokasikan Rp 433,5 triliun, sedangkan sub sidi energi terus menjulang dan di pa tok Rp 363,5 triliun. Tentu ini menjadi be ban berat bagi pemerintahan berikutnya.
Postur anggaran dalam RAPBN 2015 ini juga dianggap sebagai jebakan politik dari SBY. Menurut Deputi Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) Hasto Kristiyanto, ini sebagai gambaran jebakan politik populis yang terakumulasi sejak 2008. Fiskal yang sempit sama artinya dengan sedikit ruang untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat.
Ada yang kontradiktif dalam RAPBN 2015 tersebut. Pemerintah menyebut be lan ja negara melonjak drastis hingga me nembus Rp 2.019.9 triliun. Pendapatan ne gara juga meningkat menjadi Rp 1.762.3 triliun. Tapi, angka ini perlu dipertanya kan karena kurang realistis, termasuk rendah nya rasio perpajakan yang hanya 12,3 persen. Negara juga masih akan mengalami defisit yang dirancang sebesar Rp 257 triliun.
Dengan angka tersebut, anggaran 2015 memang bisa dibilang fantastis. Apa buktinya? Dengan total penerimaan negara yang ditargetkan Rp 1.762,3 triliun, itu artinya meningkat Rp 126,6 triliun diban dingkan dengan target APBN Perubahan 2014. Total anggaran belanja pun melonjak Rp 143 triliun menjadi Rp 2.020 triliun dibandingkan dengan pagu APBN Perubahan 2014.
Melihat RAPBN 2015, Bank Indonesia menilai ada celah yang kurang bagus, ter utama menyangkut besaran defisit yang dipatok pemerintah. RAPBN 2015 menargetkan neraca defisit transaksi berjalan tahun depan 2,32 persen dari total PDB.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Mar towardojo menilai target itu terlalu tinggi. Dia mengamati selama 10 tahun masa pemerintahannya, SBY rata-rata menetapkan defisit transaksi berjalan di bawah 2,0 persen. "Ruang fiskalnya tidak besar. Kita harus ingat bahwa UU Keuang an Negara, defisit itu tidak boleh lebih dari 3,0 persen," jelasnya.
Agus menyarankan agar ada pembahasan pemerintahan baru dengan DPR demi memperbaiki ruang fiskal tersebut. Dia yakin DPR akan mau membahasnya karena demi kepentingan semua. Menurut dia, akan lebih baik bila nanti pemerintah mengusulkan pemotongan belanja negara dan meningkatkan penerimaan. "Itu akan lebih baik," ujarnya.
Belanja negara yang perlu mendapatkan prioritas pemotongan, jelas Agus, di antaranya subsidi BBM atau subsidi listrik dan energi. Subsidi BBM tersebut sudah mencapai Rp 360 triliun. Bila itu dilakukan, akan terjadi jumlah yang lebih optimal.
Dia juga pernah mengikuti pembahasan pendahuluan APBN 2015 bersama pemerintah dan DPR. Keduanya sepakat subsidi BBM harus diarahkan pada individu yang memerlukan atau yang miskin. Tidak subsidi ke harga. "Jadi, saya duga nanti di dalam pembahasan dengan DPR akan dibahas itu," ungkapnya.
Belanja anggaran 2015 yang menembus angka di atas Rp 2.000 triliun pertama kali dalam sejarah. Sayang, pemerintah ku rang memberikan langkah-langkah stimulus agar roda ekonomi bisa berjalan lebih kencang.
Target defisit anggaran 2015 sebesar 2,32 persen dari total PDB, lebih kecil ketimbang 2014 yang mencapai 2,4 persen dari PDB. Namun, total target defisit ang garan 2015 mencapai Rp 257,6 triliun, lebih besar ketimbang 2014 yang hanya Rp 241,5 triliun. Dengan kata lain total defisit anggaran dari 2014 ke 2015 naik 6,7 persen.
