Oleh: Nurul S Hamami -- Argumen yang dibangun fraksi-fraksi di DPR yang menolak pemilihan kepala daerah langsung oleh rak yat di antaranya adalah dapat menghemat biaya. Mereka juga berpandangan pemilihan langsung sarat dengan politik uang. Selain itu pilkada di DPRD dinilai bisa me ngurangi konflik horisontal di dalam ma syarakat akibat perbedaan dukungan. Pilkada melalui mekanisme pemilihan di DPRD juga dianggap sesuai dengan sila ke-4 Pancasila.
Sebanyak enam fraksi di DPR yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PPP, dan PKS dalam rapat Selasa (9/9) lalu menyatakan tidak setuju pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung oleh rakyat. Mereka akan mengegolkan pilkada melalui pemilihan di DPRD, baik untuk memilih guberur, bupati, maupun wali kota. Ke betulan keenam partai tu tergabung dalam koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 lalu.
Foto:Agung Supritanto/Republika
Sikap tersebut sangat berbeda dengan ketika sebelum pilpres. Saat itu, hanya PPP dan Demokrat dari enam partai terse but yang menolak pilkada langsung hingga pembahasan pada 14 Mei 2014. Padahal, argumen yang menjadi pijakan mereka adalah argumen yang dulu dibawa peme rintah saat mengusulkan pilkada langsung diubah ke DPRD pada Juni 2012. Mereka menolak usulan pemerintah itu dan tetap ingin mempertahankan pilkada langsung yang sudah berjalan sejak 2005.
Itulah yang membuat pembahasan RUU Pilkada berlarut-larut karena peme rintah tetap bertahan dengan usulan pil kada dari langsung ke DPRD –setelah me ngalami dua kali perubahan. Tapi, setelah pemerintah akhirnya setuju dengan sikap mayoritas fraksi agar pilkada tetap lang sung, justru partai-partai koalisi Merah Putih yang kompak tidak setuju dan malah mengusulkan pilkada melalui DPRD.
Memang hemat
Kalau tujuannya semata-mata untuk penghematan anggaran, dengan pemilihan yang dilakukan oleh DPRD tentu saja sig nifikan dalam menghemat biaya. Peme rintah daerah tak perlu mengeluarkan ang garan untuk pelaksanaannya sebagaimana halnya bila pemilihan langsung oleh rak yat. Biaya logistik pemilu serta honor bagi penyelenggara pilkada yang angkanya bisa mencapai di atas Rp 100 miliar dapat dipangkas. Ini memang penghematan yang luar biasa.
Soal penghematan anggaran juga di akui oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemen dagri, Djohermansyah Djohan. Menurut wa kil pemerintah yang terlibat aktif dalam pembahasan RUU Pilkada ini, dengan pil kada melalui DPRD penghematan bisa sam pai 50 persen. Bila pilkada langsung da lam setahun membutuhkan dana Rp 80 tri liun, maka dengan pemilihan melalui DPRD biayanya hanya di kisaran Rp 40 trilun.
Penghematan lainnya yaitu para calon yang maju dalam pilkada tidak membu tuhkan biaya besar sebagai modal penca lonannya. Mereka tak perlu mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah hanya untuk alat peraga kampanye. Begitu pula dana pencitraan yang dilakukan paling tidak setahun sebelum pilkada berlangsung.
Kalau hal tersebut yang diinginkan, tentu saja tujuan menekan pengeluaran yang tinggi sebagai akibat dari pemilihan lang sung dapat dicapai. Pemerintah dae rah tak perlu repot-repot lagi memi kirkan anggaran untuk penyelenggaraan pilkada.
Pemilihan melalui DPRD juga meru pakan langkah efisiensi waktu bagi masya rakat. Dengan sistem ini masyarakat tidak perlu ikut terlibat dalam kampanye terbu ka serta memilih langsung kepala daerah nya ke bilik suara. Calon kepala daerah juga tidak perlu berpayah-payah untuk melakukan kampanye dari satu kabupa ten/kota ke kabupaten/kota yang lain. Ener gi masyarakat pun tidak tersedot un tuk kepentingan-kepentingan sesaat dari para elite partai maupun elite masyarakat yang maju dalam pilkada.
Pilkada melalui DPRD diperkirakan juga bakal mengurangi konflik yang ter jadi di masyarakat. Dengan penyeleng ga ra an pilkada selama ini masyarakat me mang menjadi terkotak-kotak berdasarkan elite yang didukungnya. Suasana selama masa kampanye tak jarang terlihat me ma nas hingga hari-hari penghitungan suara. Keadaan ini diperparah dengan sikap para calon yang kalah dan orang-orang dekat nya yang sengaja membenturkan para pendukungnya dengan aparat ataupun penyelenggara pilkada dengan dalih ada nya kecurangan.
Kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Lany Jaya, Papua, pada 10 September 2011, adalah salah satu contoh konflik ho risontal akibat pilkada langsung. Seke lompok massa merusak dan membakar kantor pemerintahan dan sekolah. Insiden ini terjadi akibat pendukung salah satu calon bupati yang tidak puas atas peng hitungan perolehan suara oleh KPUD setempat dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Satu setengah bulan sebelumnya, te patnya pada 31 Juli, kerusuhan yang meru pakan buntut penyelenggaraan pil kada terjadi di Kabupaten Puncak, Papua. Kerusuhan ini menelan korban jiwa 17 orang, menyusul bentrokan antarpen dukung calon bupati setempat. Bentrokan ini diduga dipicu ketidakpuasan salah satu pendukung calon yang maju.
Melalui pemilihan yang dilakukan oleh DPRD konflik horisontal maupun vertikal tampaknya dapat diminimalisasi. Sistem ini mengurangi tingkat keterbelahan ma syarakat berdasarkan calon yang didu kungnya. Dengan pemilihan seperti ini masyarakat tidak terlalu tersedot per hatiannya terhadap proses pilkada.
Namun, hal itu sekaligus menjadi nilai mi nus bila pemilihan dilakukan oleh DPRD. Hak politik rakyat menjadi terce ra but dari akarnya. Partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpinnya yang meru pakan hak politik rakyat benar-benar diberangus. Dengan kata lain tak ada pelibatan warga negara dalam proses demokrasi. Padahal, salah satu instrumen demokrasi adalah mewujudkan partisipasi rakyat dalam proses demokrasi.
Konflik antarpendukung calon kepala dae rah mungkin dapat diminimalisasi. Na mun, belum ada jaminan meredam mun cul nya konflik pandukung calon dengan pihak DPRD yang memilih kepala daerah. Bisa saja de ngan alasan terjadinya politik uang dalam proses pemilihan, massa pendukung calon yang kalah melakukan aksi kerusuhan ter hadap lembaga DPRD dan orang-orangnya.
Rawan politik uang
Pemilihan yang dilakukan melalui DPRD juga sangat rawan dengan praktik po litik uang di kalangan anggota DPRD dan elite partai. Para calon yang maju ten tu akan berusaha semampu mungkin un tuk mendekati para anggota DPRD men je lang pemilihan. Harapannya, mereka bisa merebut suara dari para anggota Dewan. Para anggota DPRD pun paham bahwa satu kursi sangat menentukan nasib para calon yang maju. Di sinilah kemudian muncul niatan untuk mengonversi satu kursi dengan rupiah yang harus dibayar kan oleh calon yang ingin mendapat suara.
Peluang untuk menjual suara memang terbuka lebar. Politik transaksional pun tak dapat dihindari. Pada akhirnya calon yang memiliki modal besarlah yang berpeluang besar memenangkan pilkada. Dengan cara-cara yang jitu, para wakil rakyat di DPRD dapat membungkus kong kalikongnya dengan calon gubernur yang membeli kursinya serapat mungkin. Sulit untuk membuktikan telah terjadi praktik politik uang, meskipun aromanya sangat terasa. Pembayaran secara kontan dapat menghilangkan aroma tersebut dari en dusan masyarakat dan aparat terkait.
Bulan madu antara DPRD dan kepala daerah terpilih pun dipastikan hanya ber langsung sebentar. Konflik keduanya justru semakin terbuka di kemudian hari. Sebagai pihak yang memilih kepala daerah, tentu saja DPRD memiliki posisi tawar yang tinggi. Beda halnya bila kepala daerah hasil pilihan rakyat secara lang sung. DPRD tak bisa menjatuhkan kepala daerah karena dia dipilih oleh rakyat.
Dominasi partai peraih kursi terbanyak di DPRD terhadap kebijakan yang dike luarkan oleh kepala daerah terpilih ke mungkinannya juga susah dihindari. Logi kanya, sebelum pemilihan, calon kepala daerah dan partai peraih kursi terbanyak dan koalisinya telah melakukan kese pakatan-kesepakatan menyangkut kebi jakan kepala daerah di kemudian hari. Hal ini tentu akan merusak program pem bangun an untuk rakyat banyak.
Lebih parah lagi adalah kurangnya ke pedulian kepala daerah terpilih untuk me merhatikan kebutuhan-kebutuhan war ganya. Sebab, dengan tidak dipilih oleh rakyat maka mereka beranggapan tidak menjadi kewajiban untuk mempertang gungjawabkan programnya kepada rakyat. Orientasi kepala daerah hanyalah bagai mana caranya memuaskan pihak legislatif.
Maraknya kasus korupsi yang dilaku kan oleh kepala daerah atau wakilnya bukan semata karena pilkada langsung. Hal ini ditengarai karena mereka telah mengeluarkan uang sangat besar selama pencalonannya. Bila berharap dari gaji dan tunjangan saja, maka ongkos pencalonan yang telah dikeluarkan tak akan kembali. Salah satu jalan untuk mengembalikannya adalah dengan melakukan korupsi proyekproyek yang didanai oleh APBD.
Menyangkut biaya yang dikeluarkan sa ngat besar dalam pemilihan secara lang sung, memang perlu dicarikan solusinya. Hal yang paling banyak diusulkan adalah pe nyelenggaraan secara serentak dan ber samaan waktunya yakni pilkada guber nur, bu pati, dan wali kota, dalam satu provinsi. Ja ngan gara-gara mahalnya biaya pemilih an langsung yang menjadi korbannya ada lah perampasan hak-hak politik warga negara.
Semua pihak perlu mengingat kembali bahwasannya ada harapan yang digantungkan saat pilkada secara langsung oleh rakyat dijalankan mulai tahun 2005. Salah satunya adalah mengembalikan partisipasi politik rakyat dalam memilih kepala daerahnya yang telah mati suri selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru.
Rakyat sudah lama kehilangan hak politiknya dalam menentukan pemimpin mereka. Sebelum reformasi politik 1998 yang menumbangkan rezim Ode Baru, gubernur dan bupati/wali kota merupakan "orang-orang" pusat yang ditunjuk berkat kedekatan mereka dengan penguasa (Soeharto). Padahal, rakyat amat mendam bakan dipimpin oleh orang-orang yang dianggap sangat mengakar dan berkualitas untuk memimpin daerahnya.
Pemilihan kepala daerah langsung menjadi pintu bagi rakyat untuk men dapat kan kembali kedaulatan dalam me nentukan orang yang layak memimpin me reka. Maka, biarkanlah rakyat memilih langsung pemimpinnya.