Beban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri juga ternyata meningkat dari Rp 64,1 triliun pada 2014 menjadi Rp 66,5 triliun pada 2015. Sementara, tahun depan pemerintah sudah harus mewujudkan kewajibannya untuk memberikan dana desa yang jumlahnya mencapai Rp 9,1 triliun.
Bisa dibilang, melonjaknya jumlah anggaran yang sangat besar mencapai 7,6 persen dari Rp 1.876,9 triliun pada 2014 menjadi Rp 2.019,9 triliun (2015) ternyata tak dialokasikan untuk program-program yang lebih produktif. Selain untuk subsidi energi, listrik, dan tentu alokasi yang sangat besar untuk BBM, penggunaan anggaran untuk pembayaran gaji pegawai juga sangat tinggi.
Komite Ekonomi Nasional (KEN) me nyarankan agar pemerintah nanti menyu sun prioritas program untuk menghadapi fiskal yang sangat terbatas. Prog ram yang bisa diutamakan, di antaranya pembangunan infrastruktur. Ketua KEN Raden Pardede menuturkan, pemerintah juga harus mengurangi belanja yang terbukti tidak efektif. Subsidi BBM menjadi salah satu contoh porsi belanja yang tak efektif.
Pada 2014 saja subsidi BBM sudah mencapai Rp 246,5 triliun. "Artinya tidak ada lagi perdebatan bahwa subsidi energi itu memang harus dikurangi," ujar Par dede, seperti dikutip Antara, beberapa waktu lalu.
Pardede juga menyoroti realisasi porsi pembiayaan untuk proyek rencana induk percepatan dan perluasan pembangunan eko nomi Indonesia (MP3EI) yang kecil. Padahal, Indonesia seharusnya mengelola manajemen fiskal yang baik. Dia membandingkan dengan program yang dikembang kan Cina mampu mengalokasikan Rp 800 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Pembiayaan memang seharusnya banyak dari pemerintah, baik dari APBN atau APBD. "Agar dapat terkontrol," ujarnya.
Pemerintah yang baru harus kreatif agar bisa memanfaatkan anggaran yang kurang optimal tersebut. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menya rankan agar Jokowi-JK melibatkan peran swasta yang lebih besar agar pembangun a n ekonomi bisa lebih cepat lagi. Ter utama untuk pembangunan infrastruktur. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indo nesia Natsir Mansyur , pihaknya juga per nah mengusulkan ide tersebut. Langkah ini bisa membantu pemerintah mengatasi sempitnya ruang fiskal dalam APBN.
Tim Transisi bentukan Jokowi-JK juga mengaku sudah menyiapkan skenario untuk memperbaiki fiskal yang tak kondusif tersebut. Menurut Deputi Tim Transisi Jokowi-JK Andi Widjajanto, beberapa opsi untuk membuat ruang fiskal lebih fleksibel sudah dirancang, bahkan disimulasikan agar bisa berjalan dengan baik dan lancar. Termasuk opsi untuk menaikkan harga BBM subsidi.
Dari hasil kajian tim, jelas Andi, setiap terjadi kenaikan Rp 1.000 terhadap harga BBM subsidi, ada ruang fiskal baru yang ter bentuk hingga Rp 51 triliun. Namun, yang lebih penting lagi, ruang fiskal itu harus menjadi program-program yang me nopang kesejahteraan rakyat. Jadi jangan sampai ruang fiskal baru itu malah men jadi beban baru bagi pemerintah. Ruang fiskal harus dipastikan tepat sasaran.
Tim transisi juga mengaku sudah mencoba simulasi penghematan besarbesaran di kota-kota besar di Tanah Air. Termasuk skenario bila akhirnya pemerintah terpaksa menaikkan harga premium dan solar subsidi.
Tentu yang harus menjadi perhatian utama pemerintah baru adalah rakyat kecil. Merekalah yang seharusnya menik mati subsidi. Nelayan dan petani termasuk kelompok yang wajib dibantu. Tanpa mereka, mustahil bangsa ini bisa besar dan maju.